JAKARTA (suaralira.com) - Anggota Komisi IX DPR RI FPPP meminta pemerintah menunda memberlakukan Perpres No. 10 tahun 2016 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan, yang rencananya akan diberlakukan mulai 1 April 2016 mendatang. Selain memberatkan masyarakat peserta BPJS khususnya kelas III, juga pelayanan kesehatan rumah sakit (RS) peserta BPJS masih banyak yang mengecewakan.
“Jangan hanya karena menyatakan devisit Rp 5,8 triliun, lalu Presiden RI mengeluarkan Perpres BPJS tersebut, khususnya terkait pasal 119 soal kenaikan iuran sampai Rp 30 ribu, dan Rp 50 ribu. Mestinya yang dinaikkan itu hanya kelas I, bukan kelas III,” tegas Muhammad Iqbal dalam dialektika demokrasi soal kenaikan iuran BPJS bersama Direkrsi BPJS Bayu Wahyudi dan Koordinator BPJS Watch Indra Munazwar di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (24/03).
Selain masih banyak peserta BPJS mandiri yang tidak terdata dengan baik oleh Kemenkes dan Kemensos RI, Perpres BPJS tersebut juga harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. “Belum lagi masalah pelayanan khususnya di daerah, yang masih mengecewakan masyarakat, maka iuran itu pastimakin memberatkan,” ujarnya.
Dengan demikian, kunci sukses tidaknya pelayanan kesehatan melalui BPJS tersebut kata Iqbal, kuncinya ada di pemerintah. “Bagaimana politik kesehatan pemerintah? Kalau mau serius, maka pelayanan BPJS kesehatan itu pasti akan beres,” pungkasnya.
Sementara kata Bayu, keluarnya Perpres tersebut pertama, justru untuk penyesuaian tarif guna kesinambungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang pelaksananaan pengelolaannya oleh BPJS. Kedua, dinamika perkembangan anggaran BPJS yang memprihatinkan, dan jika tidak dinaikkan BPJS bisa bangkrut, kolaps, sehingga tidak bisa melayani masyarakat secara maksimal.
Untuk itu, perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR) tahun 2011 dan 2012 yang ikut membayar juga sebagai dana untuk membantu peserta BPJS yang tidak mampu (miskin). Sementara Pemda hanya mengcover Rp 5 juta. Karena itu, kalau dalam 2 tahun ini masih ada kekurangan di sana-sini, masih wajar. Bahwa Perpres itu untuk penyesuaian tarif setelah melakukan kajian akademik bersama JKSN, Menkeu RI, Menkes RI dan setelah menghitung bantuan pemerintah Rp 19.225,- ternyata mengalami devisit anggaran.
Apalagi dari tahun ke tahun jumlah peserta BPJS terus meningkat. Dari, sebelumnya jumlah peserta 94 juta orang, kini sudah lebih dari 100 juta orang, sehingga pemerintah mengalami devisit Rp 9,9 triliun. “Kalau devisit ini terus terjadi dan tidak ada uangnya, maka BPJS akan bangkrut. Karena itu naik menjadi Rp 36 ribu. Jadi, memang harus ada perubahan dan perbaikan secara drastis khususnya pelayanan pasien,” ujarnya.
Gaji dokter pun masih ada yang Rp 200 ribu dan ada pula yang Rp 120 juta/bulan. Karena itu ada remunerasi agar tidak terjadi ketidakadilan. “Jadi, pemerintah, dan BPJS sendiri tak ada niat untuk menyulitkan pelayanan masyarakat, sehingga semua harus diperbaiki dan ditingkatkan. Di mana Indonesia menjadi penanggung jawab terbesar untuk asuransi kesehatan di dunia,” tambahnya.
Khusus untuk dokter selama 2 tahun terakhir ini menurut Survei kata Bayu Wahyudi, dalam melayani pasien tersebut baru pada tahap pemeriksaan (29 %), dan selebihnya hanya ditanya dan dirujuk ke rumah sakit terkait, tanpa pemeriksaan. “Jadi, kita akan terus berusaha meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,” ungkapnya.
Indra Munazwar menegaskan penolakannya agar Perpres No.10 tahun 2016 tersebut dibatalkan, karena terdapat ketidakadilan pada masyarakat yang tidak mampu. Apalagi sampai saat ini dari 130 BUMN tidak satu pun yang menjadi anggota BPJS Kesehatan. Padahal, kalau itu dilaksanakan, maka tak akan ada devisit anggaran BPJS.
“Data penerima bantuan iuran (PBI) saja tidak akurat, karena tidak melibatkan pemerintah daerah, termasuk lurah setempat. Seharusnya agar jumlah rakyat miskin itu benar, akurat, melibatkan Pemda termasuk lurah. Data rakyat miskin itu memang bagi pemerintah politis, karena makin besar jumlah rakyat yang miskin, maka pemerintah telah gagal,” jelas Indra. (***)