DPRD Kepulauan Meranti Desak Revisi Larangan Sawit, Cari Solusi untuk Petani dan Lingkungan

SuaraLira.Com, Meranti -- Polemik larangan penanaman kelapa sawit di Kabupaten Kepulauan Meranti mulai menemukan titik terang. Komisi II DPRD Meranti bersama Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian serta Dinas PUPR menggelar rapat dengar pendapat (hearing) pada Rabu (7/5/2025) guna membahas isi surat edaran kontroversial yang menuai keresahan masyarakat.

Surat edaran dengan nomor 800/DKPP-SEKRE/143 itu melarang penanaman kelapa sawit di wilayah Kepulauan Meranti, mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tepatnya, larangan disebut dalam Pasal 62 ayat 3 huruf c, dengan alasan menjaga ekosistem lahan gambut.

Namun, langkah ini menuai protes, terutama dari petani kecil yang sudah mulai menanam sawit sebagai sumber penghasilan. Situasi ini mendorong DPRD untuk bertindak cepat.

“Larangan ini seharusnya dibahas dulu dengan DPRD, karena menyangkut kepentingan masyarakat luas,” tegas Wakil Ketua DPRD Meranti, Antoni Shidarta.

Rapat yang dipimpin oleh Ketua DPRD Khalid Ali itu juga dihadiri oleh Ketua Komisi II Syafi’i Hasan, Wakil Ketua Komisi Mulyono, serta sejumlah anggota dewan lainnya. Dalam forum tersebut, DPRD menyayangkan kurangnya koordinasi dari dinas terkait dalam mengeluarkan kebijakan yang berdampak besar terhadap petani lokal.

Sementara Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian menyampaikan bahwa surat edaran dikeluarkan demi menjaga keberlanjutan lingkungan, terutama kelestarian lahan gambut yang rentan rusak akibat perkebunan sawit. Namun DPRD menilai bahwa pendekatan tersebut harus dibarengi dengan solusi ekonomi bagi masyarakat.

“Perlu ada jalan tengah. Kita tidak ingin merusak lingkungan, tetapi juga tidak boleh mengabaikan nasib petani,” ujar Syafi’i Hasan.

Akhirnya, DPRD dan dinas terkait sepakat untuk mengkaji ulang Perda RTRW Nomor 8 Tahun 2020, khususnya pasal yang mengatur larangan sawit. Langkah revisi ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah daerah terbuka terhadap aspirasi masyarakat.

“Kami akan dorong revisi perda agar lebih adaptif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, tanpa meninggalkan aspek lingkungan,” tutup Antoni Shidarta.

Langkah ini menjadi bukti bahwa dialog konstruktif antara pemerintah dan legislatif dapat menjadi jembatan antara perlindungan ekologi dan kesejahteraan ekonomi warga.(Sang/sl)