PEKANBARU (suaralira.com) - Komisi III DPR RI berkunjung ke Provinsi Riau dengan berbagai agenda. Salah satunya meminta klarifikasi Polda Riau terkait terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga telah melakukan pembakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 lalu.
Wakil Ketua Komisis III, Benny K Harman mengatakan, pihaknya meminta penjelasan terkait lahirnya SP3 itu.
“Kami ingin meminta penjelasan secara rinci, bukan secara keseluruhan.
Agar jelas apa alasan mereka menerbitkan SP3 itu,” katanya Benny seperti dikutip Riau Pos, di sela-sela kunjungan ke Lapas Kelas II Pekanbaru, Senin (1/8).
Komisi III sebagai mitra Polri, kata Benny, sudah meminta kepada Presiden agar segera memanggil Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian. Termasuk memanggil Kapolda Riau Brigjen Supriyanto terkait terbitnya SP3 yang melukai hati masyarakat Riau, di mana banyak masyarakat yang menderita karena bencana asap yang ditimbulkan kebakaran tersebut.
“Ini bisa diperiksa Kapoldanya. Masak jelas-jelas kejahatan lingkungan kok malah di-SP3-kan,” jawab Benny Kesal.
Benny bahkan menyebut lahirnya SP3 memunculkan kesan bahwa Polda Riau disandera dan didikte oleh kepentingan pengusaha.
Padahal idealnya penegak hukum tidak boleh tunduk terhadap kepentingan konglomerat.
“Ada kesan memang, Kapolda ini disandera ataupun didikte oleh kepentingan pengusaha-pengusaha itu. Kita akan lihat besok (hari ini,) apa jawaban mereka,” tegas Benny.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu juga mencurigai ada kongkalikong dalam lahirnya SP3. Masinton menilai ada proses yang tidak lazim dalam penghentian penyidikan tersebut, mengingat alasannya seputar konflik dengan masyarakat, izin yang sudah habis dan yang membakar bukan perusahaan.
“Kalau alasan penghentian itu karena ada konflik dengan masyarakat, berarti semua perkara yang ada di Polda Riau dihentikan saja semua ya kan? Ini memang benar-benar tidak lazim,” tegas Masinton.
Masinton meminta ini menjadi perhatian pemerintah. Terutama Kapolri sebagai atasan langsung agar proses SP3 harus diteliti ulang. Kapolri, kata Masinton, harus bersikap tegas dengan mengusut siapa pihak yang terlibat di dalamnya. Jika ditemukan ada kongkalikong maka tidak cukup sanksi dicopot dari jabatan, tetapi diseret ke ranah pidana.
Terbitnya SP3 terhadap 15 perusahaan itu, kata Masinton, memang patut diteliti ulang mengingat karhutla yang terjadi pada 2015 lalu itu berdampak luas. Presiden Jokowi, kata Masinton, bahkan datang ke Riau beberapa kali untuk meninjau bencana kemanusian yang telah membawa dampak buruk di segala sektor.
“Ini memang harus diteliti ulang. Dampaknya luas, jelas ada yang terbakar kok akhirnya SP3. Presiden berkali-kali ke Riau waktu itu untuk memastikan agar kebakaran ini diusut. Hukum itu jangan tumpul ke pengusaha tajam ke masyarakat. Jangan-jangan ada udang di balik bakso,” sindir Masinton.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Ruhut Sitompul justru mencurigai proses SP3 tersebut dijadikan oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan. “Jangan-Jangan ada kepentingan. Nanti muncul pemikiran ini dijadikan tersangka karena mau gitu-gitu. Jadi ATM,” ujar Ruhut.
Proses penegakan hukum itu, kata Ruhut, harus teliti terlebih menetapkan tersangka. Sejak awal Polda Riau terkesan buru-buru dalam menetapkan tersangka karhutla. “Kalau memang tidak ada alat bukti sejak awal kenapa harus dijadikan tersangka. Jangan menari di atas genderang orang lain dong. Nggak boleh,” tegasnya.
Apalagi jika dalam penetapan tersangka itu didasari atas permintaan pihak tertentu. “Ini kita jadikan tersangka karena ada permintaan, oo tidak boleh. Kamu pikir karaoke ada lagu permintaan,” kelakar Ruhut.
Di Lapas Kelas II Pekanbaru, anggota Komisi III DPR RI yang didampingi Kanwil Hukum dan Ham Riau Ferdinan Sinaga dan Kepala Lapas II Pekanbaru, Dadi Mulyadi, sempat bertemu dengan mantan Gubernur Riau HM Rusli Zainal. Mereka sempat terlihat becanda sesaat sebelum meninggalkan lapas.