PEKANBARU (suaralira.com) - Jikalahari mendesak Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengevaluasi kinerja Kapolda Riau Brigjen Supriyanto terkait penegakan hukum karhutla atas 18 korporasi tahun 2015.
“Sebab, Polda Riau menerbitkan Surat Penghentian Penyelidiakan/Penyidikan Perkara (SP3) terhadap 11 dari 18 perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan tahun 2015,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Sebelas perusahaan yang dihentikan perkaranya oleh Polda Riau: PT Bumi Daya Laksana, PT Siak Raya Timber, PT Perawang Sukses Perkasa Industri, PT Hutani Sola Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan dan KUD Bina Jaya Langgam (HTI) dan perusahaan sawit: PT Pan United, PT Riau Jaya Utama, PT Alam Lestari, PT Parawira dan PT Langgam Inti Hibrindo (korporasi)
Hasil investigasi Jikalahari sepanjang tahun 2016 menemukan : 11 korporasi dihentikan perkaranya (SP3), 2 perusahaan proses sidik dan 2 perusahaan P21. Pada September 2015, saat polusi asap karhutla pembakar hutan dan lahan salah satunya dari areal perusahaan menimpa empat juta warga Riau, Polda Riau bergerak cepat dan meringkus 18 perusahaan: 11 perusahaan HTI, 7 Perusahaan Sawit.
Dalam perkembangannya, baru PT Langgam Into Hibrindo dan PT Palm Lestari Makmur yang naik ke pengadilan. “Itupun yang jadi terdakwa dan tersangka perorangan bukan korporasinya,” kata Woro Supartinah.
“Penghentian 11 perkara karhutla korporasi sungguh mengecewakan rakyat Riau. Sebab sejak 2013 Polda Riau sukses menangani perkara karhutla PT Adei Plantation and Industry dan PT National Sago Prima, bahkan berhasil membuktikan dua perusahaan itu sengaja membiarkan lahannya terbakar,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari. “Penghentian perkara ini tidak memberi keadilan pada 5 warga Riau yang meninggal akibat polusi karhutla perusahaan dan jutaan warga Riau terpapar polusi asap.”
Penghentian perkara 11 perusahaan itu, menurut Woro Supartinah, Kapolda Riau Brigjen Supriyanto telah melanggar instruksi Presiden Jokowi.
Pertama, Instruksi Presiden (Inpres) No 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015. Dalam Inpres itu disebutkan Polri salah satunya, meningkatkan keterbukaan proses penegakan hukum di Kepolisian Republik Indonesia kepada masyarakat. “Polda Riau tidak melaksanakan aksi keterbukaan proses penegakan hukum kepada masyarakat Riau. Dokumentasi tahapan penanganan perkara kepada masyarakat luas, tidak pernah disampaikan oleh Polda Riau termasuk perkembangan penangan perkara 11 perusahaan terlibat karhutla,” kata Woro Supartinah.
Kedua, Instruksi 18 Januari 2016, saat Presiden Jokowi taja Rapat Koordinasi Nasional Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2016 di Istana Negara. Salah satu isinya penegakan hukum. “Jokowi menginstruksikan lakukan langkah tegas pada pembakar hutan dan lahan, baik administrasi, pidana maupun perdata, bukan menghentikan 11 perkara perusahaan pembakar hutan dan lahan,” kata Woro Supartinah.
Penghentian perkara 11 perusahaan pembakar hutan dan lahan oleh Kapolda Riau Brigjen Supriyanto jelas mengindikasikan lemahnya itikad Kapolda Riau dalam penegakan hukum kasus karhutla yang jelas berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, ini sekaligus menunjukkan minimnya dukungan Kapolda dalam melaksanakan Inpres terkait keterbukaan penanganan hukum yang ditegaskan oleh pemerintahan Jokowi.
“ Saatnya Kapolri Tito Karnavian mengevaluasi kinerja Kapolda Riau Brigjen Supriyanto, jika terbukti tidak melaksanakan Intruksi Presiden Kapolri, dan Kapolri semestinya memberi catatan merah kinerja Kapolda Riau” kata Woro Supartinah.
Jikalahari juga mendesak Jenderal Polisi Tito Karnavian sesuai instruksi Presiden Jokowi saat pelantikan pada 13 Jui 2016 sebagai Kapolri, melakukan reformasi menyeluruh di tubuh Polri, reformasi dari Hulu ke hilir sehingga membentuk karakter personil Polri yang berintegritas dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan memberantas mafia hukum. (rls)