PEKANBARU - Direktur Media Watch Riau, El Wahyudi Panggabean, mengecam keras dialihkannya sengketa pemberitaan antara wartawan media siber Harian Berantas dan Bupati Bengkalis Amril Mukminin ke ranah undang-undang ITE.
Tokoh Pers Riau sekaligus wartawan senior dan pendiri sekolah Jurnalistik di Riau itu mengaku tidak nyaman dan kecewa setelah mencermati kasus yang menimpa pimpinan media siber nasional asal Riau.
"Saya sudah melihat secara cermat lebih dalam kasus ini. Menurut pengamatan saya, kasus ini dipaksakan ke ranah pidana. Padahal, sudah ada hasil sidang kode etik Wartawan yang dibuktikan dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers antara kedua belah pihak, baik pengadu dan teradu yang menyatakan kasus ini tak masuk ranah pidana," ungkap Wahyudi dalam jumpa Pers, Selasa (28/08/2018).
PPR Dewan Pers, kata Wahyudi, telah menyatakan bahwa berita yang dimuat Harian Berantas yang dipimpin Toro ZL hanya sebatas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers meminta media siber harianberantas.co.id membuat hak jawab dan permintaan maaf setelah menerima hak jawab dari pengadu/pelapor.
"Bagaimana caranya membuat Hak Jawab sekaligus Permintaan Maaf kalau Pengadu/pelapor (Bupati Bengkalis), tidak mengirimkan hak jawabnya sesuai PPR Dewan Pers beberapa waktu lalu. Kemudian, tanpa melihat alasan kenapa tidak ada Hak Jawab dan permintaan maaf sudah dimuat, namun Polisi dengan kekuasaannya langsung menyidik dan menjadikan Toro sebagai tersangka pelanggar undang-undang ITE," urai Wahyudi.
Toro, sebut Wahyudi, jelas pelanggar Kode Etik. Tapi bukan pelanggar undang-undang ITE. Ia adalah wartawan pertama di Riau yang jadi tersangka sejak undang-undang ITE Tahun 2008 diberlakukan.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Toro, Jusman SH MA, mengaku sangat kecewa dan heran kenapa Majelis Hakim menolak Eksepsi yang dilayangkan pihaknya atas kasus kliennya. Padahal, sudah ada Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri Tahun 2012, yang menyebutkan jika perkara Jurnalistik mendahului penyelesaian di Dewan Pers.
Akan tetapi polisi tidak merekomendasikan pelapor untuk menyelesaikan ke Dewan Pers malah menerima laporan dari pengadu. Anehnya, polisi bersama pengacara pelapor yang mengadukan ke Dewan Pers.
Uraian singkat, kasus ini bermula ketika Media Harian Berantas memuat berita tentang kasus dugaan perbuatan korupsi Dana Bansos/Hibah untuk Kabupaten Bengkalis tahun 2012, yang telah menyeret mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh dan sejumlah anggota DPRD Bengkalis jadi terpidana.
Harianberantas memuat pemberitaan seputar kasus itu yang diduga menyatakan Bupati Bengkalis Amril, selaku mantan anggota DPRD Bengkalis diduga terlibat, namun tak kunjung disidik secara serius oleh Polisi, entah karena Bupati atau karena sesuatu hal.
Atas berita kasus dugaan korupsi yang luar biasa tersebut, pada tanggal 07 Januari 2017 Amril Mukminin atau Bupati semalam berita terbit, melaporkan pimpinan Harianberantas, Toro ZL selaku penanggungjawab media tersebut ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau.
Atas laporan itu, pihak Subdit II Unit ITE Ditreskrimsus Polda Riau berkonsultasi ke Dewan Pers atas berita tersebut. Sementara Dewan Pers langsung menerima aduan pihak Amril selaku Pengadu melalui pengacaranya.
Toro selaku Teradu dalam sengketa Pemberitaan dinilai Dewan Pers bahwa Toro telah melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers pun menurunkan 4 (empat) poin dalam PPR. Pertama, mewajibkan Harianberantas menerbitkan Hak Jawab dari Amril sebanyak 8 kali setelah Hak Jawab diterima dan disertai permohonan maaf.
Kedua, Amri Mukminin selaku pengadu wajib mengajukan Hak Jawab kepada Harianberantas paling lambat 7 hari kerja setelah PPR ini diterima dan mengacu pada Peraturan tentang Pedoman Hak Jawab.
Ketiga, Harian Berantas diwajibkan memenuhi ketentuan yang diatur oleh Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers. Keempat, Harian Berantas wajib memuat isi seluruh poin PPR tersebut dalam medianya.
"Semua poin sudah kita laksanakan. Terutama poin kedua, ketiga, dan keempat. Toro bahkan sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sebagai bagian dari pon ketiga. Namun, untuk poin pertama, pihak Pengadu (Amril, red) justru tak pernah mengirimkan Hak Jawab," ungkap Kuasa Hukum Toro, Jusman.
Meski demikian, lanjut Jusman, Harianberantas bahkan mengambil inisiatif menerbitkan berita klarifikasi sebanyak 9 kali disertai permintaan maaf. "Hingga hari ini, justru Hak Jawab dari Amril yang tak pernah muncul. Amril yang tak patuh, malah pada 2017, kasus Toro dinaikkan ke tingkat penyidikan oleh Kepolisian," ucap Jusman.
Ia pun heran, kenapa terbit surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP), padahal ini jelas sengketa pemberitaan jurnalistik. Bahkan, saat ini sudah masuk ke ranah peradilan.
"Lalu, apa kabar dengan Nota Kesepahaman (MoU) Dewan Pers dengan Polri. Siapa yang telah melanggar MoU ini? Mungkin dinilai sepele, tapi ini sangat-sangat fatal pelanggaran oleh Polri ini. Tak mungkin klien kami berdiam diri atas kasus ini. Klien kami punya bukti-bukti yang bisa buat gempar. Dan dukungan dari rekan-rekan wartawan, cukup menguat atas pelanggaran MoU ini," tanya Jusman.
Saat ini, kasus Toro sudah memasuki pemeriksaan saksi-saksi Pelapor di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Wahyudi pun mengajak seluruh insan Pers untuk mengikuti sidang ini dan menguak fakta-fakta secara utuh. "Sama-sama kita kawal Due Process of Law dalam kasus ini. Toro korban kriminalisasi Pers. Bukan pidana, tapi sengaja dipidanakan," tegasnya.
El Wahyudi Panggabean menegaskan, bagi rekan-rekan wartawan yang menulis berita sidang ini tanpa sesuai fakta sidang, maka bisa dinilai telah melakukan Contemp Of Court alias penghinaan atau menyerang pengadilan. "Ikuti nurani mu!," pungkas Wahyudi. (rls)
Sumber : riausatu.com