SuaraLira.Com, Meranti -- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen penting yang diatur dalam undang-undang untuk memastikan bahwa pengelolaan dana pemerintah daerah berjalan dengan transparan dan akuntabel.
Tujuan utamanya adalah untuk mendata pengeluaran dan pendapatan dalam satu tahun, memperbaiki kesalahan yang terjadi, serta mencegah penyalahgunaan dana yang dapat merugikan masyarakat yang berimbas pada perekonomian masyarakat.
Namun, sangat disayangkan muncul indikasi adanya dugaan penyimpangan dan penyelewengan terkait penggunaan dana APBD, khususnya di Kabupaten Kepulauan Meranti untuk tahun anggaran 2023 dan 2024 yang diduga berulang kali dikelola tidak sesuai berdasarkan aturan perundangan yang berlaku.
Hal ini berimplikasi amburadulnya APBD Kepulauan Meranti di tahun 2025 ini dengan masih banyaknya belanja prioritas termasuk belanja pegawai dan barang jasa yang belum terbayarkan termasuk tunda bayar, patut diduga hal ini berkaitan erat dengan kasus penyalahgunaan APBD Meranti tahun anggaran 2023 dan 2024 yang lalu. Perlu kiranya ada pemeriksaan intensif terkait pengelolaan keuangan untuk tahun berkenaan. Hal ini menjadi bagian dari upaya penegakan hukum yang lebih luas untuk mengungkap dugaan korupsi yang merugikan keuangan daerah.
Dugaan kasus penyelewengan APBD ini terus menjadi sorotan publik, mengingat anggaran daerah seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Masyarakat Meranti berharap agar dugaan penyalahgunaan APBD ini diungkap secara transparan dan akuntabel, sehingga kepercayaan publik terhadap hukum dan pengelolaan anggaran daerah dapat tetap terjaga.
Pemerintah daerah dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) termasuk inspektorat belum mampu membuka tabir gelap dan tindak lanjut dari LHP BPK secara transparan dan jujur serta akuntabel. Berkenaan dengan itu, diharapkan BPK kedepannya lebih terbuka dalam memberikan informasi terkait LHP dan TLHP ke publik jika tidak ingin publik berpersepsi dan berspekulasi adanya main mata.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Audit LHP BPK RI Perwakilan Riau Nomor : 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024 tanggal 20 Mei 2024 ditemukan adanya dana yang dibatasi penggunaannya namun digunakan untuk kegiatan yang tidak sesuai aturan perundangan sesuai dengan peruntukannya sebesar Rp. 31.110.948.129,55. Adanya sekitar Rp. 42 Milyar yang diyakini terjadinya ketidakwajaran terhadap laporan pertanggung jawabannya oleh BPK-RI.
Amburadulnya pengelolaan keuangan daerah tahun 2023 dan 2024 lalu merupakan tanggung jawab dari Sekretaris Daerah dan Kepala BPKAD selaku Bendahara Umum Daerah. Hal ini berdasarkan fungsi dan kewenangan mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mengelola keuangan daerah sesuai aturan perundangan yang berlaku. Banyaknya terjadi tunda bayar termasuk ADD dan TPP ASN sebanyak 5 bulan dengan total anggaran tunda bayar sekitar Rp. 119 Milyar rupiah ditahun 2024 kemaren. Padahal pos anggarannya sudah tersedia. Kemana perginya anggaran yang sudah dianggarkan tersebut.?
Kontrol pengelolaan keuangan daerah ada pada kepala daerah. Menjadi pertanyaan publik, kenapa masih saja mempertahankan mereka dalam mengelola keuangan daerah sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan yang berlarut-larut. Tak tahu kenapa, seolah-olah Kepala Daerah terkesan tak mampu memberikan sangsi atau mencopot jabatan mereka yang menjadi penyebab "CHAOS" nya APBD Kabupaten Kepulauan Meranti tanpa tahu kapan berakhirnya permasalahan ini.
APBD 2023 tak bisa dipertanggungjawabkan sesuai aturan perundangan berdasarkan uji petik dari audit LHP BPK dan statement dari pejabat BPK sendiri. Begitu juga anggaran untuk tahun 2024 sudah tersedia dan realisasi anggaran berdasarkan struktur APBD tidak ada masalah yang berarti. Namun anehnya banyak menyisakan Masalah hingga adanya tunda bayar. Dimanakah salahnya dan seolah-olah APBD raib entah kemana tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sesuai PERDA.
Aparat Penegak Hukum seperti tertidur, BPK terkesan tak mampu melakukan fungsi dan kewajibannya sesuai aturan berlaku dalam hal audit dan pengawasan serta kewajiban dalam memberikan informasi ke publik secara transparan dan bertanggung jawab seluas-luasnya. Apakah ada mafia yang bermain dalam lingkaran APBD sehingga audit pengelolaan keuangan dari 2022 dan 2023 tidak dibuka ke publik secara transparan sesuai aturan yang berlaku. Ada apa dengan BPK dan Penegak Hukum.? Apakah UU dan aturan hukum hanya sebuah simbol semata. Mungkinkah hukum sudah terbeli atau mati suri.?
Mengutip pernyataan Agung M Noer, pejabat BPK-RI Perwakilan Riau beberapa waktu lalu disalah satu media online, mengatakan terjadinya 2 kali Disclaimer pada Opini Pemkab Meranti selama kurun waktu tahun 2022 dan 2023 disebabkan karena terdapatnya permasalahan signifikan yang berpengaruh pada kewajaran penyajian nilai belanja dalam laporan keuangan. Nilai belanja di bukti SPJ, tidak menunjukkan nilai belanja sebenarnya. BPK sendiri tidak dapat meyakini berapa nilai belanja yang sebenarnya.
Patut diduga adanya Abuse of power yaitu tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum pejabat demi kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi, orang lain atau korporasi. Jika tindakan tersebut dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka dianggap sudah termasuk sebagai tindakan korupsi.
Terkait adanya dugaan penyalahgunaan APBD ini, Aktivis anti korupsi Ade Permana menyebutkan, masih banyak kasus korupsi di Kepulauan Meranti yang belum tersentuh dan ditangani secara serius oleh penegak hukum. Hal ini, menjadi preseden buruk bagi publik dan justru malah semakin membuka celah bagi para pejabat daerah di Meranti dan kroni-kroninya untuk menyelewengkan APBD secara sistematis dan masif.
Ade menambahkan, masyarakat Meranti semakin menjerit, perekonomian lumpuh imbas dari salahnya tata kelola pemerintahan dan keuangan yang terus terjadi oleh pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan. Kesejahteraan masyarakat dan pembangunan jauh dari harapan. Cita-cita murni pemekaran sejak 16 tahun silam semakin pupus diambang kehancuran. Pemangku kebijakan terkesan hanya berdiam, tak tau harus melakukan apa untuk mengantisipasi dan mengendalikan situasi rumit ini.
Ada indikasi APBD tersebut dinikmati hanya untuk segelintir oknum Pejabat saja. Diharapkan agar Mabes Polri, Kejagung dan KPK turun ke Kabupaten Kepulauan Meranti untuk melakukan pengawasan kepada masing-masing institusi mereka sendiri sesuai arahan dan instruksi Presiden Prabowo, ujarnya lagi beberapa waktu lalu saat dihubungi awak media.
KPK dianggap tidak tuntas dalam menindak prilaku pidana korupsi di Meranti ditandai dengan tidak adanya pengembangan kasus terkait kasus korupsi mantan bupati Haji Adil, dimana pejabat sebagai eksekutor dalam terjadinya suatu tindak pidana tersebut seolah-olah tidak ada sangsi dan efek jera sehingga diduga masih tetap melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan dengan modus operandi yang hampir sama seperti masa haji adil beberapa waktu lalu.
Bukannya malah ada upaya pencegahan atau penindakan atas dugaan korporasi korupsi berjama'ah, malahan dugaan potensi tindak pidana korupsi semakin merajalela di Kabupaten Kepulauan Meranti ini yang mengakibatkan lumpuhnya perekonomian masyarakat Meranti di segala bidang. KPK dianggap gagal dalam melakukan pencegahan korupsi, malahan KPK terkesan memandang seolah-olah yang korupsi hanyalah Haji Adil sendiri, sehingga lupa dengan mereka yang selama ini memfasilitasi terjadinya tindak pidana korupsi tersebut (madeplager).
Jika KPK tidak sanggup, Polda dan Kajati harus segera turun menyelidiki untuk menangani adanya dugaan penyalahgunaan APBD tersebut. Jika tidak mampu publik berharap agar Bapak Kapolri Sigit Listyo Prabowo yang langsung mengambil alih. Hal ini sesuai pidato dan jargon beliau yang sangat viral "Kalau gak mampu, saya ambil alih".
Dugaan penyalahgunaan anggaran ini seharusnya mendorong Aparat Penegak Hukum untuk menggali lebih dalam terkait mekanisme penyusunan hingga realisasi terhadap anggaran daerah (APBD) tersebut. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menelusuri mulai aspek perencanaan hingga realisasi APBD tahun 2023 dan 2024, yang diduga sarat masalah hukum.
Semua bentuk penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) harus ditindak tegas. Tujuannya agar pembangunan daerah bisa lebih lancar dan dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.
Sejatinya, APBD digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jika ada yang berani menyelewengkan harus ditindak secara hukum. Hal ini sesuai Adagium Hukum : Salus populi suprema lex (Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi dalam suatu negara).
Kredibilitas dan integritas lembaga penegak hukum mulai disangsikan publik, penegakan hukum terkesan tumpul tidak sesuai dengan Visi dan Misi serta Asta Cita Presiden Prabowo dalam hal pemberantasan korupsi.
"Kasus mantan Bupati Haji Adil itu terang benderang di mata masyarakat, bahkan masyarakat awam pun mengetahui bahwa benar-benar telah terjadi satu tindakan penyalahgunaan keuangan daerah secara berjama'ah. Di mana keuangan daerah seharusnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tetapi hanya masuk ke kantong oknum pejabat saja," ungkap Maruli Purba, SH Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau melalui keterangannya, Selasa (20/05).
Maruli meminta KPK lebih serius mendalami kasus-kasus penyimpangan penggunaan anggaran pembangunan di wilayah Meranti. Karena, sudah menjadi perbincangan publik bahwa penegakan hukum dan efek jera gagal diterapkan karena aktor utamanya diduga masih berkeliaran. Salah satu penyebabnya adalah perilaku koruptif di kalangan para oknum pejabat daerah dalam mengelola keuangan daerah masih sering terjadi.
"Jangan sampai kredibilitas dan integritas BPK jadi taruhan jika tak mampu menjalankan sesuai amanat UU dan aturan yang berlaku. Untuk apa fungsi auditor negara jika enggan membuka ke publik termasuk melaporkan mereka yang terindikasi melanggar hukum kepada aparat penegak hukum. Padahal sudah jelas aturan hukum mengaturnya seperti itu. Apakah ada indikasi sebagai Obstruction Justice, publik bertanya-tanya," tegas Maruli Purba.
Hal ini sejalan dengan pasal 14, pasal 19 UU Nomor 15 Tahun 2004, juga dalam pasal 7, pasal 8 Ayat 3 dan 4 dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 dan Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008. Selain itu terdapat dalam pasal 19 UU Nomor 15 tahun 2004, juga pasal 7 UU tentang BPK dan pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
"Seolah-olah BPK sengaja mempersempit ruang dan akses dalam mengetahui terkait transparansi dan akuntabelnya suatu laporan hasil pemeriksaan dari BPK itu sendiri. Patut dipertanyakan kenapa susah mengakses Sesuatu yang seharusnya ditujukan dan untuk kepentingan publik. Apakah ada permainan disana sehingga terkesan susah di akses. Masih ingat kita akan kasus yang menimpa mantan Auditor BPK Fahmi Aressa, dimana terungkap bekerja sama dengan entitas yang diaudit dalam merubah opini agar lebih baik tidak sesuai dengan yang sebenarnya," lanjutnya.
Pengaruh APBD terhadap perekonomian suatu daerah memiliki dampak yang sangat penting. Tercatat bahwa realisasi APBD memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di suatu daerah. Realisasi APBD secara langsung dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya bisa berdampak pada tingkat kemiskinan di daerah tersebut jika salah urus.
Dampak dari APBD terhadap perekonomian di suatu daerah antara lain :
1. Peningkatan infrastruktur daerah,
2. Pemerataan pembangunan,
3. Penciptaan lapangan kerja,
4. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
5. Meningkatkan kualitas pelayanan publik,
6. Stimulus ekonomi, dan
7. Mendorong pembangunan berkelanjutan.
Tantangan dalam pelaksanaan APBD
Meskipun dampak positif dari APBD sangat signifikan, implementasi APBD juga menghadapi sejumlah tantangan yang dapat mempengaruhi efektivitasnya terhadap perekonomian daerah, diantaranya :
Di Indonesia sekarang korupsi telah menjadi gurita dalam sistem pemerintahan dan merupakan gambaran dari betapa bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta buruknya pelayanan publik. Dan akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat terutama masyarakat kecil yang berada di bawah garis kemiskinan.
Korupsi di Indonesia khususnya di Kepulauan Meranti sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Dan apabila dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia, khususnya pemenuhan Hak-hak Ekonomi Sosial, dan Budaya, maka jika terjadi Tindak Pidana Korupsi, dapat dikatakan telah terjadi adanya Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Penyelewengan APBD termasuk dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Upaya yang harus dilakukan :
Berkaitan dengan penyalahgunaan penggunaan APBD merupakan bentuk dari korupsi, yang memenuhi unsur-unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain serta merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Hal ini sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian pula dalam asas umum pasal 3 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ” setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pegeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia “.
Tingkat keberhasilan suatu daerah
Kunci dari keberhasilan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di daerah adalah APBD yang kredibel, terlaksananya program-program pemerintah (program pemerintah pusat maupun program pemda) di daerah secara efektif dan efisien, serta hilangnya korupsi di daerah termasuk korupsi APBD. Pemda dan masyarakat sama-sama berperan penting dalam menciptakan APBD yang kredibel dan pemberantasan korupsi .
Menurut mantan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zet Tadung Allo mengatakan bahwa, "Sekitar 80 persen kasus korupsi di Indonesia terjadi pada pengelolaan APBN dan APBD, terutama dalam pengadaan barang dan jasa yang sering kali di-mark-up. Korupsi di Indonesia seperti gunung es, banyak kasus yang tidak terungkap," tambah mantan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu yang kini sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi NTT.
Dalam hal ini, pemerintah khususnya penegak hukum harus segera bertindak tegas dalam mengatasi masalah penyalahgunaan APBD. Pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan APBD agar penyalahgunaan tersebut tidak terjadi lagi. Pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas bagi oknum pejabat yang melakukan penyalahgunaan APBD. Dalam hal ini, semua pihak harus bekerja sama bukan hanya pemerintah, namun masyarakat juga harus berpartisipasi dalam pengawasan pengelolaan APBD agar penyalahgunaan tersebut dapat diminimalisir.
Pemerintah harus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan APBN. Pemerintah harus memberikan informasi yang jelas dan terbuka tentang anggaran yang digunakan untuk program dan proyek pemerintah. Hal ini membuat masyarakat dapat melihat secara transparan penggunaan APBN oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, pemerintah juga dapat meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan APBN. Lembaga pengawas seperti KPK, BPK, dan instansi terkait harus aktif melakukan pengawasan dan melakukan tindakan preventif terhadap penyalahgunaan APBN.
Banyak dugaan pelanggaran dan kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemangku jabatan namun selama ini terkesan adanya pembiaran. Apa yang sebenarnya terjadi, apakah adanya perselingkuhan lintas sektoral untuk menutupi permasalahan yang kompleks ini. Kita tahu bersama jika ditemukan dugaan dan indikasi penyalahgunaan APBD yang berimplikasi terhadap goyang dan hancurnya perekonomian sepatutnya perlu dilakukan investigasi khusus untuk ditelusuri kemana sebenarnya anggaran APBD 2023 dan 2024 dibelanjakan, siapa saja yang menikmatinya dan apakah hanya dinikmati segelintir orang. Faktanya uang tidak berputar di masyarakat sedangkan realisasi dana transfer dari pusat dan realisasi pencairannya bisa dikatakan tidak ada kendala yang berarti. Hal ini mengakibatkan perekonomian masyarakat mengalami penurunan yang signifikan.
Kondisi ini akan membahayakan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti bagai api dalam sekam yang bisa saja meledak disaat semakin terpuruknya ekonomi masyarakat. Akan berimbas pada angka kriminalitas yang berimplikasi meningkat karena urusan perut tak bisa dihindari.
Perlu adanya efek jera dan SDM yang mumpuni untuk membenahi permasalahan ini. Sudah semestinya pejabat yang bermasalah harus bertanggungjawab dan dikenakan sangsi. Sayangnya pejabat pembina kepegawaian dalam hal ini kepala daerah tak mampu dan enggan menggantikan mereka yang bermasalah agar lebih baik kedepannya. Apa yang sebenarnya terjadi hingga kepala daerah terkesan tak mampu mengambil kebijakan kongkrit dalam menyelesaikan masalah yang semakin hari semakin rumit. Apakah ada indikasi kepala daerah takut dan di intervensi oleh bawahannya.? Publik pun heran dan bertanya-tanya tentang apa fakta sebenarnya yang terjadi di negeri ini.(Tim_Invest/Sang/sl)