SuaraLira.Com, Meranti -- Hiruk pikuk dan gonjang ganjing pengelolaan APBD Kepulauan Meranti tahun 2023 dan 2024 yang lalu masih menyisakan tanda tanya besar di tengah public. Kekacauan itu bahkan menyeret berimplikasi "chaos"nya APBD Meranti tahun 2025 dan seterusnya. Hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab dari Sekretaris Daerah BS dan Kepala BPKAD IR selaku Bendahara Umum Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Berdasarkan fungsi dan kewenangan mereka sebagai orang yang bertanggung jawab utama dalam pengelolaan keuangan daerah berada di pundak keduanya dan sesuai aturan perundangan yang berlaku. Hingga kini menyisakan banyak pertanyaan dengan berturut-turutnya mendapatkan Opini Disclaimer dari BPK-RI. APBD kabupaten Kepulauan Meranti kacau balau dengan banyaknya tunda bayar dan tidak dibayarnya kegiatan yang sudah terlaksana termasuk ADD dan TPP ASN sebanyak 5 bulan dengan total anggaran tunda bayar sekitar Rp. 119 Milyar rupiah ditahun 2024 kemaren. Faktanya setiap kegiatan yang menjadi tunda bayar tersebut termasuk TPP dan ADD sudah dianggarkan dalam struktur APBD dan pos anggarannya pun sudah jelas tertulis dalam DPA yaitu berasal dari dana DAU reguler dan dana DBH.
Statement Sekretaris Daerah dikutip dari salah satu media online menegaskan bahwa berdasarkan pedoman Permendagri, TPP tahun 2024 wajib dibayarkan. Jika tidak dibayarkan tahun ini, maka tahun depan tidak bisa lagi dianggarkan. Namun berbeda dengan Kepala BPKAD yang sendari dahulu menyatakan bahwa TPP ASN tidak wajib dibayarkan, dan seolah-olah tidak punya konsekuensi apapun jika tak membayarnya. Siapakah yang salah dan siapa yang bermain dengan puluhan bahkan ratusan milyar APBD Meranti tahun 2023 dan 2024 tersebut, sehingga menyisakan hutang. Apakah pejabatnya tidak mampu dan tidak memahami aturan dalam tata Kelola Keuangan dan Pemerintahan. Berdasarkan informasi yang beredar IR digadangkan akan menduduki posisi Sekretaris Daerah menggantikan BS yang akan pensiun.
Kontrol pengelolaan keuangan daerah ada pada kepala daerah, seharusnya kepala daerah memanggil sekretaris daerah dan Kepala BPKAD yang juga sebagai BUD untuk mengelola arus kas dari keuangan daerah sesuai aturan perundangan. Publik berpersepsi bahwa kepala daerah tidak mampu mengawasi bawahannya dan membiarkan hal tersebut terus berlanjut. Kenapa masih saja mempertahankan mereka untuk mengelola roda organisasi termasuk mengelola keuangan daerah sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan termasuk Disclaimer nya audit LHP BPK serta Chaos nya APBD Kepulauan Meranti.
Beranikah kepala daerah memberikan sangsi atau mencopot jabatan mereka, ataukah kepala daerah tersandera karena sesuatu hal dalam memberikan sangsi sesuai PP 94 tahun 2021.? Dalam kerisauan, publik menyoroti dan mempertanyakan hal itu.
Patut diduga anggaran yang sudah ditetapkan tersebut dialih fungsikan untuk kegiatan dan kepentingan lain sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti belum mampu mempertanggungjawaban secara administrasi keuangan yang sebenarnya. Pertanyaannya, jika itu benar kemanakah anggaran tersebut dialihkan dan pihak mana saja yang menikmatinya.
BPKAD berperan kunci dalam memastikan pengelolaan keuangan dan aset daerah dilakukan dengan cara yang berintegritas dan sesuai dengan peraturan, agar mendukung program pembangunan daerah yang berkelanjutan. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah orang yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah. Sepatutnya Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti dalam pengelolaan keuangan daerah nya harus selalu mematuhi aturan yang berlaku diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2O19 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 77 tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah serta Permendagri 64 tahun 2020 dan Permendagri 27 tahun 2021.
Kenapa terjadi disclaimer, hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dan persepsi. Apa sebenarnya yang terjadi.?
Dikutip dari salah satu media online, pernyataan Agung M Noer, pejabat BPK-RI Perwakilan Riau beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa terjadinya 2 kali Disclaimer pada Opini Pemkab Meranti selama kurun waktu tahun 2022 dan 2023 disebabkan karena terdapatnya permasalahan signifikan yang berpengaruh pada kewajaran penyajian nilai belanja dalam laporan keuangan. Nilai belanja di bukti SPJ, tidak menunjukkan nilai belanja sebenarnya. BPK sendiri tidak dapat meyakini berapa nilai belanja yang sebenarnya.
Jelas dari pernyataan ini patut diduga adanya kebocoran puluhan milyar hingga ratusan milyar APBD Kepulauan Meranti di tahun 2023 dan 2024 sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi keuangan, apalagi jika dilakukan uji petik untuk mencari kebenarannya.
"Opini disclaimer ini dipandang sangat negatif, karena mengindikasikan adanya masalah yang serius dalam kepatuhan dan transparansi serta akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah termasuk dalam hal Pertanggungjawabannya. Untuk diketahui Opini Tidak Menyatakan Pendapat adalah opini terburuk dalam tata kelola pemerintahan daerah. Opini ini sangat berbahaya dan sudah sepantasnya dilakukan audit investigasi khusus dan uji petik oleh BPK-RI atau BPKP terhadap pemerintah kabupaten Kepulauan Meranti terhadap anggaran tahun 2023 dan 2024 agar terang benderang semuanya tanpa harus ada dusta ataupun yang disembunyikan dari publik," kata Maruli Purba, SH Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau, Rabu (7/05/2025).
Disampaikannya lagi olehnya, bahwa tidak tertutup kemungkinan entitas atau pihak yang diaudit sengaja tidak memberikan data atau dokumen yang dibutuhkan auditor sehingga lahirlah opini tidak menyatakan pendapat tersebut. Dan juga patut diduga tidak diberikannya dokumen dalam pemeriksaan sesuai yang diminta auditor dikarenakan ketidakmampuan entitas Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti dalam mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan daerah nya secara keseluruhan.
"Sesuai Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), setiap orang yang sengaja tidak menyerahkan dokumen atau menolak memberikan keterangan yang dibutuhkan untuk pemeriksaan keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 10, dapat dipidana dengan penjara maksimal 1 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp500.000.000,00," katanya.
Jika ada temuan penyelewengan atau indikasi korupsi dalam LHP nya, BPK diharuskan menyampaikan kepada aparat penegak hukum, untuk terciptanya dan terwujudnya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel serta dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Hal ini tertuang Dalam Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Pasal 8 Ayat 3 dan 4 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dengan jelas menyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, lanjutnya.
Kredibilitas dan integritas lembaga penegak hukum mulai dipertanyakan oleh publik, penegakan hukum terkesan tumpul tidak sesuai dengan Visi dan Misi serta Asta Cita Presiden Prabowo dalam hal pemberantasan korupsi. Sampai kapan hal ini dibiarkan dan terus berlanjut.?
Adagium Hukum mengatakan :
- Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist - saat ada bukti dari fakta-fakta, apa gunanya kata-kata.
- Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur - hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati.
- Facta sunt potentiora verbis - perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata.
- Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus - sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan.
Senada juga disampaikan oleh salah satu tokoh pemuda Provinsi Riau Hen mengatakan, "Dirinya berharap kedepannya BPK-RI lebih transparan lagi dan akuntabel dalam mengungkap fakta audit sebenarnya termasuk kemana sebenarnya anggaran tersebut sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Publik sedang menyoroti terhadap tugas, fungsi dan kewajiban BPK-RI berdasarkan amanat dari aturan perundangan yang berlaku. Diantaranya tertuang dalam Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Pasal 8 Ayat 3 dan 4 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dengan jelas menyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," katanya.
Dalam rangka pelaksanaan transparansi dan untuk mendorong terlaksananya pengelolaan keuangan pemerintah yang patuh dan taat aturan, BPK RI sudah seharusnya mempublikasikan hasil pemeriksaan dalam website BPK-RI di masing-masing perwakilan daerah propinsi setelah hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada lembaga perwakilan rakyat juga terkait TLHP (Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan) yang sudah ditindaklanjuti.
"Hal ini sejalan dengan Pasal 19 UU No. 15 Tahun 2004, Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2006 dan Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2008. Dasar hukum pemuatan dan publikasi LHP di situs BPK adalah pasal 19 UU Nomor 15 tahun 2004, juga pasal 7 UU tentang BPK dan pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selama ini BPK kurang terbuka dalam hal Tindak Lanjut dari Hasil Pemeriksaan sesuai aturan perundangan yang berlaku. Publik bertanya-tanya apa yang terjadi dengan BPK, terkesan tertutup dan kurang melaksanakan apa yang menjadi amanat dari aturan perundangan tersebut. Apalagi sudah mencapai 360 hari dari batasan yang ditentukan yaitu 60 hari," lanjutnya.
Dalam mengelola Keuangan Daerah wajib untuk ditaati dan dipatuhi aturan yang berlaku, sesuai bunyi dari UU nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dalam Pasal 9 ayat (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Selain itu juga berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, sebagai acuan yang WAJIB dilaksanakan pada laporan keuangan entitas pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Apakah Chaost nya APBD Kepulauan Meranti ada kaitannya dengan dana transfer pusat yang belum dibayarkan seperti yang didengungkan selama ini.?
Merujuk pada portal resmi Kementerian Keuangan untuk tahun 2023 dan 2024 sebagai berikut :
- Untuk tahun 2023 realisasi dana transfer adalah sebesar 103.83 % dengan realisasi sebesar 899.59 Milyar dari pagu 866.38 Milyar. Ada kelebihan sekitar 33 Milyar lebih. Hal ini bisa saja dikarenakan adanya kurang salur untuk tahun anggaran 2022 yang lalu. Jika tidak tentunya akan menjadi hutang daerah yang harus dikembalikan ke pemerintah pusat terkait kelebihan bayar dengan skema dipotongbya anggaran dana transfer untuk tahun berikutnya.
- Untuk tahun 2024 realisasi sebesar 98,49 % dari total Dana Transfer yaitu 849.97 milyar dari total anggaran 862.98 milyar, kekurangan hanya sekitar 13 milyar. Yaitu sumber dari DAU yang sudah ditentukan dan DAK fisik dan non fisik. Hal ini bisa saja karena pertanggungjawaban yang belum selesai. Sedangkan untuk khusus DAU reguler dan DBH sudah direalisasikan oleh pusat 100 persen dan tidak ada menunjukkan kurang bayar.
"Jangan sampai pemerintah kabupaten Kepulauan Meranti melakukan pembohongan publik selama kurun waktu 2023 dan 2024 yang lalu atas statement yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan berpotensi merusak kredibilitas dan integritas lembaga kementerian dan presiden secara khususnya," tegasnya.
Apakah ada indikasi APBD ditilap untuk kepentingan pribadi pemangku jabatan atau sebagai ATM untuk menutup kasus oknum pejabat tersebut.? Publik masih bertanya.
Apakah skema dan pola lama dalam menggerogoti APBD Meranti saat zaman Haji Adil dahulu masih dilakukan dengan masih dipakainya para oknum yang dulunya ikut serta dalam memfasilitasi terjadinya tindak pidana korupsi, yang pada saat ini masih tetap dipercaya dalam mengeksekusi APBD hingga hari ini. Harus diingat, tanpa peran mereka, Mantan Bupati Haji Adil saat itu tidak akan pernah mampu untuk melakukan pencairan APBD apalagi memotong dana GU. Apakah mampu seorang Bupati mencairkan GU tanpa melewati mekanisme yang berlaku.?
"Apakah adanya unsur kesengajaan dengan masih menjabatnya mayoritas pejabat yang dahulunya diduga ikut serta dalam memfasilitasi kasus korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Haji Adil mantan Bupati Kepulauan Meranti kemaren.?" lanjut hen.
Tindak pidana korupsi bukanlah kejahatan tunggal namun korporasi yang harus melibatkan beberapa orang. Siapakah yang masih bermain sebenarnya karena skema dan pola nya masih saja sama dan orangnya pun masih sama dalam mengeksekusi APBD tersebut, sedangkan era Haji Adil sudah berakhir. Faktanya pasca Haji Adil jauh lebih terpuruk sehingga menyebabkan terjadinya Tunda Bayar dan Disclaimer yang tak berkesudahan. Persepsi ini erat kaitannya dengan APBD Meranti yang semakin kacau balau tak berujung.
"Apakah ada hubungannya dengan masih dipakainya pejabat yang bermasalah dalam kasus haji adil dimana dalam fakta persidangan Menurut saksi terungkap untuk mendapatkan jabatan harus membayar dan setor setiap pencairan GU untuk mengamankan posisi jabatan. Meranti tidak kekurangan ASN yang jujur dan bersih, hanya saja banyak pejabat Meranti diambil dari ASN yang diduga sering bermasalah dengan hukum. Sampai kapankah Meranti mampu menjadi daerah yang berkualifikasi Good Government dan Good Government.?" tutupnya.
"PPATK agar segera turun tangan dan bertindak untuk mengaudit rekening para pejabat yang diduga gendut, nantinya akan terlihat kemana saja aliran dana dan dari mana saja berasalnya. Hal ini penting untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN dan Gratifikasi," ujar Ade Permana salah satu penggiat anti korupsi ketika dihubungi awak media, (16/05/2025).
lebih lanjut Ade mengatakan, masyarakat Meranti semakin menjerit, perekonomian lumpuh imbas dari salahnya tata kelola pemerintahan dan keuangan yang terus saja terjadi oleh pemangku kebijakan. Apakah ada indikasi APBD tersebut dicicipi oleh oknum Pejabat.? Diharapkan agar Mabes Polri, Kejagung dan KPK turun ke Kabupaten Kepulauan Meranti untuk melakukan pengawasan kepada masing-masing institusi mereka sendiri sesuai arahan dan instruksi Presiden Prabowo.
Adagium Hukum mengatakan : Salus populi suprema lex - kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi dalam suatu negara.
"Jangan lagi ada bahasa para pejabat berlindung dibalik kata terpaksa atau dipaksa, namun mereka secara sadar atau tidak sadar mengetahui persoalan yang sebenarnya," lanjut Ade Permana.
Equality before the law (Semua orang sama di depan hukum).
Fiat justitia pereat mundus (Sekalipun dunia harus musnah, keadilan harus tetap ditegakkan).
Masih segar diingatan terkait penggunaan APBD tahun 2023 sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan Audit LHP BPK RI Perwakilan Riau Nomor : 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024 tanggal 20 Mei 2024 yang mana diberi opini DISCLAIMER tersebut ditemukan adanya dana yang dibatasi penggunaannya namun digunakan untuk kegiatan yang tidak sesuai aturan perundangan sesuai dengan peruntukannya yang dicairkan oleh BUD atau BPKAD sebesar Rp. 31.110.948.129,55 yang bersumber dari DAU yang sudah ditentukan penggunaannya, DAK Fisik maupun non fisik serta DID (Dana Infrastruktur Daerah). Seharusnya BPKAD dan Sekda jeli jangan sampai terjadi adanya kerugian negara atau merusak perekonomian negara.
Prilaku tersebut diatas tidak sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Daerah dalam pasal 17, juga PP Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam pasal 1, pasal 3, pasal 24, pasal 134 dan pasal 135 serta tidak sinkron berdasarkan Perpres nomor 123 tahun 2016 tentang petunjuk teknis dana alokasi khusus fisik dalam pasal 8 ayat 1.
Disamping itu, adanya sekitar Rp. 42 Milyar yang diyakini terjadinya ketidakwajaran terhadap laporan pertanggung jawabannya oleh BPK-RI. Pemkab Kepulauan Meranti selama tahun 2023 telah menerima DAU yang telah ditentukan, DAK fisik dan non fisik, serta DID lebih kurang sebesar Rp. 419 Milyar. Berdasarkan rekening koran tanggal 31 Desember 2023 bahwa dana yang telah ditentukan penggunaannya berdasarkan aturan berlaku telah dipakai sebesar lebih kurang Rp. 31 Milyar untuk membayar kegiatan lainnya dalam hal ini tidak sesuai peruntukannya.
Sudah seharusnya BPK-RI dan BPKP mengaudit khusus investigasi terkait pengelolaan APBD Kabupaten Kepulauan Meranti untuk tahun anggaran 2023 dan 2024. Dan hasil audit investigasi tersebut diberikan kepada penegak hukum untuk menindaklanjutimya jika adanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sesuai aturan yang berlaku.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf e Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014, fungsi BPKP antara lain melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi. Audit Investigatif merupakan audit yang dilakukan dalam rangka mengungkapkan terjadi tidaknya penyimpangan/fraud maupun tujuan spesifik lainnya. Dengan adanya Audit Investigasi diharapkan akan diketahui apakah suatu tindakan yang dilakukan oleh entitas yang diaudit apakah benar-benar melanggar ketentuan hukum atau tidak.
Terkait pengertian dan dasar hukum kerugian negara/daerah, terdapat dalam Pasal 1 ayat (22) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 ayat (15) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa kerugian negara adalah : Kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan MELAWAN HUKUM baik SENGAJA maupun LALAI.
Perlu diingat, sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pada Pasal 41 ayat (1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Dan Pemberantasan TINDAK PIDANA KORUPSI. Dalam Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Patut diduga adanya Abuse of power yaitu tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi, orang lain atau korporasi. Jika tindakan tersebut dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka dianggap sebagai tindakan korupsi.
Sebagai penyelenggara negara patut dipahami, jika ada dugaan terjadinya tindak pidana itu sudah diketahui oleh seseorang dan tidak melaporkankannya dapat dikenakan Pasal 108, Pasal 164 dan Pasal 165 serta pasal 221 dalam KUHP tentang pembiaran atau tidak melaporkan terjadinya suatu tindak pidana juga dalam Pasal 56 dan 421 KUHP.
Selain itu dapat dikenakan pasal 1 UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, juga dapat dijerat Pasal 3 jo Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Semestinya pejabat tersebut harus memahami dan tunduk pada aturan perundangan dan itulah kewajiban mereka sebagai ASN yang juga penyelenggara negara, diantaranya PP Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri dalam :
- Pasal 4 Huruf (d) yang menyatakan PNS wajib melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara ;
- Pasal 5 Huruf (b) yang menyebutkan PNS dilarang menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dan jabatan ;
- Pasal 5 Huruf (f) tentang PNS dilarang memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak ataupun tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah.
Sebagai ASN tentu memahami tentang Pasal 108 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa "Setiap Pegawai Negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik". Hal ini juga diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang gratifikasi.
Pengelolaan Keuangan Negara atau Daerah harus dilakukan dengan prinsip Akuntabel dan Transparansi, hal ini sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang KEUANGAN NEGARA.
"Pelanggaran atas ketidakpatuhan terhadap aturan hukum dan Perundangan khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Kepulauan Meranti sangat miris sekali karena seringnya terjadi ketidaksesuaian penggunaan anggaran APBD menurut yang sudah ditetapkan aturan perundangan dan tidak patuhnya dalam mentaati peraturan. Hal ini terus saja terjadi diakibatkan tidak adanya efek jera terhadap Penegakan hukum (Supremasi Hukum) atas ketidakpatuhan dan penyelewengan APBD di Kabupaten Kepulauan Meranti tersebut. Apakah penegak hukum memang tidak mampu menyentuh mereka, atau adakah penyebab lainnya sehingga terkesan tutup mata. Karena sudah jelas termaktub dalam UU maupun aturan hukum lainnya tentang SOP dan tata cara dalam memproses para pelaku yang diduga melakukan TIPIKOR. Apakah perintah Kapolri dan Jaksa Agung selama ini hanya dianggap lips saja oleh jajarannya, tanpa ditindaklanjuti oleh bawahan mereka, kita tunggu saja," tutup Ade.
Sementara Saat di konfirmasi Sekretaris Daerah Via Pesan WhatsApp ke nomor 0812-70xx-xxx terkesan bumk4m, padahal pesan sudah ceklis 2 itu pertanda pesan sudah masuk. media juga meminta konfirmasi ke Kepala BPKAD terkait Pernyataan BPK beberapa waktu lalu, Berapa banyak sebenarnya pertanggungjawaban (SPJ) yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi pemerintahan maupun keuangan terhadap belanja yang sebenarnya. Namun kepala BPKAD malah mengalihkan pembicaraan.
"Pemda Meranti masih menunggu lhp hasil audit BPK kmaren. Semuanya SDH d pertanggungjawabkan... Apbd 2024 kan auditnya tahun 2025 ini...blum dapat hasilnya...lhp nya," Jawabnya. (Tim_Invest/Sang/sl)