PEKANBARU, Suaralira.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus kembali Membongkar Misteri Kasus yang dikatakan sebagai Skandal Ketok Palu APBD Provinsi Riau 2014 dan Rancangan APBD 2015.
Dalam hal ini, KPK juga diwajibkan untuk Menyeret 62 Anggota DPRD Provinsi Riau periode 2014-2019 pada saat itu, apabila Konstruksi Hukumnya memang menjelaskan, bahwa Kasus yang telah mengorbankan 3 orang Anggota Dewan itu benar-benar terkait Ketok Palu Pengesahan APBD Provinsi Riau tahun 2014 dan RAPBD 2015.
"Kalau Konstruksi Hukumnya memang begitu, maka kami dari Presidium Pusat (PP) Gabungan Aksi Mahasiswa Alumni Riau (GAMARI) meminta-memohon dan mendesak, agar KPK segera menindaklanjuti temuan itu. Seret 62 Anggota Dewan lainnya, karena sudah terbukti jelas menjadi bahagian dari Pengesahan APBD", ungkap Aktivis Larshen Yunus. Sabtu (23/10/2021).
Ketua PP GAMARI sekaligus Peneliti Senior FORMAPPI Riau itu dengan tegas mengatakan, bahwa dalam Pengesahan APBD 2014 maupun RAPBD 2015, pasti pada akhirnya di Paripurnakan. Namanya Rapat Paripurna Pasti sifatnya Kolektif Kolegial. Keputusan diketahui dan disetujui secara bersama-sama.
Sampai saat ini begitu banyak masyarakat yang heran dan kebingungan. Kenapa hanya 3 orang saja Anggota Dewan di DPRD Provinsi Riau yang menjadi Korbannya, 62 orang lagi kemana. Apakah orang-orang yang menerima rata-rata 40 Juta itu sudah meninggal semua? atau seperti apa? hal-hal semacam itu masih menjadi tanda tanya. Masyarakat Riau sangat berharap, agar KPK benar-benar Tegak Lurus dan Berintegritas, sesuai dengan semangat bapak Presiden Joko Widodo.
"Kalau memang benar KPK ngotot membawa kasus tersebut kearah seperti itu, yakni masalah Pengesahan Ketok Palu APBD 2014, maka sudah sangat jelas Semua Anggota Dewan di Periode itu wajib di Jebloskan ke dalam Penjara. KPK wajib berpedoman pada Kasus di DPRD Provinsi Sumut, Sumbar dan Jambi. Semuanya terlibat dalam kasus berjamaah, Ayo KPK, tunjukkan Nyalimu!", ajak Aktivis Larshen Yunus, Alumni Sekolah Vokasi Mediator Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.
Oleh karena itu, dari awal GAMARI menyarankan, bahwa hasil dari kegiatan Observasi dan Kajian Strategis yang dilakukan, Kasus tersebut lebih terkait dengan "Aliran Uang Haram" untuk Para Panitia Pembentukan Provinsi Riau Pesisir, yang dari awal sangat semangat dicanangkan oleh Gubernur Riau saat itu, H Annas Maamun.
"Coba telusuri lagi. KPK masih ada kesempatan untuk mengevaluasi keputusan terdahulu. Selagi masih ada niat untuk bekerja Profesional, maka belum tertutup peluang berubah. Kalau kasus itu terbukti dengan upaya Pelicin bagi para Panitia Pembentukan Provinsi Riau Pesisir, maka hanya HM Johar Firdaus selaku Ketua Panitia, Ahmad Kirjauhari dan Riky Hariansyah, masing-masing sebagai Sekretaris dan Bendahara Panitia yang Mempertanggung Jawabkan masalah tersebut", tutur Aktivis Jobolan Sospol Unri itu.
Terakhir, Yunus sapaan akrab Ketua GAMARI itu tambahkan, bahwa mudah untuk KPK menelusuri Aliran Uang Haram yang diberikan Suwarno bagian keuangan Pemprov Riau, dalam hal itu bertindak sebagai utusan Gubernur Riau, kepada HM Johar Firdaus, Ahmad Kirjauhari dan Riky Hariansyah.
Info A1 menjelaskan, bahwa Uang Haram tersebut diterima Ahmad Kirjauhari dan Riky Hariansyah, setelah itu diketahui HM Johar Firdaus. Berjalannya waktu ketiga orang itu intens bertemu, mulai di Hotel Raudah, Koffee Too dll. Uang haram yang diperkirakan sebanyak 800 Juta hingga 1,2 Milyar Rupiah itu kabarnya dibagikan keseluruh Anggota Dewan, dengan rincian 40 Juta sampai 150 Juta perorang.
"Tolong Kami wahai KPK. Apakah kalian benar-benar Profesional? Tolong Jalankan Putusan dari Pengadilan itu. Masih banyak nama-nama Anggota Dewan pada saat itu yang diduga kuat Terlibat Menerima Aliran Uang Haram. Ada nama H Zukri Misran, H Bagus Santoso SAg MP yang saat ini tanpa merasa bersalah mereka melenggang bebas menjadi Kepala Daerah. Tolong Kami KPK! Hadirkan Keadilan atas Kasus ini. Tegakkan Supremasi Hukum. Semua yang dilakukan GAMARI semata-mata hanya untuk Memperbaiki Negeri. Sekali lagi Tolong Kami KPK! ingat Hukum Karma. Bekerjalah dengan Profesional, Proporsional, Amanah dan Bertanggung Jawab", akhir Aktivis Larshen Yunus, menutup pernyataan persnya. ***(sl)
_Aktivis Larshen Yunus:_ "Kalau Konstruksi Hukum Kasus itu Terkait Ketok Palu APBD Riau 2014 dan Rancangan APBD 2015, Maka Kami Harap KPK Berpedoman Pada Kasus yang Terjadi di DPRD Provinsi Sumut, Sumbar dan Jambi. Anggota Dewan Periode 2014-2019 Pada Saat itu Mesti Dimasukkan ke Dalam Penjara. Bukan Sekedar Tiga Orang Saja, Anggota DPRD Provinsi Riau Ada 65 Orang, Kok Hanya 3 yang Masuk Penjara, 62 Orang Lagi Statusnya Apa ? Wong Dalam Pengesahan APBD itu Sifatnya Kolektif Kolegial. Segala Sesuatu Terkait Keputusan, Mesti Diketahui dan Disetujui Bersama-sama. Namanya Saja Rapat Paripurna, Pasti 65 Orang Anggota Dewan itu Turut Serta".