JAKARTA (suaralira.com) - Pemerintah diminta menghentikan fasilitas keistimewaan luar biasa yang diperoleh Freeport terkait pengelolaan tambang di Papua sejak 1967.
"Ini saatnya kita sebagai bangsa memikirkan rakyat kita sendiri, memikirkan setiap jengkal tanah republik untuk lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara. Hari ini, Kontrak Karya adalah sejarah masa lalu yang hanya pantas dikenang tanpa perlu dilanjutkan," ujar Anggota DPR Komisi VII Fraksi PDI Perjuangan Adian Napitupulu dalam keterangannya, Senin (20/2/2017).
Dia menilai keberanian dan konsistensi pemerintah untuk tegas menegakkan amanat undang undang (UU) akan menunjukan siapa sesungguhnya yang menjadi tuan atas seluruh sumber daya alam.
Ketegasan pemerintah antara lain bertahan dengan aturan divestasi saham 51 persen, perubahan KK menjadi IUPK, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dalam proses produksi, membangun Smelter, PPH Badan, PPN, dan bernegosiasi dengan investor dalam batas wajar yang saling menguntungkan.
"Siapa yang sesungguhnya berdaulat di bawah tanah, di atas tanah bahkan udara Indonesia," tegas dia.
Dia menegaskan jika Indonesia tidak menolak investor asing dan tidak anti pada investor asing. Negara manapun boleh menanamkan investasinya, seperti China, Jepang, Belanda dengan syarat memenuhi aturan di negara ini.
"Yang Indonesia harapkan adalah hal yang sama yang di harapkan oleh semua bangsa, semua manusia di berbagai belahan dunia, yaitu berbagi dengan adil. Tidak lebih," dia menambahkan.
Menurut dia, jika Freeport tidak mau bersikap adil setelah 48 tahun mendapatkan keistimewaan yang menguntungkan maka tidaklah salah jika sekarang pemerintah bersikap tegas.
Adian melihat, pilihan Freeport saat ini hanya dua. Pertama, patuh dan menghormati UU Minerba 04/2009 yang dibuat bersama pemerintah dan DPR, menghormati dan patuh pada segala peraturan lainnya di bawah UU seperti PP 01 tahun 2017 yang dibuat Presiden Republik Indonesia.
"Jika Freeport keberatan, ya silahkan pilih pilihan yang kedua yaitu segeralah berkemas dan cari tambang emas di negara lain," ujar dia.
Dia mengakui, jika 48 tahun lalu Indonesia belum memiliki sumber daya manusia yang mampu mengelola tambang emas besar dengan teknologi yang rumit. Namun kondisi berbeda terjadi saat ini. Indonesia memiliki puluhan ribu orang pintar, sejumlah BUMN tambang, serta puluhan pengusaha tambang yang memahami teknologi, berkemampuan dan memiliki aset finansial kuat.
"Kalaupun Indonesia harus takut maka Indonesia hanya takut jika rakyat tidak menjadi sejahtera, kalaupun Indonesia harus takut maka Indonesia hanya akan takut jika mewarisi lingkungan yang rusak pada anak cucu. Indonesia hanya takut ketika Indonesia tidak menjadi negara yang berdaulat atas seluruh sumber daya alamnya," dia menandaskan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan sebelumnya mengatakan, pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (pasal 169 dan pasal 170).
Dia mengatakan, PTFI tetap sepakat dengan adanya ketentuan divestasi 51 persen yang tercantum dalam perjanjian KK yang pertama antara pemerintah dengan PTFI, yang juga tercantum dalam PP No 1/2017.
Meski menurut Jonan ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah.
"Divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya," tambahnya.
Jonan juga menanggapi rencana PTFI yang akan membawa persoalan ini ke arbitrase, Jonan menyebut itu adalah hak siapapun, meski pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
"Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah," tambah Jonan.