AJI : Omnibus Law Mengancam Hak Penyiaran

Jakarta, Suaralira.com -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam pengesahan Omnibus Law karena merevisi Undang Undang Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran. Omnibus Law ini akan membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. 
 
"Padahal, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh," kata Ketua Umum AJI  Abdul Manan dalam keterangan tertulis diterima Tempo, Rabu, 7 Oktober 2020. 
 
Manan mengatakan undang-undang sapujagat ini berusaha mengubah sejumlah undang-undang sekaligus. Semula akan mencakup 79 undang-undang, belakangan ada yang dikeluarkan dari pembahasan namun ada juga yang dimasukkan lagi menjelang akhir. 
 
Sementara itu, undang-undang yang berhubungan dengan jurnalis dan media yang diubah adalah Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Penyiaran, dan Undang Undang Ketenagakerjaan. "Undang-Undang Pers kemudian dikeluarkan dari pembahasan," kata Manan. Sebagaimana dilansir tempo.co
 
Omnibus Law juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah untuk mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perizinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain. 
 
Selain itu, ketentuan penting lain yang diubah Omnibus Law adalah diberikannya wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah. "Padahal migrasi digital bukan hanya semata alih teknologi tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang selayaknya diatur negara pada tingkat UU, bukan di Peraturan Pemerintah," kata Manan. ***