BERLIN (suaralira.com) - Kepala Badan Intelijen Jerman (BND) Bruno Kahl mengatakan, Eropa tengah berada dalam bahaya serangan siber. Sejumlah negera yang dijadwalkan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) pada 2017 diyakini sebagai target serangan tersebut. Adapun serangan bertujuan untuk menyebabkan ketidakstabilan politik dan memberikan tekanan kepada diskursus publik serta demokrasi.
Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) juga mengkhawatirkan hal serupa jelang pemilihan presiden (Pilpres) pada 8 November 2016. Rusia dituduh sebagai pihak yang ingin mengacau. Kahl menyetujui tuduhan tersebut meski sulit untuk membuktikan suatu negara, dalam hal ini Rusia, bertanggung jawab atas serangan siber.
“Jejak digital menandakan mereka yang bertanggung jawab ingin mendemonstrasikan kemampuannya tidak hanya kepada Pilpres AS 2016. Para pelaku memiliki kepentingan untuk mendelegitimasi proses demokratik. Saya memiliki kesan bahwa hasil Pilpres AS 2016 tidak menimbulkan kedukaan di pihak Rusia sejauh ini,” tutur Kahl, disitat Sky News, Rabu (30/11/2016).
Prancis, Belanda, dan Jerman adalah dua negara Eropa yang dijadwalkan menyelenggarakan pemilu pada 2017. Prancis akan mengadakan rangkaian pemilu pada Februari hingga Mei, Belanda pada Maret, dan Jerman pada September 2017.
Kemungkinan serangan tersebut mulai muncul setelah Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan tidak punya petunjuk siapa pelaku serangan siber ke operator telekomunikasi Jerman, Deutsche Telekom (DT). Sedikitnya 900 ribu pengguna layanan internet DT mengalami gangguan sepanjang akhir pekan kemarin.
Rusia berkali-kali membantah tuduhan mengganggu jalannya Pilpres AS 2016. Demikian dengan situs pembocor rahasia WikiLeaks yang merilis ribuan surat elektronik (surel) rahasia milik Ketua Tim Pemenangan Hillary Clinton, John Podesta. Bocoran surel tersebut sedikit banyak mempengaruhi keputusan para pemilih di Negeri Paman Sam yang tidak percaya kepada Hillary dan timnya.
(okz/sl)