Di Duga di Krimainalisasi, Rustam Dapat Dukungan Dari Dosen Fakultas Hukum UR

Meranti, SuaraLira.com -- Dukungan terus mengalir untuk Rustam, pria asal Kepulauan Meranti, Riau, yang diduga dikriminalisasi sebab membakar sampah di pekarangan rumahnya sendiri. Saat itu, Rustam diketahui sedang bersih-bersih karena akan mengadakan acara syukuran atas kelahiran anaknya.
 
Salah satu dukungan terhadap kasus Rustam datang dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau, Zainul Akmal. Ia membuat amicus curiae atau sahabat peradilan, yaitu keterangan tertulis dari pihak ketiga yang mengekspresikan pendapatnya mengenai ha-hal tertentu dalam sebuah proses hukum yang berlangsung.
 
"Pada Sabtu, 25 Januari 2020 sekira pukul 10.00 WIB, Rustam membakar sampah di tanah pekarangan rumahnya. Tujuan Rustam untuk mempersiapkan acara syukuran aqikah anaknya yang baru lahir. Metode yang digunakan adalah mumoron. Mengumpulkan sampah lalu diletakkan pada tunggul kayu. Namun sudah terlebih dahulu dibersihkannya sekeliling tunggul kayu tersebut," jelas Akmal kepada Wartawan, Senin (20/7/2020).
 
"Api yang membakar sampah tersebut akhirnya menjalar dikarenakan ada sesuatu yang meletus. Percikan api disebabkan letusan disambut oleh angin puting beliung dan semak-semak yang berada di dekat Rustam membakar. Karena baru diracun dan sudah menguning kering, akhirnya api menjalar. 
 
Jarak api dengan rumah Rustam sekitar 10 meter. Luas tanah rustam secara keseluruhan termasuk areal terbakar, rumah dan pekarangan yang tidak tebakar adalah 1.500 m persegi. Luas tanah yang terbakar sekitar 10 x 15 meter yaitu seluas 150 m persegi," tambahnya.
 
Akmal juga menjelaskan berbagai tanaman yang ada dalam pekarangan Rustam. Ia juga mengatakan, saksi menjelaskan tidak adanya lahan orang lain yang terbakar, kecuali areal tanah milik Rustam Sendiri.
 
"Adapun tanaman yang ada pada tanah tersebut seperti, pohon pinang yang ditanam oleh Rustam sebagai batas sepadan tanah. Sementara pohon pisang, rambutan, jambu adalah tanaman yang tumbuh liar. 
 
Saksi Muhammad Nur selaku tempat Rustam membeli tanah juga menjelaskan, pohon kelapa yang dalam tanah tersebut sudah ada dari sebelum Rustam membelinya dan Muhammad Nur tidak pernah menjadikan tanah tersebut sebagai usaha perkebunan atau kebun. Muhammad Nur hanya membiarkannya menjadi semak belukar. 
 
Roeby Hardinata, salah satu saksi mengatakan bahwa pola tanaman tersebut acak dan tidak ada lahan orang lain yang terbakar. Menurut saksi lain, Muhammad Ismun selaku kepala dusun menjelaskan bahwa membakar lahan untuk bercocok tanam atau membakar sampah adalah kebiasaan masyarakat setempat," jelas Akmal.
 
Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Rustam dengan ancaman pidana dalam Pasal 69 ayat (1) Huruf h jo Pasal 108 UU RI No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jo Pasal 56 Ayat (1) Jo Pasal 108 UU RI No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
 
Isi tuntutan JPU terhadap Rustam, pertama pidana penjara selama 1 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan. Kedua, denda sebesar Rp 800.000.000 subsidiair selama 2 bulan kurungan. Ketiga, membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000.
 
Menanggapi hal itu, Zainul Akmal menulis 12 poin dalam amicus curiaenya. Ia menjelaskan berbagai hal, khususnya ketidaktepatan jaksa mendakwa Rustam dengan UU PPLH, yaitu tentang membuka lahan.
 
1. UU Perkebunan mengatur tentang pentingnya perkebunan dalam membangun ekonomi nasional sehingga norma-norma yang ada dalam UU Perkebunan mengatur yang berhubungan dengan perkebunan, sedangkan Terdakwa Rustam tidak memiliki kegiatan yang berhubungan dengan perkebunan dan pekerjaan terdakwa adalah buruh bangunan. 
 
2. Tanaman-tanaman yang ada di tanah terdakwa Rustam tidak dimaksud untuk berkebun melainkan tumbuh secara liar dan sebagian lainnya digunakan untuk batas sempadan tanah sebagaimana kebiasaan masyarakat melayu pada umumnya. 
 
Hal ini bisa dibuktikan dengan tanaman yang tidak teratur sebagaimana yang disampaikan oleh saksi Roeby Hardinata dan poto lokasi yang ada dalam keterangan Bambang Hero Saharjo selaku ahli serta penjelasan saksi lainnya seperti Muhammad Nur tempat terdakwa Rustam membeli tanah. 
 
3. Pekarangan rumah tidak sama dengan kebun walaupun ada tanaman yang bersifat musiman tumbuh dalamnya, sebagaimana jika ada pohon mangga yang tumbuh di dalam hutan, tentunya tidak bisa disebut hutan tersebut sebagai perkebunan atau pohon kelapa yang tumbuh di tepi laut juga demikian. 
 
4. Membakar sampah di area pekarangan rumah di atas tunggul adalah kebiasaan pada umumnya masyarakat melayu yang sebagaimana dilakukan oleh terdakwa Rustam, hal ini bisa dibuktikan juga dengan masyarakat melayu lainnya dan juga dijelaskan dalam fakta persidangan oleh saksi Muhammad Ismun selaku Kadus. 
 
5. Jika dilihat dari denda pada Pasal 108 UU Perkebunan juga jelas, hal ini tidak mungkin dikenakan pada masyarakat yang memiliki tanaman musiman dipekarangan rumahnya. Misalnya saja terdakwa Rustam menjual tanahnya secara keseluruhan baik yang dibakar, rumah dan yang tidak terbakar tidak akan bisa membayar denda yang ada dalam Pasal ini dan juga denda yang dituntut oleh JPU. 
 
6. Jika melihat dari UU Perkebunan Bagian Kedua tentang Jenis dan Perizinan Usaha Perkebunan, Pasal 41 ayat 1 “Jenis Usaha Perkebunan terdiri atas usaha budi daya Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Hasil Perkebunan, dan usaha jasa Perkebunan. 
 
Dan Pasal 42 “Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan. 
 
Bisa disimpulkan bahwa UU Perkebunan sangat berhubungan dengan perusahaan, karena jika perusahaan membuat suatu perkebunan tidak mungkin satu atau dua hektar sehingga jika lahan perkebunan hanya ditanami satu jenis saja atau dibuka dengan cara membakar akan menimbulkan bencana/kerusakan pada alam. 
 
Oleh sebab itu agar pemerintah mudah mengawasi kegiatan yang patut diduga akan terjadi suatu bencana/kerusakan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah. 
 
7. Perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan tidak mungkin memiliki modal yang sedikit, oleh sebab itu pada Pasal 108 UU Perkebunan membuat denda hingga mencapai 10 miliar. 
 
8. UU Perkebunan tentunya juga memiliki hubungan dengan UU PPLH, karena larangan membakar tentunya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup. 
 
9. Sebagaimana di atur dalam UU PPLH tidak setiap kegiatan membuka lahan dengan cara membakar dilarang, seperti membuka lahan dengan maksimal 2 hektar diperbolehkan sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (2) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”. 
 
Pada ayat (1) huruf “h” Pasal 69 memang dilarang membuka lahan dengan cara membakar, namun pada ayat (2) ada penekanan bahwa penegakan hukum terhadap larangan membakar lahan harus memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah.
 
Dipertegas lagi pada penjelasan ayat (2) bahwa, “kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. 
 
Oleh sebab itu, larangan membuka lahan dengan cara membakar harus diselaraskan juga deng UU PPLH, jika tidak akan terjadi pertentangan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. 
 
10. Ada atau tidak adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang kearifan lokal tidak meniscayakan bahwa eksistensi kearifan lokal suatu daerah tidak ada. Eksistensi Kearifan lokal tidak bergantung dengan pengukuhan dari peraturan negara, karena kearifan lokal adalah adat istiadat/kebiasaan yang bersifat turun temurun dan sudah ada semenjak Indonesia sebelum menjadi Negara.
 
Jika eksistensi kearifan lokal bergantung dengan Perda maka Indonesia sudah pasti dimiskinkan secara kebudayaan dan tentunya sangat merugikan Indonesia selaku bangsa yang besar yang memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. 
 
UU PPLH juga tidak ada mendelegasikan bahwa harus dibuat suatu peraturan ditingkat daerah yang mengatur tentang kearifan lokal, sehingga ada atau tidak adanya aturan tentang kearifan lokal tetap tidak mengurangi eksistensi dari kearifan lokal itu sendiri. 
 
Selain itu, yang dimaksud dengan kearifan lokal sudah dijelaskan secara detail oleh UU PPLH, sehingga sangat mudah untuk mengetahuinya dan pada kasus terdakwa Rustam berdasarkan Saksi Muhammad Ismun selaku kadus menjelaskan bahwa terdakwa Rustam adalah warganya semenjak lahir dan membakar lahan untuk bercocok tanam dan membakar sampah adalah kebiasaan masyarakat setempat. 
 
11. Tentunya Yang Mulia telah tahu bahwa, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Amicus Curiae berharap putusan dalam kasus Iwan bukan hanya menegakkan hukum tetapi juga keadilan. 
 
12. Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib berkata :
 
”Keadilan juga mempunyai empat aspek, pertama pemahaman yang tajam, kedua pengetahuan yang mendalam, ketiga kemampuan yang prima untuk memutuskan, keempat dan ketabahan yang kukuh. Maka barang siapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan. 
 
Barang siapa yang mendapatkan kedalaman pengetahuan, maka akan keluar darinya keputusan-keputusan hukum yang adil. Dan barang siapa yang berlaku tabah, maka dia tidak akan melakukan perbuatan yang jahat dalam urusannya dan akan menjalani kehidupan yang terpuji diantara manusia.” (Rls/Sa/sl)