JAKARTA, suaralira.com - UU Cipta Kerja yang baru saja di sahkan menimbulkan beragam polemik. Maraknya penolakan dari berbagai kalangan menandakan UU ini tidak berpihak pada rakyat.
Pekerja menjadi mayoritas penolak UU ini, namun mereka tidak sendiri karena banyak didukung Akademisi, Tokoh Agama, Aktivis Bahkan Politisi. "Prihatin dan ini adalah bentuk kemunduran demokrasi, terlihat dari bagaimana mayoritas DPR tidak menimbang suara orang - orang yang diwakilinya, papar Presiden Lumbung Informasi Rakyat ((LIRA) Olivia Elvira dalam realis kepada suaralira.com, Selasa (06/10).
Dikatakannya, dari sembilan Fraksi, hanya dua Fraksi yang menolak yakni Demokrat dan PKS. Tidak habis pikir bagaimana bisa undang-undang yang memuat banyak pasal penting dibuat dengan kecepatan tinggi di tengah pandemi dan disahkan dalam tiga hari lebih awal.
"Seakan kita dihadapkan dengan urgensi besar dalam UU ini, padahal tidak sepenting itu. Perut rakyat lebih penting dan Undang-Undang ini malah membuat rakyat kita para pekerja kehilangan banyak hak-haknya, yang bermuara pada poteni turunnya kesejahteraan hidup mereka," tukas Olivia yang akrab disapa Olies Datau.
Olies mengkritisi, "penghapusan UMK, akan membuat penggeneralisasian upah satu provinsi dengan UMP. Pada hal satu daerah dengan daerah lainya berbeda kebutuhan biaya hidup.
Selanjutnya poin di Pasal 61 berisi durasi kontrak pekerja tergantung dari pengusaha, hal ini bisa membuat pengusaha sesuka hati berpotensi membuat karyawan bekerja kontrak selamanya dan dipecat kapanpun, geram Olies.
Menguatkan pandangan diatas, Wakil Presiden LIRA Bidang Polhukam, Andi Syafrani menegaskan, "aspek psikologis yang muncul dari UU ini tdk sekadar materinya. Tapi momennya yang diproses dalam kondisi pembatasan pandemi. Demi UU ini, anggota DPR rela lembur saat banyak orang dilarang atau dibatasi kerja."
Andi Syafrani yang berprofesi sebagai Advokat ini mempertanyakan, "Ini paradoks yang dipertontonkan. Ini aspek moral yg menyakitkan. Kalau benar UU ini akan jadi obat masalah ekonomi karena pandemi, apakah UU ini juga jadi obat pandemi itu sendiri? Kalau tidak, terus apa relevansinya dikebut jika pandemi ini sendiri belum bisa teratasi?," ujarnya mengkritisi.
Andi menyampaikan Dengan banyaknya materi pasal ini, sangat mungkin ditemukan ketidaksinkronan dengan materi dari UU lain atau UU ini sendiri.
Lebih lanjut ia mengingatkan, "Jangan sampai reaksi kelompok masyarakat terhadap UU ini justru jadi masalah baru terkait pandemi jika diekspresikan dengan demo atau aksi massa. Manfaat UU belum terasa, tapi efek reaksi negatifnya justru tambah persoalan negara," pungkasnya.
Sementara itu Sekjend DPP LIRA, Budi Siswanto menekankan banyaknya atas cacatnya dalam UU ini. "Pasal 79 ayat 2 menyatakan durasi kerja enam hari dengan libur satu hari seminggu, sangat ambigu dan bisa dimanfaatkan pengusaha nakal memeras tenaga pekerja.
Selanjutnya ayat 5 menghapuskan cuti panjang, dimana cuti tidak diatur dalam peraturan jelas tapi perjanjian. Posisi karyawan lemah dan bisa dimanfaatkan pemilik modal, sanggahnya.
"Kemudian UU ini membuat tenaga kerja asing dipermudah bekerja di Indonesia. Pemerintah harusnya melindungi pekerja kita, agar pos nafkah untuk warga negara tidak di habisi oleh serbuan tenaga kerja asing, tandasnya.
Pria yang juga Ketua Umum Forum Bersama Jakarta menyatakan UU ini membuat rakyat kita terjerat. Outsourcing seumur hidup dan banyak lagi kejanggalan didalamnya.
Terakhir dalam pernyataan sikapnya DPP LIRA menegaskan minta pemerintah untuk merevisi kembali UU tersebut. Dan menghapuskan pasal - pasal tidak pro rakyat yang ada didalamnya. Serta menuntut hak-hak pekerja yang terhapuskan dalam UU tersebut dikembalikan.
"Pemerintah harus mendengarkan, mengkaji dan merealisasikan perubahan," tutup Budi. (realist/ sl)