Pekanbaru, Suaralira.com -- Kasus SPPD fiktif di Sekretariat Dewan (Sekian) DPRD Riau memasuki babak baru. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau telah melaksanakan gelar perkara di Bareskrim Mabes Polri pada Selasa, 17 Juni 2025 kemarin.
Sesuai perhitungan BPKP, kasus SPPD fiktif ini telah merugikan negara sebesar Rp 195,9 miliar dari tahun anggaran 2020-2021. Hasil gelar, M selaku pengguna anggaran dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat ditetapkan sebagai tersangka yang dilakukan di Polda Riau.
"Selanjutnya penyidik akan mengelompokkan pihak yang terlibat sehingga diketahui peran dari masing-masing pihak dimulai dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan besar dalam pencairan SPPD Fiktif dan pihak-pihak yang paling diuntungkan dengan melihat besarnya aliran dana yang diterimnya," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Ade Kuncoro, Rabu (18/6) 2025).
Menyikapi hal ini, Kuasa Hukum Muflihun, Ahmad Yusuf menegaskan, pihaknya merasa Dirugikan Akibat Penyebutan Inisial M yang mengarah langsung kepada kliennya. Dalam kasus ini, Ahmad Yusuf menyebut bahwa kliennya telah di kriminalisasi oleh Ditreskrimsus Polda Riau. "Ini murni kriminalisasi, klien kami merupakan korban politik dan korban kriminalisasi. Kalau ini terjadi, kami akan bawa ke yang lebih tinggi dan kami siap mendampingi bapak Muflihun," tegasnya.
Dijelaskan, bahwa Muflihun tidak memiliki kewenangan teknis maupun administratif dalam pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas yang kini tengah diselidiki aparat penegak hukum.
"Tugas tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab PPTK, bendahara, serta pejabat teknis lainnya. Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan klien kami terlibat aktif atau pasif dalam dugaan tindak pidana tersebut," tegasnya.
Sebagai bentuk transparansi, pihak kuasa hukum juga akan menyerahkan video resmi berisi pernyataan langsung dari Muflihun kepada publik dan penyidik, yang menyatakan bahwa ia tidak memiliki hubungan hukum dengan perkara tersebut.
"Dalam video tersebut, klien kami akan menegaskan bahwa penyebutan inisial tersebut sangat merugikan nama baik dan keluarganya. Ia akan menghadapi proses hukum secara terbuka, namun kami tidak akan tinggal diam atas upaya kriminalisasi," kata Ahmad Yusuf.
Lebih lanjut, kuasa hukum juga menyampaikan bahwa mereka telah mengajukan permohonan perlindungan hukum ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Kami meminta jaminan perlindungan hukum dan psikologis agar proses hukum berjalan secara adil dan tidak dibayang-bayangi oleh tekanan opini publik maupun politik," imbuhnya.
Jika klien mereka tetap ditetapkan sebagai tersangka tanpa bukti yang sah, tim hukum menegaskan siap menempuh upaya hukum.
"Apabila penetapan tersangka dipaksakan, kami akan mengajukan gugatan praperadilan, menggugat ke PTUN, melaporkan ke PROPAM dan Kompolnas, serta menempuh jalur hukum perdata dan pidana atas pencemaran nama baik," pungkas Ahmad Yusuf.
"Hukum harus ditegakkan dengan adil, bukan disalahgunakan. Kami akan melawan setiap bentuk kriminalisasi terhadap klien kami," tutupnya. (Rls/Fa/LO)