Hari Sumpah Pemuda

Dea Valencia, Desainer Muda Indonesia dengan Semangat Pemberdayaan

SETIAP tanggal 28 Oktober Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi pengingat atas semangat dan perjuangan pemuda-pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. 
 
Sesuai dengan namanya, Sumpah Pemuda dijadikan sebagai dasar untuk membangkitkan rasa nasionalisme. Di mana pemuda sudah tak lagi berjuang sendiri, melainkan bersama-sama untuk memajukan Indonesia tercinta. 
 
Dea Valencia, Desainer Muda dengan Semangat Pemberdayaan
 
Dalam industri fesyen Indonesia sendiri, sudah banyak desainer-desainer muda yang bermunculan. Mereka menunjukkan bakat dan kemampuan merancang busana, hingga karya mereka pun sudah diakui secara internasional. 
 
Salah satu desainer muda tersebut adalah Dea Valencia. Dara cantik berusia 22 tahun itu memiliki prestasi yang membanggakan Indonesia melalui bisnis lini fesyen batik hingga menembus pasar internasional. 
 
Awal mulanya, perempuan asal Semarang, Jawa Tengah, ini memulai bisnis batik sejak masih kuliah di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Kala itu, ia hanya membantu sang ibu yang memintanya untuk berjualan koleksi batik yang cukup banyak. Dari yang awalnya tidak mengetahui batik sama sekali, mau tidak mau Dea harus belajar. Sejak saat itu pula, Dea jadi senang dengan batik. 
 
“Setelah mempelajari batik, saya jadi senang dengan batik. Awalnya kan hanya menjual koleksi batik ibu saya yang lawasan dan kuno-kuno. Nah, berhubung batik lawasan ada beberapa yang sobek, saya buat menjadi baju, ada beberapa bunganya yang digunting, dirangkai lagi. Dari situ saya mulai paham dan cinta dengan batik, kemudian, kepikiran untuk merancang sendiri untuk dibuat baju,” tutur Dea Valencia yang dihubungi wartawan melalui sambungan telefon, beberapa waktu lalu. 
 
Menjual busana dari kain-kain batik dan digemari oleh banyak orang membuat pemilik nama lengkap Dea Valencia Budiarto ini menekuni bisnis batik secara serius melalui lini busana bernama Batik Kultur. Jika sebelumnya menggunakan batik lawasan, kini Dea mulai memproduksi bahan sendiri. 
 
Kain batik yang digunakan Batik Kultur merupakan hasil kerjasama dengan sejumlah perajin asal sentra batik, seperti Cirebon, Solo, dan Pekalongan. Dea menuturkan kain batik tersebut tidak diproduksi dari bahan batik setelah jadi, namun ia mendesainnya dari kain putih yang sudah dirancang untuk model-model baju tertentu. 
 
“Kain batik kami tidak diproduksi dari bahan batik batik setelah jadi, tetapi kami desain dari kain putih yang bahannya sudah didesain untuk model-model baju tertentu. Sehingga semua potongan sudah dipikir sejak awal. Jadi, bukan belanja kain batik dari awal lalu dibuat baju,” terang Dea. 
 
Tak hanya kain batik, Batik Kultur juga menggunakan kain wastra Nusantara lainnya dalam mendesain busana. Batik Kultur bekerjasama dengan perajin tenun endek, tenun rangrang, hingga songket Lombok. Seluruh bahan kain wastra Nusantara tersebut dikombinasikan dengan bahan polos, material brokat, bahan dobi (salah satu material tradisional), dan bahan yang ringan dan nyaman, termasuk katun. 
Peduli Lingkungan dan Berdayakan Kaum Difabel 
 
Putri dari pasangan Ariyani Utoyo dan Iskiworo Budiarto ini tidak bekerja sendiri dalam mengembangkan usaha batiknya. Ia dibantu dan didukung penuh oleh ibunya. Hingga saat ini Dea telah memiliki 80 orang karyawan, di mana 40 orang lainnya merupakan orang-orang difabel tuna rungu dan tuna wicara yang memiliki semangat dan kerja keras.
 
 “Sejak awal memang aku ada passion untuk membantu orang. Jadi, tiga tahun lalu aku enggak sengaja bertemu dengan Mbak Tumisih, di saat yang sama dia juga minta kerja sama kita. Nah, ya sudah pas masuk kerja itu beliau mengajak dua orang temannya, kemudian ada saudara dan pacarnya, ada yang tuna rungu dan tuna wicara. Sekarang sudah hampir 50 persen karyawan kami adalah orang difabel,” tambah Dea.
 
Bagi Dea, dengan mempekerjakan karyawan difabel, ia ingin memberi kesempatan untuk memberikan kontribusi di balik perbedaan. “Dan, ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil, seperti ketekunan dan semangat untuk belajar,” imbuhnya. 
 
Saat ini, Batik Kultur sendiri menjual ragam busana batik dailywear dominan untuk wanita. Beberapa koleksinya pun sudah melenggang di runway Fimela Fest beberapa waktu lalu. Memiliki sebuah toko di Semarang Jawa Tengah, untuk sementara proses pemasaran lebih banyak dilakukan melalui sosial media, seperti Facebook.
 
Meski baru melalui online, namun sudah banyak customer yang memesan hingga ke luar negeri. “Sekarang masih jual via Facebook, ingin jual dengan metode lain tetapi belum ada barang yang dijual. Kepikiran buka toko di Jakarta, tetapi karena biayanya lebih tinggi dan ingin buka store bukan ikut department store, semoga tahun depan bisa terealisasi,” tutupnya. (okz/sl)