Kalangan Akademisi Sepakat GBHN Kembali Dihidupkan

JAKARTA, SUARALIRA.com - Badan Pengkajian (BP) MPR RI melakukan dengar pendapat dengan kalangan akademisi di berbagai universitas seluruh Indonesia. Dengar pendapat ini untuk mencari masukan terkait sistem ketatanegaraan, utamanya mengenai gagasan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN.
 
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengatakan, hasil penggalian BP MPR ini akan dikaji kembali oleh masing-masing Fraksi dan Golongan. Bulan depan, katanya, mereka akan menyampaikan pandangannya terkait masukan para akademisi tersebut. 
 
"Ini baru satu poin soal GBHN, masih ada 14 poin lainnya terkait penyempurnaan sistem ketatanegaraan. Jadi untuk amandemen UUD NRI 1945 masih jauh," ungkap Zulkifli seusai Rapat Pimpinan MPR RI bersama Pimpinan Fraksi dan Golongan yang membahas pemaparan BP MPR, di Gedung MPR RI, Jakarta, Senin (22/08/2016) kemarin.
 
Sementara Sekjen MPR Ma’ruf Cahyono menegaskan dari hasil penggalian pendapat para pakar itu, pada umum menyetujui  perlunya GBHN sebagai haluan dalam penyelenggaraan negara.  “Ada empat alasan mengapa Indonesia memerlukan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN,“ ujar Sekjen MPR Ma'ruf Cahyono.
 
Pertama, Indonesia memerlukan haluan negara sebagai pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional berkesinambungan. Kedua, Indonesia memerlukan integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Ketiga, Indonesia memerlukan sistem perencanaan pembangunan yang berbasis kedaulatan rakyat. 
 
Keempat, pembangunan nasional tidak hanya memerlukan panduan arah dan strategi baik dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, namun juga guna memastikan bahwa proses pembangunan nasional tersebut merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila.
 
"Mayoritas pakar berpendapat perencanaan pembangunan nasional harus berbasis kedaulatan rakyat. Untuk itu, MPR RI, sebagai lembaga negara yang terdiri dari anggota DPR dan DPD berwenang menetapkan GBHN, dalam bentuk hukum Ketetapan MPR (TAP MPR)," kata Ma'ruf.
 
Dengan bentuk hukum TAP MPR, GBHN bisa menjadi alat kendali untuk mengukur ketepatan perencanaan pembangunan jangka menengah dalam bentuk RPJMN yang disahkan melalui Undang Undang (UU). Selain itu, GBHN juga bisa jadi batu uji dalam konteks pengujian Konstitusional, karena TAP MPR merupakan aturan dasar bernegara sama seperti UUD.
 
Meskipun  demikian  kata Ma'ruf, sebagian pakar juga berpendapat, ada dua bentuk hukum lainnya yang pas bagi sistem perencanaan pembangunan model GBHN ini. Pertama, memasukkan materi GBHN dalam rumusan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945. Kedua, materi GBHN diatur melalui UU.
 
Dengan menempatkan materi GBHN dalam UUD NRI Tahun 1945, status hukumnya akan sangat kuat, dan kedudukan GBHN pun menjadi supreme. Adapun materi GBHN diatur melalui UU, beralasan eksekutif perlu dilibatkan dalam perumusan GBHN. Dengan melalui UU, maka Presiden bisa ikut membahas bersama DPR dan DPD.
 
"Meski mayoritas pakar setuju adanya GBHN, sebagian pakar menolaknya. Ada empat alasan mereka menolak gagasan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN," katanya.
 
Pertama, memunculkan kembali GBHN merupakan pengingkaran terhadap sistem presidensil. Kedua, perencanaan pembangunan nasional sudah cukup diatur dalam UU 25/2004, yang kemudian dijabarkan dalam UU 17/2007. 
 
Ketiga, kesinambungan pembangunan bukan disebabkan ada atau tidaknya GBHN, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku penyelenggara negara. Keempat, pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku, dan peraturan perundangan lainnya sudah merupakan haluan negara bagi seluruh penyelenggaraan negara. (bbg/sl)