JAKARTA (suaralira.com) - Sebenarnya bukan lagi masanya saya, membuat opini ke publik seolah sedang cari perhatian. Buat saya masa-masa itu sudah lewat. Sekarang saatnya yang muda yang tampil, membawa ide dan gagasan baru bagi kehidupan demokrasi kita, tanpa kehilangan jatidiri kebangsaan.
Mengapa saya ungkap opini ini? Hal itu karena rasa tanggung jawab saya sebagai mantan aktifis dan praktisi politik nasional terhadap kualitas kehidupan berdemokrasi kita, kualitas kita dalam berdialektika. Saya melihat gejala-gejala yang tidak sehat dan membahayakan.
Saat ini demokrasi kita diarahkan menuju pada demokrasi liberal, yaitu kehidupan berdemokrasi yang lebih mengarus utamakan peran civil society seperti LSM dan menihilkan peran lembaga suprastruktur demokrasi yang dijamin oleh UUD yaitu DPR.
Saya ambil contoh, dari yang saya alami saat ini di Pansus Hak Angket KPK.
DPR membentuk Pansus Hak Angket KPK untuk menjalankan tugas konstitusional, yaitu penyelidikan terhadap kinerja KPK. Tetapi pada perjalanannya Pansus justeru diserang dengan pernyataan-pernyataan di media massa yang dibuat oleh KPK, sejumlah akademisi, kelompok dan LSM yang sudah berafiliasi dan bekerja sama dengan KPK selama ini.
KPK dan pendukungnya tersebut menyatakan bahwa Pansus tidak sah, tidak sesuai UU MD3, KPK bukan objek angket karena KPK koasi yudikatif, Pansus berniat mengadu KPK dengan Polri, Kejaksaan dan Presiden. Lalu saya sebagai saksi dalam kasus e-KTP dituding mangkir dari panggilan KPK dan berlindung dibalik Pansus.
Tetapi fakta menunjukan, Pansus dimuat dalam berita negara dan saya sebagai saksi bersikap patuh, taat dan menjalani pro yustisia di KPK. Pada hari Selasa tanggal 11 Juli 2017 lalu, saya datang ke KPK dan diperiksa penyidik KPK. Kooperatif.
Sadar atau tidak, KPK dan para pendukungnya sedang 'membajak' hak-hak Pansus, karena telah mengalihkan dan memindahkan permasalahan yang menjadi domain Pansus menjadi diluar dari mekanisme formil sebagaimana konstitusi dan UU mengaturnya. Bermain di tataran opini, KPK dan para pendukungnya jadi lebih mirip politisi.
Lebih menarik lagi, KPK menerapkan standar ganda dalam bersikap. Di satu sisi mengatakan independen tapi di sisi lain meminta Presiden untuk intervensi. Di satu sisi mengatakan KPK koasi yudikatif (agar tidak termasuk objek hak angket) tapi di sisi lain berlindung dibawah eksekutif ?
Para pendukung KPK menyatakan narasumber Pansus tidak objektif, karena YIM dan RAS pernah menjadi ahli untuk tersangka KPK, tapi bagaimana Pansus punya kesempatan objektif dihadapan KPK, jika KPK bersikap menolak keberadaan Pansus dengan bersandar pada pendapat pakar dan sejumlah dukungan tolak Pansus. Padahal, sebagai penyelenggara negara mestinya KPK lebih terikat pada hukum negara, bukan pada pendapat pakar yang subjektif.
Dampak dari pola perilaku KPK dan para pendukungnya yang melakukan gerakan delegitimasi terhadap Pansus, telah memancing reaksi publik. Sekarang publik terbelah, ada kelompok yang pro KPK dan ada kelompok yang pro Pansus. Suasana gaduh, media massa ramai, publik di giring ke sana-kesini tidak produktif. Legitimasi dinilai dari besarnya riuh dukung-mendukung atau mobilisasi massa. Demokrasi kita turun kelas.
Padahal harapan Pansus dan juga rakyat Indonesia sangatlah sederhana, KPK datang dan mari bicara. Terapkan kehidupan bernegara yang demokratis konstitusional yaitu sikap subjek-subjek negara yang patuh, taat & melaksanakan hukum-hukum negara. Tidak hanya melaksanakan hak-haknya, tapi juga melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Pansus tidak akan pernah mengkhianati cita-cita reformasi. KPK sebagai komitmen politik pemberantasan korupsi, akan tetap ada dan semakin kuat.
Semoga,
Penulis : Agun Gunandjar Sudarsa