Dewan Pers Minta PN Pekanbaru, Masalah Harian Berantas dan Bupati Bengkalis Diselesaikan Melalui UU Nomor 40 Tahun 1999

RIAU- Kebenaran dugaan peristiwa pelanggaran Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dituduhkan Bupati Bengkalis Amril Mukminin terhadap Pemimpin Redaksi Harian Berantas, Toro Laia, akhirnya terungkap dalam sidang ke 16 yang digelar Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (29/10/2018).
 
Ahli Pers, Herutjahjo Soewardojo, yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum atau JPU dihadapan majelis hakim dalam sidang menegaskan, masalah berita yang dimuat media harianberantas.co.id terhadap Bupati, Amril Mukminin merupakan perkara kode etik jurnalistik, dan sudah selesai atau final sebagaimana penilaian dan rekomendasi (PPR) yang dikeluarkan Dewan Pers sebelumnya.
 
Kepada majelis hakim, Dewan Pers berharap masalah berita media harianberantas.co.id yang sudah sempat dibawa ke Pengadilan saat ini, penyelesaiannya dikembalikan ke undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
 
Karena masalah yang terjadi adalah etika jurnalistik yang penyelesaiannya  melalui hak jawab dan permintaan maaf. 
 
Dalam pernyataan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (29/10/2018) sore, Dewan Pers menjelaskan masalah antara Bupati Amril Mukminin dan Toro Laia dari media harianberantas.co.id, telah diklarifikasi dan di mediasi Dewan Pers pada tahun 2017 yang masing-masing dihadiri kedua belah pihak, yaitu, Bupati Amril Mukminin yang diwakili oleh beberapa kuasa hukumnya, dan Pemred Harian Berantas, Toro bersama beberapa rekannya saat itu, akui Herutjahjo Soewardojo.
 
Lebih jelas Herutjahjo Soewardojo dihadapan majelis hakim mengungkapkan, “Pada saat masalah antara Bupati Amril dan harianberantas.co.id ini diklarifikasi di Dewan Pers bulan Agustus 2017, sembilan anggota Dewan Pers lainnya termasuk Saya (Herutjahjo Soewardojo) yang terdiri dari tiga orang tokoh masyarakat Pers, tiga orang pengurus organisasi wartawan, dan tiga orang pemilik perusahaan media, telah membawa masalah ini pada rapat sidang pleno, yang akhirnya keluarlah PPR Dewan Pers yang merupakan final dalam penyelesaian pelanggaran kode etik jurnalistik”, ungkap Heru.
 
Namun mengingat masalah ini merupakan perkara jurnalistik yang penyelesaiannya dilakukan di Dewan Pers dan mekanismenya hak jawab dan permintaan maaf, maka masalahnya sudah final sebagaimana ketentuan rekomendasi yang termuat dalam Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers, Nomor: 25/PPR-DP/IX/2017 tanggal 18 September 2017. tegasnya.
 
Dihadapan majelis hakim dalam sidang di PN Pekanbaru Provinsi Riau, Herutjahjo Soewardojo membacakan beberapa poin yang termuat dalam surat edaran (SE) Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 13 tahun 2008 tentang meminta keterangan saksi ahli yang berbunyi;
 
Sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan yang berhubungan dengan delik Pers, maka untuk memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan undang-undang Pers, maka Hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli dibidang Pers.
 
Oleh karena itu dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik Pers hendaknya Majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk Pers tersebut secara teori dan praktek. 
 
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. “Maka berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung RI yang Saya bacakan ini, Saya ahli Pers dari Dewan Pers, berharap kepada Ketua Majelis dan Anggota Hakim yang Mulia, agar masalah ini penyelesaiannya dikembalikan ke undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. tegas Herutjahjo Soewardojo berharap.*** (Red)