Full Day School Bisa Memusnahkan Adat Istiadat di Daerah

JAKARTA (suaralira.com) - Wacana yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi mengenai full day school membuat resah orangtua dan siswa sendiri.

Walaupun masih sebatas wacana, para pelaku di bidang pendidikan menyatakan bila kebijakan tersebut benar-benar disahkan secara nasional akan memberi beberapa efek negatif.

Karina Adistiana, penggiat dunia pendidikan dalam konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (18/8/2016) menceritakan bahwa di daerah, siswa memiliki kegiatan bernuansa adat istiadat di sore hari bersama masyarakat.

"Di daerah yang adat istiadat masih kental biasanya anak-anak bersosialisasi dengan masyarakat di tempatnya tinggal. Kalau kebijakan full day school di mana siswa harus belajar sampai jam 5 sore maka mereka akan lupa dan bahkan tidak mengerti adat istiadat daerahnya," ujarnya.

Selain itu baginya, full day school juga mematikan masyarakat sebagai pilar pendidikan bagi anak.

"Menurut Ki Hadjar Dewantara, ada tiga pilar pendidikan bagi anak yaitu sekolah, masyarakat, dan orang tua. Jadi jangan menjauhkan anak-anak dari lingkungan tempatnya tinggal," katanya.

Sementara itu Fidella Anandhita, sukarelawan pengajar di daerah pelosok bercerita bahwa mengiyakan pernyataan Karina.

Menurut pengalamannya, waktu sore hari biasa digunakan anak-anak di desa untuk melakukan permainan tradisional seperti layangan dan lain sebagainya.

"Bahkan menurut pengalaman saya banyak daerah di Indonesia yang mengharuskan mereka pulang berjalan kaki dengan menempuh jarak 4 jam. Kalau full day school diterapkan secara merata di seluruh Indonesia pemerintah berarti menyiksa anak-anak, bukan memberi pelajaran karakter," ujarnya.

Sebelumnya Muhadjir Effendi mengatakan bahwa full day school perlu diterapkan agar anak-anak tidak menjadi liar karena ditinggal orang tuanya bekerja.

"Kalau di sekolah mereka bisa ada kegiatan sehari penuh jadi peluang mereka untuk jadi nakal bisa ditekan," ujar Muhadjir.