Jakarta, suaralira.com -- Pemerintah Selandia Baru memutuskan menggelar operasi intelijen besar-besaran, selepas aksi teror penembakan di dua masjid di Kota Christchurch. Sebab, peran badan mata-mata negara itu dipertanyakan karena tidak mampu mengungkap potensi kekerasan dari kelompok supremasi kulit putih, dan disebut terlalu fokus mengawasi kalangan radikal Islam.
"Saya telah memberikan wewenang kepada seluruh lembaga terkait untuk menggelar aktivitas mata-mata yang agak mengganggu berlandaskan surat perintah, jumlahnya surat perintahnya tidak bisa saya sampaikan," kata Menteri Bidang Intelijen Selandia Baru, Andrew Little, dalam wawancara dengan Radio New Zealand, seperti dilansir pada Rabu (27/3).
Little memimpin dua badan intelijen Selandia Baru, yakni GCSB dan SIS. Menurut dia selama ini mereka hanya mengawasi sekitar 30 hingga 40 orang yang terlibat dalam gerakan radikal sayap kanan dan supremasi kulit putih.
Akan tetapi, jumlah orang yang diawasi karena diduga terlibat gerakan sayap kanan di Selandia Baru bakal bertambah. Menurut Little, mereka akan memantau setiap jengkal aktivitas dengan cara membuntuti dan menyadap arus komunikasi orang-orang itu.
"Seluruh aktivitas pemantauan ini bisa dibilang mengganggu. Fungsi surat perintah untuk membuat kegiatan mata-mata yang selama ini dianggap melanggar hukum tidak menyalahi aturan," kata Little.
Little menyangkal aparat keamanan Selandia Baru gagal mencegah aksi teror dan terlampau menganggap enteng pelaku penembakan itu, Brenton Tarrant, yang merupakan seorang warga Australia. Sebab mereka tidak mampu mendeteksi potensi Brenton yang pindah ke negara itu dan melakukan serangan.
"Sampai ada evaluasi rinci terhadap peran dan kekeliruan agensi intelijen, saya tidak bisa menyatakan hal itu," kata Little.
Menurut laporan, kepolisian Selandia Baru pada Selasa (26/3) malam dan Rabu dini hari menggeledah dua lokasi di Christchurch. Ketika dikonfirmasi mereka enggan membeberkan kegiatan itu, dan hanya menyatakan hal itu terkait dengan penyelidikan yang tengah berlangsung.
Aksi teror Tarrant dilakukan pada pada 15 Maret 2019 di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood. Dia menggunakan senapan serbu AR-15 dan shotgun dalam aksinya, dan sudah menyiapkan beberapa senjata lain. Polisi menyatakan sebenarnya Tarrant hendak melakukan aksinya di tiga masjid, tetapi berhasil dicegah aparat.
Tarrant merekam perbuatannya dan disiarkan langsung melalui akun Facebook-nya. Tarrant berhasil ditangkap setelah menyerang Masjid Al Noor, ketika hendak pergi menggunakan mobil.
Jumlah korban meninggal dalam kejadian itu mencapai 50 orang. Sedangkan korban luka tercatat juga 50 orang.
Salah satu korban meninggal adalah warga Indonesia, mendiang Lilik Abdul Hamid. Sedangkan WNI yang menjadi korban luka adalah Zulfirmansyah dan anaknya.
Tarrant, yang merupakan penganut ideologi supremasi kulit putih, menyatakan tidak mengajukan keberatan atas seluruh dakwaan. Persidangan lelaki Australia itu bakal dilanjutkan pada 5 April mendatang, dan kemungkinan besar dia bakal menghadapi dakwaan berlapis.
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, kemudian melarang penjualan senapan serbu dan semi-otomatis sebagai respons terhadap penembakan itu. Dia memaparkan siapa pun yang menyimpan senjata ke depannya akan menghadapi denda hingga NZ$4.000 dan terancam tiga tahun penjara. (ayp)
sumber : cnnindonesia