PEKANBARU (suaralira.com) - Pembangunan berkelanjutan di Riau masih terganjal. Termasuk beberapa pembangunan strategis yang melintasi Bumi Lancang Kuning. Misalnya, pembangunan tol Pekanbaru-Dumai yang menjadi bagian dari pembangunan tol Trans Sumatera.
Ini dikarenakan belum rampungnya pengesahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal sudah beberapa kali mengalami perubahan. Akibat belum tuntasnya pengesahan RTRW Riau, berdampak pula pada pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Bahkan desa dan kelurahan.
Karena sampai sekarang, masih ada sekitar 405 desa/kelurahan di Riau yang masuk kawasan hutan. Dan ini tidak ditampik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI. Sementara fungsi dan keberadaannya sudah menjadi pemukiman penduduk dan sentra ekonomi masyarakat.
Sekretaris Jenderal Kementerian LHK RI, Bambang Hendroyono mengatakan, usulan pelepasan kawasan hutan menjadi bukan hutan di Riau memang belum seluruhnya terverifikasi. Termasuk di dalamnya masih terdapat ratusan desa.
Berdasarkan adendum melalui Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 tanggal 20 April 2016, Kementerian LHK telah menetapkan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawawan hutan seluas 65.125 hektare di Riau.
“Memang baru seluas itu yang dikeluarkan dari kawasan hutan. Itu tahap awal dan betul-betul sudah mendapatkan verifikasi,” kata Bambang seperti yang dilangsir Riau Pos, Sabtu (13/8).
Dia menyebutkan, untuk usulan lain masih diperlukan penyelesaian secara komprehensif.
SK yang baru ini merupakan hasil dari kesepakatan rapat antara DPD RI dengan Menteri LHK Siti Nurbaya pada Februari 2016, serta rekomendasi Ombudsman RI, yang menyepakati kantor pemerintahan, pemukiman, fasilitas umum termasuk jalan tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 25 km, menjadi bukan kawasan hutan. Setelah diverifikasi keseluruhan mencapai 65.125 ha.
Tiga kali perubahan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan belum mampu menyelesaikan permasalahan RTRW Riau. Terakhir SK 314/2016 Menteri LHK juga masih terdapat ratusan desa dengan luas ribuan hektare masih berada dalam kawasan hutan.
Terkait hal itu Pemprov Riau pasca menerima SK tersebut pada Mei 2016 kemarin terus melakukan upaya-upaya kepada beberapa Kementerian Koordinator hingga Sekretaris Negara sampai ke Presiden. Namun ratusan desa di ribuan hektar lahan yang tersebar di 12 kabupaten/kota tersebut belum bisa dikeluarkan.
Namun progres mulai diperlihatkan di mana melalui koordinasi yang dilakukan, Menteri LHK RI bersama Bappenas dan Menko Perekonomian mendukung agar Riau menyelesaikan terlebih dahulu SK terakhir yang diterima untuk ditindaklanjuti sebagai peraturan daerah (Perda).
“Setelah SK diterima, kemudian diverifikasi kembali dengan kabupaten/kota atas usulan mereka. Memang masih ada ratusan desa dengan total ribuan hektare berada dalam kawasan hutan,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau H Ahmad Hijazi, Ahad (14/8).
Ratusan desa (pemukiman) yang masih dalam kawasan hutan berdasarkan SK tersebut lanjut Sekda memang sudah dibahas di berbagai tingkatan. Mulai tingkat kabupaten/kota hingga ke pemerintah pusat. Namun pelepasan 1,6 juta hektare kawasan hutan di Riau yang belum terakomodir atas SK terbaru dikarenakan berbagai perubahan-perubahan kawasan yang terus terjadi.
Karenanya disinggung mengenai kebijakan Pemprov Riau yang diambil untuk melepaskan desa/pemukiman tersebut dikatakan Sekda, sekarang disiapkan alternatif solusi yang diupayakan melalui pelepasan parsial. “Sedang diupayakan penyelesaian melalui pelepasan parsial dan IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah),” katanya.
Di mana tindaklanjutnya, Pemprov Riau sekarang sedang menyiapkan Ranperda RTRW Riau. Di mana pembahasan dan koordinasi di tingkat legislatif sudah dimulai. Untuk kemudian mana kawasan yang masih hutan untuk pemukiman, nantinya akan dibahas lebih lanjut dan menjadi kewenangan Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK RI untuk menyelesaikan.
Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Riau Fadrizal Labay menambahkan, memang Pemprov sudah berupaya agar seluruh desa-desa, menurutnya desa tua/definitif yang masih kawasan hutan agar dikeluarkan. Sehingga statusnya bukan lagi masuk dalam kawasan hutan.
“Namun pihak KLHK masih memprioritaskan pada desa-desa yangg berada di dalam “GAP” antara rekomendasi tim terpadu dengan SK Menhut 673,” katanya.
Karena sudah sampai pada pembahasan Ranperda, sambung Labay maka Pemprov terkait di dalam Ranperda RTRWP Riau terhadap desa-desa tersebut tetap akan diprioritaskan untuk dikeluarkan dari status kawasan hutan. Di mana nantinya akan ada koordinasi dan kesepakatan bersama dengan pemerintah pusat atas pelepasan yang dilakukan.
Dengan mengambil langkah solusi melalui pelepasan parsial dan IP4T yang dilakukan Pemprov Riau, maka jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, memang PP ini diatur mengenai tata cara perubahan fungsi kawasan hutan dengan tujuan memantapkan dan mengoptimalkan fungsi kawasan hutan.
Sejumlah pemerintah kabupaten/kota di Riau pun merasa gerah. Mereka menilai pemerintah pusat kurang berkoordinasi dengan daerah dalam penetapan status tersebut. Sehingga mereka menuntut untuk dikeluarkan. Dalam menentukan kawasan hutan, pemerintah pusat dinilai kurang berkordinasi dengan pemerintah daerah, termasuk Pekanbaru. Tak jarang, rencana pembangunan daerah yang sudah disusun dengan baik untuk masyarakat terkendala karena kawasan yang akan dibangun masuk dalam kawasan hutan.
Di Kota Pekanbaru, daerah yang masuk dalam kawasan hutan memang tidak banyak, hanya di utara daerah Rumbai dan di Tenayan Raya. Namun, penetapan kawasan hutan tidak dipungkiri berdampak pada rencana pembangunan jangka panjang Kota Pekanbaru. Salah satunya pengembangan Kawasan Industri Tenayan (KIT).
KIT diproyeksikan menjadi pusat industri terpadu di Kota Pekanbaru. Dari 3.000 hektare lahan yang direncanakan untuk pembangunan, 2.500 hektare masuk dalam peta kawasan hutan konversi. Untuk KIT sendiri, Pemko Pekanbaru memiliki beberapa rencana. Jika peroses pelepasan selesai, tahun 2016 pembangunan direncanakan sudah dilakukan. KIT nantinya juga didukung dengan pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas 250 MW.
Tentang penetapan kawasan hutan, keluhan disampaikan Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan (Distarubang) Kota Pekanbaru Mulyasman. Ia tak menampik memang koordinasi yang baik belum dilakukan pemerintah pusat.
‘’Kemarin bertanya-tanya kita kok bisa begitu. Tanya sama kementerian, (penentuan) didengarkan tidak suara daerah,’’ ujarnya, Ahad (14/8).
Mulyasman menilai, dalam menetapkan kawasan hutan yang ada di suatu daerah, pemerintah daerah seharusnya dilibatkan. ‘’Daerah harus dilibatkan, keputusan harus bijak. Dilibatkan kalau tidak bijak untuk apa,’’ katanya.
Begitu pula dengan Inhu. Pemerintah pusat melalui Menteri LHK belum berpihak kepada daerah. Sebab, pelepasan kawasan hutan belum sesuai dengan yang diusulkan. Buktinya, masih ada 18 desa masih masuk dalam kawasan hutan.
“Pemkab Inhu sudah mengusulkan pelepasan kawasan hutan bagi desa dan kelurahan yang masih masuk dalam kawasan hutan. Namun nyatanya setelah keputusan Menteri Kehutanan keluar, masih ada sekitar 18 Desa masuk dalam hutan kawasan,” ujar Kasubag Program Dinas Kehutanan Kabupaten Inhu Syamsul akhir pekan lalu.
Pengusulan pelepasan kawasan hutan tersebut sambungnya, sudah sesuai dengan yang diminta. Bahkan, pengusulan tersebut juga didukung persetujuan dewan. Sehingga dinilai tidak ada cela lagi, pemerintah pusat tidak mengeluarkan desa dan kelurahan dari kawasan hutan.
“Desa dan kelurahan yang diusulkan tidak keluar, yang keluar malah yang tidak diusulkan keluar dari kawasan hutan,” ungkapnya.
Hanya saja, Syamsul tidak mengingat secara lengkap data desa dan kelurahan yang masih masuk dalam kawasan hutan. Sebab, saat dikonfirmasi dia berada di luar kota dan urusan dinas.
“Yang jelas, beberapa desa di Kecamatan Seberida. Yakni di Kelurahan Pangkalan Kasai di Belilas masih di dalam kawasan hutan. Begitu juga beberapa desa di Kecamatan Rengat,” terangnya.
Kondisi ini pun tak ditampik Pemkab Kuantan Singingi (Kuansing), ada desa di sana yang masuk dalam kawasan hutan. Namun setiap tahun, daerah mengusulkan pembebasan desa untuk dikeluarkan dari kawasan hutan.
“Iya, memang masih ada desa di daerah kami yang masuk dalam kawasan hutan. Setiap tahun kami terus mengusulkan untuk dikeluarkan dari situ,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kuansing, Indra Agus.
Dia menyampaikan, desa di Kuansing yang masuk kawasan hutan hanyalah Desa Perhentian Sungkai. Soal desa lain yang diinformasikan masuk kawasan hutan, seperti Desa Ibul, Rambahan dan Pasarbaru Pangean, itu tidak mungkin.
“Rasanya yang menjadi masalah hanya Perhentian Sungkai,” katanya lagi.
Pemkab Rohil pun menilai kalau itu dapat menghambat rencana Pemkab dalam menata dan mengembangkan desa atau kepenghuluan tersebut.
‘’Jelas, sangat memberikan dampak bagi daerah. Dampaknya sangat terasa sekali,›› kata Plt Sekda Rohil, Drs H Surya Arfan Msi yang ditemui Riau Pos, Sabtu (13/8) di Sinaboi.
Dampak yang terasa, tambah pria yang hobi memancing ini menambahkan, untuk penataan dan pengembangan desa atau kepenghuluan tersebut.
‘’Salah satunya misalnya, yakni rencana membangun jalan tembus Sinaboi - Dumai,’’ kata Surya mencontohkan.
Sebagai gambaran, lanjut suami dari Hj Lena Puspasari ini menambahkan, di Kabupaten Rohil ada beberapa desa atau kepenghuluan yang dianggap sebagai kawasan hutan. Sehingga, proses pengembangan desa menjadi terhambat.
‘’Seharusnya, pemerintah pusat dapat mengakomodir keinginan daerah,’’ kata Surya.
Alasannya, tambah Surya, daerah yang mengetahi dan memahami tentang kondisi dan potensi yang ada di wilayahnya.
‘’Yang tahu itu hutan atau tidak suatu kawasan itu kan daerah. Jadi, kembalikan saja ke daerah,’’ kata Surya.
Sementara Pemkab Meranti, tidak terlalu heran karena di wilayah Kepulauan Meranti, kebun sagu masyarakat malah ditetapkan sebagai hutan lindung. Seperti yang ditegaskan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kepulauan Meranti, Ir Mamun Murod MM MH. Menurutnya kondisi itu memang harus disikapi serius oleh pemerintah pusat.
“Kami sudah pernah menyampaikan hal itu dan protes kepada pusat. Namun mekanisme perubahannya harus melalui usulan bersama dan dimasukkan dalam RTRW Kepulauan Meranti,” ungkapnya.
Menurutnya sangat banyak lahan di Kepulauan Meranti yang statusnya tidak sejalan dengan sesuai dengan fakta di lapangan. Makanya kalau masih ada Desa yang masuk hutan, dibenarkan masih terjadi.
“Mungkin lebih dari 55 Desa yang masuk dan masih berstatus kawasan hutan. Karena daerah Meranti merupakan daerah baru yang sudah banyak terjadi pemekaran wilayah dan perubahan didalam wilayah Desa,” terangnya.
Dumai menjadi kota kedua terbesar di Indonesia setelah Kota Palangkaraya. Dengan luas wilayah sekitar 1.727.38 hektar terdiri dari kelurahan 33 Kecamatan dan tujuh kecamatan.
Namun sayangnya 80 persen dari luas lahan itu merupakan kawasan hutan. Hal itu diakui Wali Kota Dumai, Zulkifli AS, jika memang kawasan untuk pembangunan di Kota Dumai hanya 20 persen selebihnya merupakan kawasan hutan.
‘’Saat ini Pemko Dumai sedang menunggu Peraturan Daerah (Perda) tentang RTRW Kota Dumai yang masih berada di tangan Gubernur Riau,’’ ujar orang nomor satu di Kota Dumai ini.
‘’Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878 Tahun 2014 kawasan Industri yang semula masuk kawasan hutan akan dibebaskan,’’ sebutnya.
Begitu juga perkantoran pemerintah, sekolah, dan fasilitas umum yang masuk dalam kawasan hutan turut dibebaskan.
‘’Perda RTRW sangat penting karena akan menjadi payung hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Dumai,’’ tuturnya.
Sementara tiga Kampung (desa) di Siak statusnya kini masih berada di kawasan hutan. Padahal status ini sudah diajukan untuk di inclave (dikeluarkan) dari status hutan. “Kami sudah usulkan berulang kali, namun begitu juga hasilnya,” kata Kadishutbun Siak Ir Teten Efendi menanggapi status tiga desa tersebut, akhir pekan lalu.
Ia menjelaskan, sebenarnya yang masuk dalam kawasan hutan itu bukan desanya, melainkan pada fasilitas; seperti kantor desa, dan fasilitas umumnya. Adapun tiga fasilitas desa itu yang masuk dalam status hutan, yaitu dua kampung Sungai Mandau kecamatan Sungau Mandau dan Kampung Tumang Kecamatan Siak. Diakui dia, awalnya kemarin ada sekitar sepuluh desa, namun telah diajukan, tinggal tiga.
Memang dari segi geografis, di wilayah kabupaten Siak, banyak terdapat status hutan. Ini secara berangsur-angsur telah diajukan dan dipulihkan. Terhadap tiga desa ini, dampaknya sangat jelas, Pemkab mendapat hambatan untuk mengembangkannya terutama pembangunan.
Sebab jika mau membangu jalan misalnya harus melakukan izin pinjam pakai. Padahal di daerah tersebut sudah banyak masyarakat yang bermukim sejak lama
Rohul Percayakan ke Provinsi
Sementara di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) terdapat 27 desa yang masih masuk kedalam kawasan hutan. Pemerintah daerah telah melakukan upaya, dengan mengusulkan pelepasan kawasan hutan ke Pemerintah Provinsi Riau melalui Bappeda Riau untuk diakomodir usulan tersebut. ‘’Pemkab mempercayakan kepada Tim RTRW provinsi untuk dapat merealisasikan apa yang sudah menjadi usulan daerah.’’ungkap Kepala Bappeda Riau Nifzar SP MIp menjawab Riau Pos, Sabtu (13/8).
Disebutkannya, pemerintah daerah telah melakukan pertemuan dengan Kementerian Kehutanan dan LH, Komisi A DPRD Riau, membahas usulan pelepasan kawasan hutan yang saat ini berdiri 27 desa, sudah dibangun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas khusus (fasus) di Rohul.
‘’Kami menunggu hasil finalisasi RTRW Riau. Semoga usulkan kami segera ditetapkan, agar pembangunan dan pemukiman penduduk, fasus, fasum yang ada tidak menyalahi secara tata ruang, maka itu perlu segera Keputusan Penetapan RTRW Provinsi Riau,’’tuturnya.
Kepala Dinas Kehutan dan Perkebunan Rohul Ir H Sri Hardono MM menjawab Riau Pos, Ahad, (14/8) mengatakan, pemerintah daerah telah dua kali mengusulkan pelepasan kawasan hutan yang kini di atasnya sudah berdiri 27 desa yang menjadi pemukiman penduduk, termasuk fasus, fasum dan lainnya. Namun selain belum keluarnya penetapan pelepasan kawasan hutan, daerah terbentur dengan adanya ketentuan di dalam luasan setiap kabupaten/kota/provinsi, minimal harus ada 30 persen merupakan kawasan hutan.