MAKKAH – Pemaknaan haji mabrur mencakup hal-hal spiritual. Selain keberhasilan dalam penyelenggaraan ibadah haji yang terlihat dan dirasakan secara kasatmata, seluruh jamaah haji diharapkan meraih haji mabrur.
"Kemabruran haji dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu hablum minallah dan hablum minannas. Dalam konteks hablum minallah, kemabruran haji tercermin dari meningkatnya keimanan, ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Sedang dalam konteks hablum minannas, kemabruran haji tercermin dari semakin meningkatnya keshalehan sosial," terang amirul hajj Indonesia Lukman Hakim Syaifuddin dalam khotbah wukuf, Minggu (11/09/2016).
Kemabruran haji, katanya, sangat tergantung dari perilaku individu dalam mengamalkan dan menebar kebenaran, kebaikan, dan kedamaian dalam kehidupan sosial. Karena itu, sekembali dari Tanah Suci, Lukman mengingatkan agar jangan berbangga telah menyandang gelar haji mabrur atau ibadah kita telah tuntas.
"Sebaliknya, kita harus sadar untuk mengamalkan nilai dan makna ibadah haji yang telah ditunaikan," imbuh Lukman yang juga Menteri Agama RI ini.
Ia mengutip pernyataan Prof Dr Syaikh Mahmoud Syaltout dalam bukunya Al Islam, Aqidah wa Syari’ah terkait pesan moral ibadah haji,
“Dengan meninggalkan sanak keluarga, harta benda dan tanah airnya, jemaah haji rela menahan segala macam kesukaran dalam perjalanan demi berbakti kepada Allah. Dia melakukan yang demikian bukan maksud mencari keuntungan materi untuk memuaskan hawa nafsu, tetapi semata-mata karena hendak bersimpuh sebagai hamba di hadapan Ilahi, bertaubat atas segala kesalahan dan kealpaannya di hadapan Kakbah."
Karena itu, lanjutnya, apabila sudah selesai tugas haji maka hatinya tenteram. Dengan itu, dia kembali ke Tanah Air membawa suasana hati yang thuma’ninah, semangat yang kuat, dengan tekad yang bulat untuk memperbaiki dirinya dan umatnya.
Tanda-tanda pribadi mabrur terlihat dari sikap cinta dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama, saling menghargai, dan saling toleransi terhadap perbedaan.
"Ini sejalan dengan pesan Rasulullah dalam khutbah wada’ 14 abad silam, yang perlu kita kedepankan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia," jelas Lukman.
Kondisi lingkungan masyarakat majemuk, baik dari segi etnis, suku, bahasa dan budaya, maupun paham keagamaan pun menuntut nikai-nilai kemabruran diterapkan. Mulai dari sesama manusia dengan menumbuhkan solidaritas kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), terhadap sesama muslim perlu mengembangkan persaudaraan keislaman (ukhuwah Islamiyah), dan terhadap sesama bangsa merajut persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah).
Lukman berharap, pengejawantahan dari ketiga nilai ini merupakan bentuk kemabruran sosial yang perlu dipelopori oleh para hujjaj di Tanah Air nanti.
"Dengan spirit persaudaraan kita merajut kebersamaan yang akan membawa kita mampu mengembangkan kerjasama dalam membangun kehidupan bersama yang maju dan berkeadaban," kata Menag. (okz/sl)