SuaraLira.Com, Meranti -- Dugaan pelanggaran aturan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Meranti kembali mencuat. Kali ini, sorotan tertuju pada kegiatan rehabilitasi berat pada item rehab gedung kantor bupati dan interior plafon Kantor Bupati yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan daerah dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Informasi dan fakta di lapangan menyebutkan, pekerjaan yang dilakukan diantaranya plafon (interior) sudah mulai dilaksanakan pada bulan September 2024, namun informasi yang didapatkan kontrak pekerjaan baru ditandatangani pada November 2024. Disamping itu ada juga item lainnya yang sudah terlebih dahulu dikerjakan sebelum kontrak ditandatangani. Ironisnya, hal tersebut terjadi saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan semesteran sekitar bulan September kemaren, informasi valid menyatakan Kabid Cipta Karya Feni Utami saat itu sempat dipanggil untuk dimintai klarifikasi oleh BPK RI. Artinya, benar adanya pelaksanaan pekerjaan diduga mendahului kontrak. Jika hal ini benar, maka jelas melanggar aturan yang berlaku yaitu Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Hasil Investigasi: Bukan Satu Kasus
Dari hasil penelusuran dan investigasi media ini, ditemukan indikasi bahwa pola kerja lebih dulu baru menyusul dokumen administrasi seperti berita acara atau kontrak bukan hanya terjadi pada proyek rehab berat Kantor Bupati. Tidak tertutup kemungkinan adanya kegiatan lain dengan pola serupa atau bahkan lebih parah. Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik pelanggaran administratif dan teknis serta kesengajaan yang berulang-ulang dalam memenuhi aspek kepatuhan hukum sudah menjadi kebiasaan buruk di lingkungan dinas terkait, yang dapat membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi.
Menu E-Katalog Diduga Bocor
Selain persoalan waktu pelaksanaan, pengadaan melalui e-Katalog juga menjadi sorotan. Menu e-Katalog dari penyedia ternyata identik dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Hal ini memunculkan kecurigaan : apakah HPS bocor ke penyedia? Jika ya, siapa yang membocorkannya? Ataukah memang sudah dikondisikan sejak awal antara dinas dan penyedia?
Kondisi ini memperkuat dugaan adanya pelanggaran serius, termasuk pekerjaan yang dilaksanakan sebelum adanya Surat Perintah Kerja (SPK).
Menurut Maruli Purba, SH Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau", Sesuai peraturan hukum, suatu pekerjaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dilarang untuk dikerjakan sebelum penandatanganan kontrak. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021.
"Kontrak adalah kesepakatan hukum yang mengikat antara pemerintah dan penyedia jasa/barang, sehingga menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan pekerjaan. Kontrak secara umum diatur didalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berberbunyi, Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih," ujar Maruli lagi saat dihubungi media (28/5/2025).
Seiring berjalannya waktu, tindak pidana korupsi seolah makin membudaya di kalangan para pejabat kita. Salah satunya sektor yang rawan untuk dijadikan sebagai ladang subur pelaksanaan korupsi adalah di bidang pengadaan barang/jasa.
Selanjutnya adalah penerapan prinsip Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden, dijelaskan bahwa Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Sesuai Pasal 1 Angka 10 Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa, disebutkan bahwa PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah.
Menurut mantan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zet Tadung Allo mengatakan bahwa, "Sekitar 80 persen kasus korupsi di Indonesia terjadi pada pengelolaan APBN dan APBD, terutama dalam pengadaan barang dan jasa yang sering kali di-mark-up. Korupsi di Indonesia seperti gunung es, banyak kasus yang tidak terungkap ke permukaan," tambah mantan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Temuan BPK dalam LHP 2024
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terbaru mengenai kepatuhan pengelolaan keuangan daerah tahun 2024, ditemukan sejumlah persoalan signifikan, antara lain:
1. Pembatasan pemeriksaan sehingga tidak diperoleh bukti cukup mengenai nilai utang belanja (tunda bayar) yang belum diselesaikan.
Hal ini perlu dipertanyakan terhadap entitas yang di audit terkait bukti-bukti yang diperlukan BPK dalam proses audit masih ada yang tidak diberikan secara utuh dan tepat. Informasi yang didapatkan dari sumber terpercaya dilapangan mengatakan, salah satunya terkait adanya PPK di LPSE sendiri beberapa waktu lalu pada saat BPK meminta akun PPK LPSE untuk dapat di akses dalam proses pemeriksaan audit, PPK tersebut terkesan mempersulit BPK dalam proses audit dan dengan dinamika yang berlangsung pada akhirnya diberikan juga. Patut diduga disini adanya upaya mempersulit BPK dalam melakukan akses dan proses auditnya. Jika hal ini benar adanya melanggar aturan perundangan sesuai Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2. Pertanggungjawaban Belanja Barang dan Jasa melalui mekanisme UP/GU tidak sesuai ketentuan.
Masih banyaknya ditemukan SPJ terkait pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun 2024 dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya pencairan dana UP dan GU masih ada ketidaksesuaian dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.
3. Permasalahan ketidaksesuaian kualitas dan volume pekerjaan, ketidaktepatan penyesuaian harga satuan, dan ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dalam pelaksanaan Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan, yang mengakibatkan kelebihan pembayaran.
Masih banyaknya temuan dilapangan terhadap mutu dan kualitas serta volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Diantaranya tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dalam mengelola keuangan daerah dan pertanggungjawabannya setidaknya harus mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah oleh Kepala Daerah.
Kewajiban Melaporkan tindak pidana dan Ancaman Obstruction of Justice
UU Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 108 ayat (3) mewajibkan setiap pegawai negeri yang mengetahui terjadinya dugaan tindak pidana untuk segera melapor kepada penyelidik atau penyidik. Jika tidak, dapat dijerat Pasal 221 ayat (1) KUHP tentang obstruction of justice, dengan ancaman pidana penjara 9 bulan. Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.
Apakah dalam setiap kegiatan sudah Ada Rencana Kerja Tahunan (RKT)?
Dalam pelaksanaan swakelola dan pengadaan barang/jasa, Rencana Kerja Tahunan (RKT) merupakan dokumen krusial. RKT berfungsi sebagai pedoman teknis bagi tim pelaksana, berisi identifikasi kegiatan, tahapan kerja, target pencapaian, hingga alokasi sumber daya.
RKT disusun oleh tim perencana yang terdiri dari tim persiapan, tim pelaksana, dan tim pengawas.
RKT mencakup informasi seperti :
- Identifikasi kegiatan swakelola.
- Rencana kerja dan tahapan kegiatan.
- Target pencapaian dan indikator keberhasilan.
- Sumber daya (manusia, anggaran, material, dll.) yang dibutuhkan.
- Penyusunan tim pelaksana dan pengawas.
- Rencana monitoring dan evaluasi.
- Laporan akhir kegiatan.
Keterlibatan apa dengan KPK dan Dugaan adanya Lanjutan kasus
Menambah kecurigaan, pada Desember 2024 rumah pribadi Pejabat PUPR di Jalan Sedulur, Banglas Barat, digeledah oleh KPK dalam kaitannya dengan kasus korupsi dan gratifikasi mantan Bupati Haji Adil. Beberapa dokumen penting dilaporkan turut diamankan.
Untuk diketahui, berdasarkan "fakta persidangan" sebagaimana yang diungkap dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut KPK dalam persidangan kasus Korupsi dan Gratifikasi terdakwa Muhammad Adil tahun 2022, Dinas PUPR Kepulauan Meranti ada melakukan setoran (dugaan gratifikasi) sebesar Rp 1,8 miliar.
Serangkaian dugaan pelanggaran dan ketidakpatuhan terhadap hukum oleh Dinas PUPR Meranti ini menimbulkan pertanyaan, mengapa masih saja terjadi dan tak kunjung diberi sanksi tegas, sebagaimana diatur dalam Perpres 16 Tahun 2018 jo Perpres nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
LHP Bisa Jadi Pintu Masuk Penyelidikan
Menurut praktisi hukum OK Sofyan Taufik, SH, MH, temuan BPK dapat dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Jika LHP mengandung indikasi kerugian negara, maka harus ditindaklanjuti untuk memastikan ada atau tidaknya unsur tindak pidana.
BPK, melalui LHP, pada dasarnya sudah memuat unsur-unsur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Transparansi dan Akuntabilitas
BPK seharusnya mempublikasikan hasil pemeriksaan melalui situs resminya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 UU No. 15 Tahun 2004, Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2006, dan Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ancaman Hukum dan Pertanggungjawaban
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi atau orang lain dapat dijerat Pasal 12B ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, dengan ancaman penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar. Ini juga sejalan dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN dan PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Supremasi Hukum Harus Ditegakkan
Apakah oknum Dinas PUPR KEBAL HUKUM karena sesuatu hal atau Hukum itu sudah tersandera. Percuma saja KPK atau APH lainnya sering melakukan supervisi ataupun sosialisasi UU terkhusus Tindak Pidana Korupsi. Jika Supremasi Hukum tidak mampu ditegakkan, malahan sebagai alat memperkaya diri oknum pejabat dan kepentingan pribadi serta kelompok, untuk apa lagi fungsi dan guna UU dan hukum jika bukan untuk dilaksanakan. Jangankan untuk melakukan pencegahan, yang pastinya akan terbiasa melakukan tindak pidana.
Jika supremasi hukum tidak ditegakkan dan penyimpangan terus dibiarkan tanpa sanksi, maka fungsi hukum sebagai alat keadilan akan kehilangan makna. Percuma saja ada supervisi atau sosialisasi jika hanya menjadi formalitas. Untuk itu, Kepala Daerah harus tegas memberikan sanksi kepada bawahan yang melanggar aturan agar menciptakan efek jera.
Sesuai Pasal 1 ayat 22 UU No. 1 Tahun 2004 dan Pasal 1 ayat 15 UU No. 15 Tahun 2006, tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa KERUGIAN NEGARA adalah : Kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan MELAWAN HUKUM baik SENGAJA maupun LALAI.
Sangsi terkait Ketidakpatuhan dan pelanggaran kode etik atau disiplin pegawai negeri
Apakah Kepala Daerah Kepulauan Meranti ada memberikan sanksi sesuai aturan hukum berlaku dan seperti apa sanksi nya ketika bawahannya tidak taat dan patuh pada aturan pengelolaan keuangan daerah agar tidak terulang kembali serta adanya efek jera. Jika tidak memberikan sanksi wajar saja jika hal itu terjadi lagi untuk di tahun berikutnya. Hal ini diatur dalam Perpres nomor 12 tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2021 tentang Kode Etik dan Disiplin PNS.
Jika ada penyimpangan yang terbukti dalam LHP BPK, hal itu bisa dijadikan dasar penyidikan oleh aparat penegak hukum. Hubungan antara BPK dan APH menjadi kunci terwujudnya tata kelola keuangan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab.
Konfirmasi Kabid Cipta Karya
Saat dimintai konfirmasi mengenai adanya dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut, Kepala Dinas PUPR Kepulauan Meranti Bapak Fajar Triasmoko, MT melalui Kabid Cipta Karya Feni Utami ST, MH, ketika dihubungi tidak membantah bahwa adanya pekerjaan yang dilakukan sebelum kontrak dilakukan. Ia menyebut hal itu dilakukan karena mengejar momen 17 Agustus, di mana kondisi Kantor Bupati saat itu dinilai sudah tidak representatif.
"Kami tidak ada maksud lain, hanya ingin membangun Meranti. Kantor Bupati sudah tidak bagus dan perlu diperbaiki agar saat 17 Agustus bisa dipakai dengan layak," ujar Feni, (27/05) kepada media.
Ia juga menambahkan, "Tujuan kami tulus untuk kemajuan daerah. Mari kita bergandengan tangan bersama membangun Meranti ke arah yang lebih baik," katanya.
Konfirmasi kembali Pengguna Anggaran dan PPK Terkesan Sulit Dihubungi
Dalam upaya pendalaman informasi, media ini juga berusaha mengkonfirmasi langsung pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan, yakni Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) hp 0853 75xx xxxx, 0813 28xx xxxx. Namun, hingga berita ini diturunkan, berbagai upaya konfirmasi yang dilakukan sangat sulit mendapatkan tanggapan.
Kondisi ini menambah tanda tanya besar, mengingat transparansi seharusnya menjadi bagian dari akuntabilitas dalam pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari uang negara. Ketertutupan informasi dari pejabat teknis pelaksana juga menambah kesan bahwa ada sesuatu yang patut dicurigai dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Larangan untuk mempersulit jurnalis dalam melakukan kerja pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini menjamin kebebasan pers dan melindungi jurnalis dari intervensi, sensor, dan tekanan yang tidak wajar. Intinya, jurnalis berhak bekerja tanpa intimidasi dan tekanan.
Berdasarkan Pasal 6 huruf c UU Pers, salah satu peranan pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Sudah seharusnya pers mengungkap informasi berdasarkan fakta bukan alibi semata. Media pers memiliki hak untuk menginformasikan fakta tanpa dibatasi. (Tim_Invest/Sang/sl)