JAKARTA, SUARALIRA.com - Ketua Fraksi PKB DPR Ida Fauziah berharap revisi undang-undang (UU) Pemilu mesikipun tidak permanen, bisa digunakan untuk jangka waktu lama atau road map untuk 20 tahun ke depan. Panjangnya masa berlaku produk hukum itu diyakini akan sangat menghemat energi mengingat untuk mengesahkan suatu UU, meski hanya melalui revisi, membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.
“Alangkah indahnya jika itu bisa berlaku lama. Karena kita selalu diributkan dengan aturan main yang ketika kita akan main, itu diributkan,” kata Ida saat membuka diskusi ‘RUU Pemilu’ di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (15/9/2016) bersama Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy, Ketua KPU Juri Ardiantoro, Sulistiyo (Perludem), dan Mustaqim (Sekber Kodifikasi UU Pemilu).
Ida menambahkan revisi itu revisi UU Pemilu untuk Pemilu serentak 2019 ini harus menjadi perhatian serius, agar kodifikasi UU politik yang dihasilkan menjawab tantangan politik kini dan mendatang, termasuk menjawab berbagai persoalan yang timbul akibat perubahan kondisi yang ada baik di dalam maupun di luar negeri saat ini dan ke depannya. “Kita juga berharap dalam revisi ini bisa menangkap kondisi kekinian dan kedepannya,” ujar Ida seraya berharap UU Pemilu hasil revisi bisa selesai tahun 2016.
Ida menyatakan semakin cepat selesainya UU tersebut, tentu waktu untuk sosialisasi pemberlakuannya akan semakin panjang. “Harapan kita akhir tahun ini selesai seluruh paket undang-undang perpolitikan ini. Kita juga berharap ini tidak akan tumpang tindih, terjadinya harmonisasi antara satu undang-undang dengan yang lainnya,” katanya.
Ida Fauziyah, paket UU pemilu ini harus menghasilkan demokrasi yang berkualitas. Karena itu pemerintah harus segera sampaikan draft ke DPR RI dan FPKB sudah siap menghasilkan paket yang berkualitas dari 600 daftar inventarisasi masalah (DIM) tersebut.
Dalam kesempatan sama, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy (LE) menegaskan UU pemilu harus dilakukan penyederhanaan terus-menerus sebagaimana komitmen konsolidasi demokrasi selama ini. Karena itu FPKB mengusulkan penerapan ‘Parliamentary threshold nasional’ agar tidak banyak parpol, tapi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian dimentahkan. “Putusan MK ini justru menghambat konsolidasi demokrasi, sehingga kita selalu membahas penyederhanaan parpol itu dari awal lagi,” tambahnya.
Menurut LE, RUU Pemilu tersebut mulai 1 Oktober 2016 akan dibahas oleh fraksi-fraksi dengan jumlah DIM sebanyak 600-an DIM. PKPU pun, membutuhkan RUU ini secepatnya pada awal Februari 2017 harus selesai sehingga pada April 2017 ada waktu untuk penyempurnaan. “Dan Mei 2017, KPU sudah mulai melakukan tahapan pemilu 2019, “ katanya.
Menyinggung sistem pemilu, LE mengatakan FPKB tetap meminta system terbuka. Namun , LE mengingatkan apabila pemerintah mengusulkan terbuka terbatas, maka pemerintah harus menjelaskan secara jelas dan detil. “Kalau yang dimaksud untuk mengantisipasi terjadinya jual-beli suara, maka itu bagus. sebab, FPKB anti politik uang. Jadi, pemerintah harus menjelaskan apa system terbuka terbatas,” katanya.
Sementara itu mengenai E-Voting, siap tak siap kata Lukman, semua harus mendorong implementasi e-voting tersebut. Selain ada jaminan akurasi, juga murah. “E-voting itu untuk meminimalisir upaya manipulasi suara,” pungkasnya.
Sedangkan Juri Ardiantoro menyatakan, UU Pileg dulu disahkan pada Februari 2012, 4 bulan sebelum tahapan pemilu dimulai. Karena itu, RUU pemilu sekarang ini setidaknya Desember 2016 harus selesai, agar persiapan pemilu bisa lebih baik.
Menurut Juri, sistem pemilu akan menjadi perdebatan panjang parpol, karena menyangkut kepentingan para pihak. Yang jelas system pemilu itu harus lebih baik dari sebelumnya. “Tidak ada penambahan daerah pemilihan dari sebelumnya 77 dapil, kecuali ada daerah pemekaran,” ujarnya.
(bbg/sl)