JAKARTA (suaralira.com) - Di negara luar seperti Australia, jeroan sapi dianggap sebagai produk sampingan sehingga bisa dijual sangat murah dan sebagai makanan hewan. Namun, di Indonesia, harga jeroan tergolong cukup mahal.
Ketua Komite Tetap Industri Makanan dan Protein Kadin Thomas Darmawan mengatakan, mahalnya harga jeroan sejak di rumah potong hewan (RPH) terjadi lantaran banyaknya permintaan jeroan di dalam negeri. Sebabnya, banyak makanan tradisional dibuat dari jeroan sebagai bahan baku utamanya.
"Jangan samakan di Australia yang jadi makanan anjing dan kucing. Jeroan di Indonesia banyak yang konsumsi, masing-masing daerah punya kuliner dengan bahan baku sendiri, banyak menu dari jeroan. Kalau di Australia tak ada menu dari jeroan," ucapnya seperti yang dilangsir detikFinance, Minggu (17/7/2016).
Thomas menyebut, meski jadi biang sumber kolesterol, menu kuliner daerah berbahan jeroan punya tempat tersendiri di masyarakat. Sehingga, kebutuhannya yang banyak namun pasokan dalam negeri sedikit, membuat harganya melambung tinggi.
"Betul penyebab kolesterol dan asam urat. Tapi masing-masing daerah punya selera, ada soto babat Madura, coto Makassar, empal gentong, kalau nggak pakai jeroan ya nggak enak dong. Buat kebijakan nasional jangan merugikan kuliner daerah," ungkapnya.
Selain itu, sambung Thomas, harga jeroan ini berkaitan erat dengan harga daging yang dijual pedagang.
"Di Indonesia ini agak aneh, kalau jeroan yang dipasok dari pemotongan sapi berkurang harga jeroan pasti naik. Kalau jeroan nggak laku di pasar, harga daging ikut naik," tutupnya.