SuaraLira.Com, Meranti -- Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Provinsi Riau, Maruli Purba, SH, menyuarakan kritik keras terhadap lemahnya penegakan hukum atas kasus gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. Dalam pernyataannya, Maruli menyebut bahwa fakta persidangan kasus korupsi dan gratifikasi yang menjerat mantan Bupati Haji Muhammad Adil telah mengungkap secara terang sejumlah pejabat daerah yang terbukti memberi setoran uang dengan nominal berbeda-beda. Ironisnya, hingga kini, para pejabat tersebut masih dipertahankan dalam jabatan strategis oleh Bupati H. Asmar.
"Hukum harus seperti maut, tak pandang bulu. Hakim wajib mengadili berdasarkan fakta dan pembuktian (‘judex debet judicare secundum allegata et probata’). Tapi yang terjadi di Meranti justru sebaliknya. Mereka yang nyata-nyata memberi gratifikasi malah dilindungi,” ujar Maruli, Sabtu (31/05/2025).
Publik mempertanyakan motif di balik sikap Bupati Asmar yang tetap mempertahankan para pejabat tersebut. Apakah karena skema gratifikasi yang dulu berlangsung di bawah kepemimpinan Adil masih tetap dijalankan, hanya dengan wajah berbeda?
Berdasarkan PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, tindakan pemberian gratifikasi seharusnya dijatuhi sanksi tegas. Bahkan, Pasal 36 ayat (2) mewajibkan aparat pengawas internal merekomendasikan pelaporan kepada aparat penegak hukum bila terbukti ada penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Sayangnya, alih-alih ditindak, mereka justru tetap nyaman menjabat, meskipun jelas telah mencoreng prinsip integritas birokrasi. Kondisi ini turut mencerminkan lemahnya komitmen kepala daerah dalam menegakkan pemerintahan yang bersih.
Ketidaktegasan ini terbukti dari opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dalam tiga tahun terakhir berturut-turut memberikan penilaian negatif terhadap laporan keuangan Pemkab Meranti, mulai dari dua kali Disclaimer hingga opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). BPK bahkan mencatat berbagai penyimpangan serius, seperti pembatasan akses bukti keuangan, SPJ fiktif, serta volume dan mutu pekerjaan yang tak sesuai kontrak. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Berdasarkan LHP BPK Tahun 2024 dan dari informasi terpercaya, salah satu temuan mencolok yaitu pengembalian kerugian negara diantaranya, adalah pengembalian kerugian negara oleh Dinas PUPR dan Bagian Umum Setda masing-masing sebesar Rp. 3 miliar.
Terkait dasar hukum kerugian negara/daerah, terdapat dalam Pasal 1 ayat (22) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 ayat (15) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa kerugian negara adalah :
"Kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan MELAWAN HUKUM baik SENGAJA maupun LALAI"
Dalam 3 tahun berturut-turut ini, BPK sudah membuktikan bahwa pejabat di pemerintahan Kepulauan Meranti ini banyak yang tidak mematuhi dan tidak taat pada aturan khususnya dalam mengelola keuangan daerah. Tidak adanya efek jera dan terkesan pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut dilakukan dengan secara sengaja dan berkelanjutan.
Mantan Jaksa KPK Zet Tadung Allo pernah menyatakan bahwa 80% kasus korupsi di Indonesia terjadi dalam pengelolaan APBN dan APBD, terutama dalam pengadaan barang dan jasa. “Korupsi di Indonesia seperti gunung es, yang terlihat hanya sebagian kecil,” ujar Zet
Perbandingan mencolok terlihat dari langkah cepat Pemerintah Kota Pekanbaru yang langsung mencopot pejabat yang terlibat dalam kasus Risnandar, mantan Pj Wali Kota. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya upaya berkelanjutan korupsi secara berjama'ah. Di Kabupaten Kepulauan Meranti sendiri hingga kini masih darurat korupsi dan banyak pelanggaran atas kepatuhan terhadap aturan perundangan dalam tata kelola keuangan dan pemerintahannya.
Kepulauan Meranti secara geografisnya masih termasuk wilayah NKRI, namun aneh dan ironisnya hukum terkesan tidak berlaku dan tak tersentuh untuk mereka yang beruang, sedangkan NKRI katanya adalah negara hukum dan setiap warga negara tanpa terkecuali harus taat dan tunduk pada hukum", tambah Maruli Purba selaku Ketua Gerakan Mahasiswa Bersatu Propinsi Riau.
Lebih lanjut dirinya menyampaikan, Jangan selalu beralasan bahwa oknum pejabat tersebut hanya melanggar administratif ataupun mencari pembenaran lainnya untuk upaya melepaskan diri dari dugaan adanya terjadi korupsi dan gratifikasi. Ini bukan kelalaian tapi unsur kesengajaan yang tersistematis dan terstruktur yang tidak akan pernah selesai hanya dengan mempidanakan Mantan Bupati Meranti tersebut tanpa membersihkan kotoran dalam jaringannya. Diduga hal tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
Maruli menegaskan, kejahatan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi sebuah tindakan yang disengaja, terstruktur, dan sistematis. "Fakta yang tidak terbantahkan adalah tanpa adanya campur tangan dari pejabat yang bermental korup tersebut, tidak akan pernah ada terjadi yang namanya peristiwa Korupsi maupun Gratifikasi yang menimpa Haji Adil tersebut. Masyarakat bukan bodoh dan tidak bisa dibodohi, jika mereka tidak memfasilitasi sesungguhnya Korupsi dan Gratifikasi tersebut tidak akan pernah terjadi," tambah Maruli.
"Sesuai pasal 55 dan 56 KUHP, maka dapat dipahami bahwa orang yang membantu tindak kejahatan juga akan memperoleh hukuman yang adil dan setimpal. Sebagai ASN tidak bisa berdalih dan beralasan terpaksa karena jelas sudah menyalahi dan bertentangan dengan aturan yang mengikat terhadap ASN itu sendiri dan bertentangan dengan aturan hukum lainnya," tutupnya.
Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Hasanuddin, Prof Guntur Hamzah, juga menekankan bahwa pelanggaran administrasi yang mengandung niat jahat masuk ke dalam ranah pidana. Senada, Prof Zudan Arif Fakhrulloh menyebut masyarakat berhak melaporkan pejabat yang menyalahgunakan wewenang kepada aparat penegak hukum dan atau berkoordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah.
Harapan masyarakat kepada pemerintahan Presiden Prabowo, kapankah saatnya masyarakat dapat melihat Aparat Penegak Hukum mampu menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan sebenar-benarnya, karena mungkin mereka masih tertidur lena tanpa tahu kapan bangunnya. Masyarakat Meranti rindu hukum yang berkeadilan dan berkepatutan yang punya kepastian hukum. Tidak salah adanya Adagium Hukum yang mengatakan "Domiunt aliquando leges, nunquam moriuntur", yang artinya : Hukum terkadang tidur, tapi hukum tidak pernah mati.
Apakah hukum baru ditegakkan dan mendapatkan kepastian jika masyarakat sudah turun ke jalan.? Apakah hukum itu baru ditegakkan jika sudah terjadi kerusuhan.? Begitukah caranya baru hukum itu bisa ditegakkan.? Paradigma seperti apa ini, masih negara hukumkah negara ini. Bagaiman mental penegakan hukum di negara ini. Jika memang harus seperti itu baru hukum ditegakkan, kami dan masyarakat siap turun ke jalan bersama untuk membasmi perampok uang negara. Karena kami sebagai masyarakat wajib ikut serta dalam penegakan hukum terutama korupsi yang semakin merajalela. Jika penegak hukum tak mampu bicara, masyarakat akan turun bersama", Ujar Ade, Aktifis yang pernah turun ke jalan dalam aksi tahun 98 tersebut.
Menurut Ade lagi, sebaiknya Bupati Asmar segera menonaktifkan para pejabat yang bermasalah tersebut jika Meranti mau Unggul, Agamis dan Sejahtera. Karena tidak akan pernah tercapai yang namanya Agamis apalagi Unggul dan dipastikan sangat jauh dari kata sejahtera jika Pemerintahan di urus dan diserahkan pada mereka yang bermental koruptor dan hal itu dibuktikan terus terjadi berulang-ulang tanpa ada tindakan dari seorang Bupati dan Penegak hukum. Ada apa sebenarnya, publik bertanya-tanya.? Apakah ada unsur kesengajaan dengan mempertahankan mereka yang sudah terbukti ikut serta memberi gratifikasi tersebut. Mungkinkah skema meminta setoran UP/GU (Gratifikasi) yang lama masih tetap dijalankan setelah era Haji Adil tapi dengan merubah gaya saja.?" Tanya Ade lagi.
Pasal 110 KUHP berbunyi : “Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 KUHP dipidana sama dengan perbuatan itu dilakukan”. Dan Pasal 102 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”.
Bupati Asmar Dikonfirmasi: “Belum Bisa Mutasi, Itu Usulan Lama, Bosku”
Menanggapi hal ini, media SuaraLira.Com mengkonfirmasi langsung kepada Bupati Kepulauan Meranti, H. Asmar via pesan WhatsApp. Dalam percakapan yang berlangsung santai namun krusial, Bupati memberikan jawaban yang cenderung normatif saat ditanya mengapa pejabat yang diduga terlibat gratifikasi masih dipertahankan.
“Sy blum boleh mengeluarkan mutasi, msh 3 bulan lg yg dilantik usulan lama, bosku,” jawab Bupati Asmar singkat.
Ketika didalami kembali soal temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai masing-masing Rp3 miliar di Dinas PUPR dan Bagian Umum Setda, Bupati menjawab, “Kan udah diperiksa BPK.”
Namun, tak berhenti sampai di situ. Media juga mempertanyakan apakah praktik 'setoran' dari bawahan kepada atasan, sebagaimana yang terjadi di masa Haji Adil, masih berlangsung hingga kini. Bupati menjawab dengan nada peringatan:
“Hati-hati ngomongnya ya. Kamu media dari mana?”
Saat dijelaskan bahwa ini bagian dari klarifikasi atas isu yang beredar dan untuk menghindari bola liar di masyarakat, Bupati Asmar kemudian menanggapi lagi:
“Tanya saja pada OPD bersangkutan ya. Kamu Suito ya? Mantap, bosku. Luarrrr biasssaaaaa.”
Beberapa alasan mengapa desakan penegakan hukum harus dilakukan
- Menjaga integritas pemerintahan : Tindakan pelanggaran hukum oleh pejabat dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan lembaga negara.
- Menegakkan hukum : Semua pihak, termasuk pejabat negara, harus tunduk pada hukum dan tidak boleh di atas hukum.
- Menghindari kompromi : Desakan untuk menangkap pejabat yang melanggar hukum dapat mencegah adanya kompromi atau upaya untuk melindungi pejabat yang bersalah.
Terkait pengertian dan dasar hukum kerugian negara/daerah, terdapat dalam Pasal 1 ayat (22) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa kerugian negara adalah : Kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai
Beberapa diantara Pejabat dan Kepala OPD di lingkungan Pemkab Kepulauan Meranti yang terbukti memberikan uang setoran kepada terdakwa Muhammad Adil tahun 2022 sebagaimana diungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut KPK :
1. Hambali dan Khardafi (Setwan DPRD) – Rp4,5 miliar
2. Fajar Trihasmoko & Mardiansyah (Dinas PUPR) – Rp1,8 miliar
3. Syafrizal (Kesra) – Rp661 juta
4. Tarmizi (Bagian Umum) – Rp1,5 miliar
5. BPKAD – Rp774 juta
6. BKPSDM – Rp172 juta
7. Bappeda Litbang – Rp260 juta
8. Diskominfo – Rp120 juta
9. Dinas Pertanian – Rp171 juta dan seterusnya termasuk puluhan pejabat lainnya.
Dikutip dari salah satu media online, Fajar Triasmoko Kadis PUPR Kepulauan Meranti sesuai fakta persidangan pernah mengungkapkan dihadapan majlis hakim bahwa ia pernah memberikan sejumlah uang kepada M. Fahmi Aressa mantan auditor Badan Pemeriksaan (BPK) Riau, yang langsung bertemu dengan Fahmi di basement Mall Pekanbaru dan menyerahkan uang tunai sebesar Rp. 150 juta pada akhir Februari 2023. Seminggu sebelumnya Fajar melewati Sugeng Widodo, Kabid Sumber Daya Air, juga telah menyerahkan uang tunai sejumlah Rp. 150 juta kepada Fahmi Aressa di Hotel Red 9 Selatpanjang pada pertengahan Februari 2023.
Beberapa aturan yang dilanggar ASN atas keterlibatan dalam kasus gratifikasi mantan Bupati Haji Adil :
(1). UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terkait KEJAHATAN JABATAN yaitu :
~ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
~ Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
(2). Pasal 55 KUHP (turut melakukan) sebagai aktor utama, dan Pasal 56 (membantu melakukan) disini adalah orang yang mengetahui dan di mintai bantuan untuk memberikan kesempatan suatu tindak kejahatan itu tanpa berinisiatif untuk mencegah..
(3). *Pasal 108, Pasal 221, Pasal 164 dan Pasal 165 serta Pasal 421 KUHP.
(4). Pasal 1, UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
(5). PP Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri dalam :
~ Pasal 3 huruf (a) yaitu PNS wajib Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Pemerintah.
~ Pasal 3 huruf (d) yaitu PNS wajib mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
~ Pasal 4 Huruf (c) yaitu PNS wajib mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan.
~ Pasal 4 Huruf (d) yaitu PNS wajib melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara.
~ Pasal 5 Huruf (a) yaitu PNS dilarang menyalahgunakan wewenang.
~ Pasal 5 huruf (b) yaitu PNS dilarang menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan.
~ Pasal 5 huruf (g) yaitu PNS dilarang melakukan pungutan diluar ketentuan.
~ Pasal 5 huruf (h) yaitu PNS dilarang melakukan kegiatan yang merugikan negara.
(6). PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
(7). PP Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Dan Pemberantasan TINDAK PIDANA KORUPSI.
Adagium hukum mengatakan : Lex prospicit, non respicit, (Hukum melihat ke depan, bukan ke belakang). Dengan kata lain hukum harus melihat dampak ke depannya disebabkan besarnya potensi untuk terulangnya pelanggaran hukum yang serupa terjadi lagi di kemudian hari.
Lex specialis derogat legi generali (Hukum yang bersifat khusus harus didahulukan dari hukum yang bersifat umum.
Diharapkan kepada Penegak Hukum untuk memproses permasalahan ini sampai ke akarnya. Semoga dizaman Bapak Presiden Prabowo mampu melenyapkan kasus korupsi yang termaktub dalam ASTA CITA Presiden dengan memerintahkan institusi hukum terutama KPK menindaklanjuti secara tuntas permasalahan diatas. Jika tidak dilanjuti besar kemungkinan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan citra Presiden Prabowo akan tercoreng dan tergadaikan serta ASTA CITA itu tidak akan terwujud hanya menjadi hiasan pajangan semata.
Faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya legitimasi hukum:
- Penerapan hukum yang diskriminatif : Jika hukum diterapkan secara tidak adil, tidak merata, atau memihak, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem hukum karena mereka merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Pejabat dan yang beruang tidak tersentuh. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
- Korupsi di lembaga penegakan hukum : Adanya korupsi dan suap di lembaga penegakan hukum, seperti polisi, jaksa atau pengadilan, adanya jual beli kasus yang dapat menciptakan kesan bahwa hukum tidak dapat diandalkan dan bahwa keadilan tidak bisa dicapai secara adil.
- Hilangnya kepercayaan pada otoritas hukum : Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemimpin dan lembaga penegakan hukum, mereka cenderung tidak menghargai hukum dan tidak mematuhi aturan. Karena pemimpin dan penegak hukum yang mencontoh mereka untuk tidak taat hukum.
Dampak hilangnya legitimasi hukum:
- Ketidakstabilan sosial : Ketika masyarakat tidak percaya pada hukum, mereka cenderung tidak mengikuti aturan dan dapat menyebabkan kekacauan sosial.
- Berkurangnya investasi : Bisnis dan investor akan merasa ragu untuk berinvestasi di wilayah yang hukumnya tidak dapat diandalkan, karena ketidakpastian hukum dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
- Peningkatan tindak pidana : Masyarakat yang tidak percaya pada hukum cenderung lebih mudah melakukan tindak pidana, karena mereka merasa tidak akan ditangkap atau dihukum. Termasuk pejabat, mereka akan membeli hukum, karena hukum dianggap bisa dibayar.
Solusi untuk meningkatkan legitimasi hukum :
- Penegakan hukum yang adil dan transparan : Penerapan hukum yang sama rata dan tidak memihak dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sistem hukum.
- Reformasi lembaga penegakan hukum : Memberantas korupsi dan meningkatkan profesionalisme di lembaga penegakan hukum dapat memulihkan kepercayaan masyarakat.
- Partisipasi masyarakat dalam proses hukum : Melibatkan masyarakatnya dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum dapat meningkatkan rasa memiliki dan kepercayaan pada sistem hukum.(Sang/sl)