Walikota Bekasi, Dapat Penghargaan Dari Komnas HAM

BEKASI (suaralira.com) -
Pemerintah Kota Bekasi mulai mengikis label sebagai kota intoleran yang sempat tersemat pada tahun 2015 dengan meraih penghargaan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Penghargaan diberikan atas semangat, dan konsistensi Pemkot Bekasi dalam menjamin kebebasan hak warganya untuk beragama, dan berkeyakinan.
 
Walikota Bekasi, Rahmat Effendi menerima langsung penghargaan yang disampaikan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam kesempatan Kongres Nasional Kebebasan Beragama, dan Berkeyakinan di Balai Kartini Jakarta, Kamis (16/3). 
 
Selain Kota Bekasi, penghargaan serupa juga diberikan untuk Walikota Bandung, Ridwan Kamil, dan Walikota Manado, Vicky Lumentut.
 
Penghargaan yang diterima Kota Bekasi, tidak terlepas dari keberhasilan Pemkot Bekasi menyelesaikan konflik pendirian empat gereja yang selama ini kerap mendapat penolakan keras, yakni Gereja Santa Clara, Gereja Kalamiring, Gereja Mangseng, dan Gereja Galilea. 
 
Pemkot Bekasi juga dianggap konsisten atas ketegasannya menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan keempat gereja tersebut dengan jaminan tidak akan mencabutnya meskipun mendapat tekanan. 
 
Selain itu, Pemkot Bekasi juga dinilai telah bersikap tegas, dan berani mencari solusi atas sikap intoleran yang diperlihatkan kelompok masyarakat tertentu.
 
Dalam kesempatan tersebut, Walikota Bekasi, Rahmat Effendi menyebut penghargaan yang baru saja diterimanya merupakan hasil dari proses panjang membangun peradaban di tengah pluralisme yang sudah dirintis sejak tahun 2009.
 
"Penghargaan ini dipersembahkan untuk seluruh warga, karena bisa terwujud melalui keterlibatan warga pula. Sebagai pemerintah, kami hanya berupaya mewujudkan situasi kondusif tersebut," katanya.
 
Pepen sapaan akrab Rahmat Effendi menambahkan, apa yang dilakukannya dengan menerbitkan IMB bagi keempat gereja yang proses perizinannya berlarut selama bertahun-tahun itu dilakukan sebagai bentuk kekonsistenan, dan ketaatan atas aturan yang berlaku.
 
"Selama prosedur ditaati, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menghalang-halanginya. Demikian pula dengan keempat gereja tersebut, persyaratan sudah terpenuhi, sehingga wajar bagi kami untuk menerbitkannya," bebernya.
 
Kalaupun dalam perjalanan, muncul penolakan dari kelompok-kelompok yang masih bersikap intoleran, hal tersebut tetap tidak akan mempengaruhi kebijakan yang telah digariskan.
 
"Kepala daerah harus takut pada aturan, dan hukum, bukan pada tekanan yang datang dari segelintir kelompok," tegasnya.
 
Selain poin-poin yang menjadi bahan penilaian Komnas HAM, sejumlah upaya mewujudkan kedamaian di antara keragaman warga Kota Bekasi juga telah direalisasikan melalui pembentukan Majelis Kerukunan Umat Beragama di tingkat kecamatan, dan kelurahan sebagai perpanjangan tangan Forum Kerukunan Umat Beragama.
 
Kehadiran majelis menjadi wadah diskusi akan potensi konflik agar bisa diredam sebelum menjadi besar.
 
Mewakili pemerintah, Pepen juga aktif menjalin komunikasi dengan pemuka agama dari berbagai agama, seperti ke pusat HKBP di Tarutung, Keuskupan Pantekosta Indonesia Barat, Gereja Sinode, pura, kelenteng, dan lainnya.
 
"Intensitas komunikasi yang dijalin itu merupakan upaya agar 342 warga non muslim di Kota Bekasi mendapatkan persamaan hak, sehingga kemudian tidak ada lagi istilah minoritas atau mayoritas di kota ini," tambahnya.
 
Dalam kesempatan sama, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, pemberian penghargaan merupakan apresiasi terhadap pemerintah daerah agar tetap semangat, dan konsisten memajukan pemenuhan hak kebebasan beragama, dan berkeyakinan.
 
"Pernghargaan ini juga diharapkan bisa menjadi motivasi bagi daerah lain untuk mereplikasi, meneladani, atau bahkan meniru apa yang telah dilakukan di ketiga daerah yang sudah mengambil langkah konkret menyelesaikan berbagai persoalan yang ada," ucapnya.
 
Meskipun penghargaan telah diperoleh, tapi tantangan yang menanti di masa mendatang tetap ada. Namun selain konsistensi pemerintah selaku pengambil kebijakan, warga pun diimbau mampu hidup dalam keragaman karena demikian kenyataannya.
 
"Jika perbedaan tidak disikapi dengan ikhlas, hidup akan tidak nyaman. Jika disikapi dengan kemarahan, kehidupan yang dijalani akan berada dalam suasana penuh konflik. Apalagi jika disikapi dengan kekerasan, bukan masa depan yang baik menanti Indonesia di depan. Perbedaan yang ada sudah semestinya disikapi dengan kedewasaan," tutupnya.
 
(oto/sl)