Peneliti LIPI : Calon Independen Jangan Jadi Ancaman

JAKARTA (suaralira.com) - Peneliti utama LIPI Siti Zuhro mengatakan adanya calon independen yang mengikuti pilkada bukan bertujuan untuk deparpolisasi dan tidak seharusnya dipandang sebagai bentuk ancaman bagi partai politik. Calon independen mengemuka dalam Pilkada untuk memberikan ruang bagi WNI untuk menjadi kepala daerah.


Siti Zuhro mengungkapkan dalam Pilkada serentak 2015 lalu, dari 561 jumlah daerah, hanya ada 35 calon independen atau sekitar 14 persen yang bertarung dalam Pilkada serentak. “Jadi jangan dianggap sebagai ancaman bagi parpol calon independen di Pilkada serentak. Jumlahnya masih terlalu kecil dibandingkan yang diusung parpol dan tidak semua calon independen itu sukses, “ kata Siti Zuhro dalam dialektika demokrasi ‘Deparpolisasi’ bersama Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman dan Ketua DPP PDIP Andreas Parera di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (10/3).


Siti Zuhro yang karib disapa Kiki itu menambahkan di era demokrasi, memberi ruang untuk kontestasi politik di Pilkada serentak lebih berkualitas. Jadi, kalau mau menyalonkan perseorangan, Ahok sudah populer, mempunyai akses. “Ahok sudah terbukti kinerjanya. Jadi, berlebihan kalau munculnya Ahok itu disebut sebagai deparpolisasi,” kata Siti.


Calon perseorangan atau calon independen tegas Kiki, tidak mengancam deparpolisasi dan munculnya calon independen itu justru untuk menjawab wacana deparpolisasi tersebut. “Dulu Bung Karno pernah membubarkan parpol, dan Soeharto memfusikan parpol hanya PPP dan PDI. Sedangkan Golkar baru tahun 1999 menjadi parpol,” katanya seraya mengatakan dia pun mendukung calon independen Faisal Basri di Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 lalu..


Sedangkan Rambe Kamarulzaman mengatakan deparpolisasi, menjauhkan parpol dari proses politik dan demokrasi. Sebaliknya deparpolisasi justru bertentangan dengan konstitusi. Karena pemilu; pilpres, dan pileg semua dilakukan melalui partai politik. Seluruh caleg, capres dan cawapres diusung oleh parpol atau gabungan parpol. Hanya saja kalau pemilihan kepala daerah ada aturan perseorangan. “Jadi, ke depan parpol harus makin baik dan maju, agar demokrasi juga makin baik, “ katanya.


Ditambahkan politisi Partai Golkar, untuk menjadi calon perseorangan dalam Pilkada itu sudah diatur UU Pilkada.”Parpol itu untuk menampung aspirasi dan kedaulatan rakyat, maka tak bisa melakukan deparpolisasi. Sebab, kedaulatan rakyat itu ada di parpol,” katanya.


Menyinggung masalah ‘mahar’, Rambe mengatakan hal itu sepenuhnya menjadi urusan internal partai dan tidak semua calon harus memberikan ‘mahar’. Namun Rambe menegaskan proses politik di parpol apapun tetap membutuhkan beaya politik . “Jadi, silakan menyalonkan secara perorangan, dan silakan melalui parpol semuanya ada mekanisme dan aturannya sendiri-sendiri, dan tidak saling mendeligitimasi satu sama lain,” katanya.


Sedangkan Andreas mengatakan siapapun calon kepala daerah yang ingin diusung oleh PDI Perjuangan harus mengikuti sistem atau mekanisme penjaringan di partai berlambang banteng mengamuk itu. Namun Andreas melihat ada kecenderungan beberapa calon menganggap parpol menjadi tidak penting dalam menghadapi pertarungan Pilkada serentak.


“Ada gejala parpol tidak penting,yang menjadi gubernur, parpol tidak dipakai, “ katanya.


Ditambahkan Andreas, kalau calon kepala daerah itu tetap “menyingkirkan” parpol dalam menghadapi Pilkada, maka artinya sedang terjadi dekonstruksi atas proses yang sedang dibangun.


“Pasti akan ada resistensi atas upaya dekonstruksi atas system yang sedang dibangun sekarang ini. Ini gejala politik yang akan ditolak PDI Perjuangan. Jadi jangan dibuat imajinasi seolah-olah atau terkesan dizholimi parpol, “ katanya. (bs/sl)