Fakta di Balik WDP Meranti 2024: Bukti Masih Lemahnya Kontrol Keuangan Daerah Terhadap Kepatuhan Pada Aturan perundangan, Apa Penyebabnya

SuaraLira.Com, Meranti -- Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Riau (BPK Riau) sudah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) atas pelaksanaan anggaran Tahun 2024 kepada Pemerintah kabupaten Kepulauan Meranti. Penyerahan ini dilakukan oleh Kepala BPK Riau, Binsar Karyanto P. S.T., M.M., CSFA, GRCA, GRCP kepada pimpinan DPRD dan bupati Kepulauan Meranti bertempat di Kantor BPK Perwakilan Provinsi Riau, Pekanbaru.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, BPK memberikan opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Kepulauan Meranti dengan prediket Opini “Wajar Dengan Pengecualian”. Pemeriksaan atas Laporan Keuangan ini bertujuan untuk memberikan opini tentang kewajaran dalam penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) atas LKPD Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun 2024. 

 

Apa sebenarnya permasalahan yang terjadi

Untuk diketahui pemberian Opini WDP tersebut dikarenakan adanya permasalahan yang signifikan antara lain :

1. Adanya permasalahan pada pembatasan dalam pemeriksaan untuk memperoleh bukti yang cukup dan tepat tentang berapa nilai utang belanja sebenarnya, yang belum dibayarkan untuk tahun 2024 (tunda bayar).

Hal ini perlu dipertanyakan terhadap entitas yang di audit terkait bukti-bukti yang diperlukan BPK dalam proses audit kenapa masih ada tidak diberikan secara utuh dan tepat. Informasi yang didapatkan dari sumber terpercaya dilapangan mengatakan, ada salah satu Pejabat beberapa waktu lalu pada saat BPK meminta akun PPK di LPSE untuk dapat di akses dalam proses audit, terkesan dipersulit oleh pejabatnya namun pada akhirnya diberikan juga. Patut diduga adanya upaya mempersulit BPK dalam melakukan akses dan proses auditnya. Jika hal ini benar adanya melanggar aturan perundangan sesuai Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Padahal, arahan Wakil Bupati Kepulauan Meranti, Muzamil Baharudin SM MM, pada saat rapat awal atau entry meeting dengan BPK RI Perwakilan Provinsi Riau yang dilaksanakan di Aula Gedung Kantor Bupati Kepulauan Meranti pada hari Jum'at tanggal 11 April 2025 yang lalu, sudah jelas meminta kepada seluruh Kepala OPD, PPK, KPA, PPTK, dan bendahara untuk proaktif terhadap pemenuhan panggilan terkait untuk memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan secara lengkap oleh BPK RI.

2. Perencanaan dan pelaksanaan APBD Tahun 2024 belum memperhatikan potensi pendapatan dan kemampuan keuangan daerah. 

Patut dipertanyakan terhadap TAPD dalam proses mekanisme perencanaan dan penganggaran ditahun 2024 terkesan tidak profesional dan proporsional sehingga tidak terencana dan terdokumentasi dengan baik. Hal ini berimplikasi dalam proses pelaksanaan APBD di tahun 2024 yang kurang terukur serta kurang terarah.

3. Pertanggungjawaban atas realisasi Belanja Barang dan Jasa melalui mekanisme UP/GU tidak sesuai ketentuan. 

Masih banyak ditemukan SPJ terkait pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun 2024 dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya pencairan dana UP dan GU masih ada ketidaksesuaian dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.

4. Permasalahan ketidaksesuaian kualitas dan volume pekerjaan, ketidaktepatan penyesuaian harga satuan, dan ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dalam pelaksanaan Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan, yang mengakibatkan kelebihan pembayaran.

Masih banyaknya temuan dilapangan terhadap mutu dan kualitas serta volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Diantaranya tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Dalam mengelola keuangan daerah dan pertanggungjawabannya setidaknya harus mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah oleh Kepala Daerah.

 

Dimana saja celah yang berpotensi dalam melakukan korupsi

Menurut mantan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zet Tadung Allo mengatakan bahwa, Sekitar 80 persen kasus korupsi di Indonesia terjadi pada pengelolaan APBN dan APBD, terutama dalam pengadaan barang dan jasa yang sering kali di-mark-up. Korupsi di Indonesia seperti gunung es, banyak kasus yang tidak terungkap ke permukaan, tambah mantan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

Menurut Ade Permana aktifitis anti korupsi, "adanya pengecualian dalam Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK tersebut biasanya terkait dengan masalah yang ditemukan selama audit, seperti salah saji material pada beberapa pos, atau adanya pembatasan lingkup audit yang menyebabkan si pemeriksa tidak dapat memperoleh bukti yang cukup", ujar ade lagi.

Tambah Ade, Masih ada ditemukan kurangnya kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan keuangan daerah dan kurang efektifnya sistem pengendalian intern pemerintah. Masih lemahnya Inspektorat dan APIP dalam hal ini sebagai institusi yang tugas dan fungsinya melekat, yang seharusnya melakukan kontrol dan memberikan peringatan dini (early warning system) khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Apakah Opini itu mempunyai pengaruh pada tata kelola keuangan di daerah

Menurut Kepala Kantor BPK RI Perwakilan Jawa Timur pada masanya Novian Herodwijanto menginformasikan, "Opini WTP bukanlah merupakan sebuah penghargaan melainkan sebuah kewajiban yang sudah selayaknya dipenuhi oleh setiap kepala daerah"

Dalam beberapa keterangan resminya, BPK mengatakan meraih opini WTP sebenarnya mudah, namun harus membutuhkan komitmen, kerja keras, dan keterbukaan dalam menyusun dan menyampaikan laporan keuangan. Opini WTP adalah predikat tertinggi dari BPK, menunjukkan laporan keuangan disajikan secara wajar dan sesuai dengan standar akuntansi. 

Pencapaian prediksi opini WTP bukan hanya soal administrasi, tetapi cerminan dari komitmen bersama terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab. Hal ini termasuk memahami dan menerapkan SAP, menyiapkan data dan dokumen yang akurat, melakukan rekonsiliasi rutin, menerapkan pengendalian internal yang kuat, dan menggunakan sistem akuntansi yang tepat. BPK juga sering menekankan pentingnya komitmen dan keterbukaan dalam menyusun laporan keuangan. Dengan komitmen yang kuat dan keterbukaan, instansi akan mudah mencapai predikat opini WTP.

Bahkan dengan opini WTP sekalipun, BPK masih dapat memberikan catatan-catatan terkait dengan kelemahan sistem pengendalian intern atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Apalagi jika yang tidak mendapatkan Opini WTP tentu akan ada rekomendasi dan catatan-catatan tertentu terkait pengendalian intern atau ketidakpatuhan terhadap aturan perundangan yang berlaku.

 

Apakah dengan adanya Opini WTP berarti tidak ada korupsi

Menurut Kepala BPK Perwakilan DIY pada masanya, Widhi Widayat menyatakan, "opini WTP dari BPK bukan jaminan tidak ada masalah dalam pengelolaan keuangan daerah. Bisa saja tetap terjadi kemungkinan adanya kesalahan atau tindak pidana korupsi. Karena BPK hanya berwenang memeriksa pengelolaan keuangan daerah untuk taat secara aturan perundangan. Akan tetapi jika ditemukannya permasalahan hukum di situ, itu adalah domainnya APH (Aparat Penegak Hukum)." Ucapnya 

"Jadi BPK tidak terkait dalam pelaksanaan proses pemeriksaan atau penyelidikan. Jadi bukan jaminan mutlak, bahwa pemerintahan dengan opini WTP BPK ini zero defect, tidak ada kesalahan. Bukan. Jadi kalau ditanya opini selalu WTP. Kalau di luar itu ada permasalahan, ya bisa saja tetap terjadi,” tutupnya lagi.

 

Apakah ada indikasi penyelewengan APBD yang tersistematis dan terstruktur di Pemerintah kabupaten Kepulauan Meranti

Ada sesuatu yang ganjal dan pertanyaan besar, kenapa begitu sulitnya pemerintah daerah dalam usaha mengelola keuangan daerah agar selalu mematuhi ketentuan yang berlaku dalam setiap pelaksanaan dan pembelanjaan anggaran setiap tahunnya. Masalah yang jadi tanda tanya diantaranya adalah terkait anggaran tahun 2022 hingga 2024 yang tata kelola keuangan dan pemerintahannya amburadul dan banyak tidak sesuai dan tidak mengikuti aturan perundangan yang berlaku sehingga menyebabkan banyak tidak mampu dipertanggungjawabkan.

 

Siapa yang berperan dan bertanggungjawab ketika APBD tidak bisa dipertanggungjawabkan

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam menyebabkan tata kelola yang tidak tepat aturan dan tidak tepat sasaran tersebut masih saja terjadi dan kenapa begitu sulitnya untuk mengikuti aturan perundangan dalam tata kelola keuangan. Tentu akan terus menjadi pertanyaan, untuk apa dan kemana saja APBD Kabupaten Kepulauan Meranti sebenarnya mengalir, dan apakah ada yang menikmatinya beberapa tahun belakangan ini.?

Suatu hal yang mustahil untuk terwujudnya pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi jika tata kelola pemerintahan dan keuangan sering terjadi banyak permasalahan dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini akan jauh dari cita-cita untuk memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat apalagi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

Apa penyebab sebenarnya dalam pengelolaan keuangan daerah kabupaten Kepulauan Meranti, sehingga mendapatkan opini disclaimer 2 kali berturut-turut dari BPK-RI dan baru-baru ini hanya mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian. Publik pun masih bertanya-tanya hingga kini belum mendapatkan jawaban yang pasti.

Hingga akhir Mei 2025, banyak kegiatan dan program pemerintah dibidang infrastruktur belum berjalan dan pembayaran TPP ASN yang sudah dianggarkan di tahun 2025 belum terbayarkan secara utuh, sedangkan beban tunda bayar atau hutang tahun anggaran sebelumnya belum juga dapat terselesaikan. Apakah mungkin akan terselesaikan hutang yang lama ditambah kewajiban terhadap pembayaran atas pelaksanaan anggaran tahun 2025 ini akan terealisasi dengan baik sedangkan sudah memasuki semester II atau akan memasuki triwulan III. 

Ada indikasi dan prediksi akhir tahun 2025 ini akan berpotensi menimbulkan hutang lagi nantinya atas pelaksanaan anggaran tahun berjalan. Anehnya pencairan GU tetap sering dilakukan terutama di OPD yang terkesan di "Istimewa kan. Sebut saja di Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD dan Dinas PUPR. Bagaimana dengan nasib hutang tunda bayar Pemda Kepulauan Meranti tahun 2024 yang lalu, apakah pasti akan dibayarkan di tahun 2025 ini secara tuntas. Dan itu belum termasuk beban pembayaran untuk tahun anggaran 2025 yang sudah dianggarkan di APBD, namun masih belum terealisasi secara tepat sasaran hingga saat ini.

Ade Permana, aktifitis anti korupsi menyebutkan, seharusnya Bupati Asmar memberikan teguran dan pendisiplinan terhadap para pejabat yang masih saja berprilaku tidak taat pada aturan perundangan dalam tata kelola keuangan daerah.

Aktivis anti korupsi ini juga menegaskan agar Bupati Asmar merotasikan mereka dengan yang masih dianggap bersih, hal ini bisa dilihat dari sepak terjang dan rekam jejaknya selama ini. Dia beralasan jika masih saja pejabat yang dulunya tersangkut dalam rangkaian korupsi gratifikasi mantan bupati Kepulauan Meranti H. M. Adil, berkemungkinan besar akan selalu berimplikasi pada tata kelola keuangan yang amburadul atau stagnan bahkan bisa mundur. Secara tidak langsung sedikit banyaknya mereka sudah punya pengalaman dalam memfasilitasi atau melakukan yang diduga menjurus ke arah tindak pidana. Jangan sampai ada kepentingan lain yang bermain dalam hal ini termasuk politisasi atas anggaran APBD, ujar Ade lagi.

Hal ini bukan tanpa dasar dan alasan, sudah dibuktikan dengan terjadinya 2 kali Disclaimer dan Wajar Dengan Pengecualian atas kepatuhan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk tahun 2024. Karena pelaksanaan anggaran pemerintah Meranti tersebut masih banyak tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut BPK dalam LHP nya. Sudah menjadi rahasia umum, tidak tertutup kemungkinan adanya kepentingan oknum pribadi pejabat tersebut. Bisa saja, bagi pejabat yang terindikasi terperangkap dalam kasus dugaan pidana korupsi atau diduga melanggar hukum, tidak tertutup kemungkinan memberikan setoran atau menjadi ATM bagi pihak lainnya. Yang nantinya APBD Meranti akan turut menjadi taruhannya. Kita tidak menuduh, namun kemungkinan untuk itu bisa saja terjadi dan tidak mustahil hal itu terjadi," Tutup Ade lagi.

 

Mengapa ketidakpatuhan pada aturan hukum terus saja terjadi sekarang ini

"Publik menilai komitmen Bupati Asmar selama ini untuk membasmi korupsi kurang serius dengan masih mempertahankan pejabat yang terindikasi terlibat dalam tindak pidana korupsi termasuk mereka yang sengaja memfasilitasi atas Gratifikasi mantan Bupati Haji Adil dan ikut serta dalam memfasilitasi (Madeplager) terjadinya peristiwa tersebut (KUHP pasal 55 dan 56 tentang ikut serta dan memfasilitasi terjadinya tindak pidana," Ujar Maruli Purba, SH Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau melalui keterangannya, Selasa (27/05).

Jika hal itu terus dilakukan tanpa adanya perubahan dalam sistem, artinya pernyataan Bupati Asmar kontradiktif terhadap komitmen kepada KPK yang ingin membersihkan kabupaten Kepulauan Meranti dari korupsi dan perilaku koruptif. Tentu jadi pertanyaan besar, apa alasan dan kenapa masih saja dipertahankan pejabat-pejabat yang dulunya pernah terbukti berdasarkan "fakta persidangan" memberikan setoran kepada mantan Bupati Haji Adil dalam perkara Gratifikasi mantan Bupati Meranti tersebut, apakah ada sandera politik anggaran atau sandiwara, publik masih belum mendapatkan jawaban yang jelas dan hal itu akan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ujar Maruli Purba.

Berikut daftar OPD di lingkungan Pemkab Kepulauan Meranti yang memberikan uang setoran kepada terdakwa Muhammad Adil tahun 2022 sebagaimana diungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut KPK :

1. Sekretariat DPRD: Rp 4,5 miliar

2. Dinas PUPR: Rp 1,8 miliar

3. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kesehatan: Rp60 juta

4. Badan Penanggulangan Bencana: Rp140 juta

5. Dinas Satpol PP dan Pemadam Kebakaran: Rp30 juta

6. Dinas Sosial Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana: Rp310 juta

7. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Rp171 juta

8. Dinas Pemukiman, Kawasan dan Lingkungan Hidup: Rp162 juta

9. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil: Rp60 juta

10. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa: Rp30 juta

11. Dinas Perhubungan: Rp60 juta

12. Dinas Pemadaman Modal: Rp140 juta

13. Dinas Perpustakaan dan Arsip: Rp20 juta

14. Dinas Perikanan: Rp40 juta

15. Dinas Kepemudaan dan Pariwisata: Rp160 juta

16. Dinas Perindustrian dan Perdagangan: Rp60 juta

17. Dinas Kopetasi dan UMKM: Rp41 juta

18. Dinas Komunikasi, Informasi dan Persandian: Rp120 juta

19. Bappedalitbang: Rp260 juta

20. BPKAD: Rp774 juta

21. Bapenda: Rp384 juta

22. Badan Kepegawaian dan SDM: Rp172 juta

23. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik: Rp20 juta

24. Sekretariat Daerah membawahi beberapa bagian, yaitu:

- Bagian Tata Pemerintahan: Rp15 juta

- Bagian Kesra: Rp661 juta

- Bagian Administrasi Pemerintahan: Rp4 juta

- Bagian PDC: Rp13 juta

- Bagian Hukum: Rp20 juta

- Bagian Umum: Rp1,5 miliar

- Bagian Pengelolaan Perbatasan: Rp8 juta

- Bagian Portala: Rp15 juta

- Bagian Ekonomi dan SDM: Rp10 juta

- Bagian Prokopim: Rp125 juta

 

Bagaimana cara mengcounter atau meminimalisir setiap bentuk permasalahan atau pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku

Setiap pelanggaran atas ketidakpatuhan terhadap aturan hukum dan Perundangan khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Kepulauan Meranti harus diberikan sangsi oleh Kepala Daerah sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Minimal akan ada efek jera terhadap prilaku atas ketidakpatuhan dan penyelewengan dalam pelaksanaan APBD di Kabupaten Kepulauan Meranti tersebut.

Pengelolaan Keuangan Negara atau Daerah harus dilakukan dengan prinsip Akuntabel dan Transparansi, hal ini sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang KEUANGAN NEGARA.

Perlu diingat, sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pada Pasal 41 ayat (1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Dan Pemberantasan TINDAK PIDANA KORUPSI. Dalam Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.(Tim_Invest/Sang/sl)