JAKARTA, SUARALIRA.com - DPR RI akan menolak kenaikan harga rokok jika pemerintah memutuskan untuk itu, karena akan membuat terpuruk petani tembakau serta karyawan pabrik dan para penjualan asongan rokok. Pengangguran besar-besaran akan terjadi, ini yang perlu dihindari.
“Saya anggota DPR RI dari Partai Gerindra serta partai saya akan menolak kenaikan harga rokok itu,” kata Heri Gunawan saatdialektika demokrasi ‘Rokok, Pajak dan Nasib Petani Tembakau’ bersama M. Misbakhun (Fraksi Partai Golkar Gerindra), Pimpinan Pergerakan Perlawanan Petani Tembakau dari LIPI Mohamad Sobary dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamudji di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (25/8/2016) kemarin.
Heri berpendapat kenaikan harga rokok hasil survei lembaga pendidikan Universitas Indonesia yang mencapai Rp50ribu tersebut diduga sebagai rekayasa untuk mematikan rokok kretek Indonesia yang sudah menguasai pasaran di dalam negeri. Apabila harga rokok dinaikkan kembali, maka jumlah pabrik rokok kretek akan terus mengecil dan mati perlahan. Akibatnya akan bermunculan dan menjamur rokok putih dan rokok ilegal.
“Gonjang-ganjing masalah kenaikan rokok ini sebagai bentuk kepanikan pemerintah dalam merespon hasil survei UI, “ katanya.
Heri mengkhawatirkan isu kenaikan harga rokok ini untuk menguji masyarakat di tengah kebuntuan pendapatan pajak dan defisit anggaran. Heri mengungkapkan selama tahun2015-2016, pendapatan pajak dari cukai rokok mencapai Rp145triliun. Sedangkan dari 100 BUMN, pemerintah memperoleh pendapat hanya Rp30triliun.
“Jadi terlalu sembrono dan gegabah kalau pemerintah tiba-tiba merespon survei UI tersebut. Jadi, Gerindra akan menolak kalau pemerintah akan menaikkan harga rokok hanya berdasarkan survei. Masyarakat tidak nyaman terhadap negara ini, karena lebih banyak membeli Samsung daripada produk diri sendiri,” ungkapnya.
Dukungan penolakan serupa dilontarkan oleh anggota Fraksi Partai Golkar M. Misbakhun. Dia berjanji akan memperjuangkan nasib petani tembakau tidak jadikan miskin. Para pelaku pencanangan anti rokok tembakau itu diduga dibayar untuk mengekspansi opini tentang rokok tembakau itu membahayakan. “Karenanya harus dimatikan pelan-pelan petani tembakau dan pabriknya agar rokok putih yang menguasai pasaran. Jadi kita harus menyimak lebih teliti siapa pemain dibalik anti rokok tembakau itu, “ katanya.
Misbakhun meminta pemerintah berhati-hati dalam mengambil kebijakan masalah kenaikan harga rokok. Selain memberikan kontribusi senilai Rp145triliun, pasalnya survei kenaikan rokok Rp50ribu yang diprakarsai UI dibiayai oleh Bloomberg sebesar Rp4,5Miliar, diduga untuk kepentingan asing.
“Jangan sampai dengan dasar survei segelintir orang, apalagi dibiayai asing menimbulkan dampak signifikan bagi 6,2juta orang yang terlibat dalam industri rokok, “ ujar Misbakhun seraya menyebut petani, anak istri, keluarga, buruh pabrik, pedagang asongan dan sebagainya.
Mohammad Sobarry berpendapat banyak kebijakan tembakau bukkannya membantu kesejahteraan, tapi malah mematikan petani tembakau. “Anehnya lagi, terkadang masukan dari asing anti tembakau yang sudah jelas menguntungkan orang asing tetap diambil sebagai pasal di undang-undang negeri ini,” kata Sobari.
Sementara itu Pamudji mengatakan isu rokok ini pukulan terhadap bangsa ini khususnya bagi petani di 14 provinsi. Untuk itu, semua petani menolak kenaikan itu karena dianggap sebagai pembunuhan massal terhadap petani tembakau. Padahal, rokok ini penyumpang terbesar pada APBN, APBD dan masyarakat. “Jadi, harus ada kejelasan keperpihakan negara kepada petani melalui UU, dan menaikkan cukai dari 2 menjadi 20 persen untuk kepentingan pemberdayaan petani,” katanya. (bbg/sl)