BANDUNG, SUARALIRA.com - Anggota komisi X DPR Popong Otje Djundjunan alias Ceu Popong menyayangkan kebijakan pemerintah terkait literasi. Minimnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk literasi, bahkan kalah dengan negara miskin seperti India. Padahal kondisi minat baca masyarakat Indonesia berada pada urutan 60 dari 61 negara yang diteliti oleh Central Connecticut State University in New Britain, AS. Minat baca masyarakat Indonesia rendah. Pengertian masyarakt termasuk meliputi generasi muda dan anggota DPR.
“Persoalan baca membaca urusan perpustakaan itu minim, buktinya apa, budget atau anggarannya terlalu sedikit, lain dari yang lain. India itu negara miskin, tapi kalau bicara buku, seperti bumi dan langit," ujar Ceu Popong saat memberikan sambutan pada acara “Gerakan Membaca Buku (Gemaku)” dan sekaligus pengukuhan ketua tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jawa Barat, Netty Heryawan sebagai Bunda Literasi Jawa Barat di gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPUSIPDA) Jabar, Jalan Kawaluyaan, Bandung, Jawa Barat, Jum’at (02/09/2016) kemarin sore.
Minimnya kemauan politik pemerintah itu kata Ceu Popong tercermin dari dalam APBN dan APBD. Dalam setiap kunjungan ke daerah, Ceu Popong mengaku terkejut melihat kondisi perpustakaan sekolah yang menyedihkan. Buruknya konstruksi perpustakaan, minim penerangan, lokasi yang selalu berdekatan dengan toilet mengakibatkan tak adanya siswa yang berminat membaca di perpustakaan. Minimnya pengunjung perpustakaan juga kerap ditemui di perpustakaan umum milik Pemda, "Masyarakat belum mengerti pentingnya perpustakaan, Jadi tak bisa salahkan masyarakat, " katanya.
Karenanya, sebagai guru atau orangtua, Ceu Popong mengatakan harus memberi contoh terlebih dahulu terhadap anak-anaknya. "Kalau misalnya anak-anak kita ingin gemar membaca, pertama gurunya dulu harus gemar membaca, kalau dalam keluarga ayah ibunya dulu harus gemar membaca. Karena kata seorang ahli pilsafat dunia juga mengatakan, satu contoh perbuatan lebih baik dari kata-kata" ujarnya.
Ceu Popong juga menyesalkan baru di berlakukannya RUU tentang perbukuan, yang notabenenya adalah inisiatif dari komisi X DPR. RUU Perbukuan yang sebentar lagi disahkan pemerintah dan negara berkeinginan agar kebijakan dan sistem perbukuan secara komprehensif sehingga seluruh lapisan masyarakat memperoleh dan memanfaatkan buku dengan mudah serta tanpa diskriminasi.
“Setelah 71 tahun Indonesia merdeka baru sekarang ada UU perbukuan, harusnya dari dulu atuh. Itu pun inisiatif komisi X DPR," ujarnya.
“Kami mengajak semua pihak agar menyadari dan tidak menutup-nutupi fakta tersebut. Kondisi tersebut terjadi karena 'roh' yang keliru alias sistem pendidikan yang salah. Anak PAUD usia 3-5 tahun-dipaksa calistung (baca, tulis, hitung). Akibatnya mereka kemudian takut melihat dan membaca buku karena waktu kecil dikondisikan tidak enak,” tambahnya.
Ditambahkan Ceu Popong, jika kondisi pendidikan ini tidak dibenahi, mau buka perpustakaan apa pun, termasuk perpustakaan MPR, DPR, DPD, akan tidak diminati oleh pengunjung. “Pasti pengunjungnya bisa dihitung jari seperti yang terjadi saat ini dan jika terus kemaauan politiknya masih kurang, maka tinggal tunggu saja kehancurannya," ujar Ceu Popong.
(Bambang/sl)