Kesalahan Administasi Picu Kasus Kewarganegaraan

Belum Perlu Revisi UU Kewarganegaraan

JAKARTA, SUARALIRA.com - Sejumlah kasus yang bersinggungan dengan masalah kewarganegaraan akhir-akhir ini dinilai karena kesalahan pengelolaan dari sistem adminsitrasi kependudukan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Serta aparatur kependudukan yang kerap lalai dan ceroboh. 
 
Oleh karena itu, rencana revisi UU  No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang diwacanakan pemerintan tidak tepat karena sebenarnya tidak ada kaitannya dengan masalah perundangan yang ada, kata  Anggota Komisi III DPR Muhammad Syafi’i diskusi Forum Legislasi bertema ‘Revisi UU Kewarganegaraan’ di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (23/08/2016).
 
"Kenapa berpikirnya harus dengan revisi UU Kewarganageraan, tidak pernah berpikir bagaimana memperbaiki sistem administrasi kependudukan, tidak pernah berpikir membina dan membenahi kinerja aparatur kependudukan."
 
Soal rencana pemberian dwi kewarganegaraan, Syafi'i menolak jika pemberiannya tanpa ada batasan. Sebab, menurutnya konsep ini bisa disalahgunakan pihak tertentu untuk mencari keuntungan, Misalnya, warga negara asing yang karena motif ekonomi lalu diberikan dwi kewarganegaraan. 
 
"Sebenarnya Undang-Undang Kewarganegaraan sudah memadai, tidak perlu lagi direvisi." Dan dinilai juga munculnya persoalan berkaitan dengan kewarganegaraan ini adalah karena menurunnya rasa nasionalisme. 
 
Kasus terakhir, menyangkut kasus rombongan jamaah haji yang rela menggadaikan identitas dirinya sebagai warga negara Indonesia dengan memalsukan dokumen perjalanan haji menggunakan kuota haji negara Fhilipina agar bisa cepat melaksakan ibadah haji, kata Syafi'i .
 
"Jadi yang penting dalam persoalan ini adalah bagaimana menumbuhkan rasa semangat nasionalisme kepada semua pihak," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini dari dapil Sumatera Utara I ini.
 
Menurut Syafi'i dalam bernegara, menurutnya untuk mencapai tujuan negera maka yang paling dibutuhkan adalah rasa nasionalisme. Sebab, WNI yang sudah menyatakan menjadi warga negara asing maka sudah tidak bisa dijamin lagi memiliki semangat membangun negaranya, begitu juga dengan warga asing yang menjadi WNI, tidak ada jaminan akan membangun Indonesia meski sudah menjadi WNI. 
 
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira mengatakan kalaupun ada revisi UU Kewarganegaraan, Indoensia harus tetap menganut sistem satu kewarganegaraan, bukan dwi kewarganegaraan. 
 
"Meski hukum harus mengikuti perkembangan dunia karena dunia sudah berubah, dengan memberikan hak-hak sosial, ekonomi, dan hak asasi manusia. Kecuali hak politik,” kata Andreas.
 
Dia mendukung penadapat bahwa kasus-kasus kewarganegaraan yang ada akhir-akhir tidak bisa dijadikan alasan dan pertimbangan pemerintah mauoun DPR merevisi UU. 
 
"Kalau Presiden menyebut ada 74 profesor ahli di bidangnya mau ditarik ke Indonesia tetapi terhalang hukum di Idonesia. Gunakan saja UU yang ada. Jangan case yang ada lalu  latah mau revisi," katanya. 
 
Menurut Andreas, diaspora dari Indonesia yang tersebar di sejumlah negara tidak harus menduduki jabatan pubik apabila ingin mengimplematasikan keahliannya. "Karena intinya, mereka datang bukan karena undang-Undang tetapi agar bisa mengaktualisasikan diri dari ilmu yang mereka miliki, atau modal yang mereka punya," katanya.
 
Sementara itu, Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan terkejut dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Ade Komarudin, yang ingin dan mendukung revisi Uu Kewarganegaraan hanya karena kasus terhalangnya 74 professor dari luar negeri oleh peraturan perundangan sehingga harus merevisi UU Kewarganegaraan. 
 
“Padahal, tidak ada kaitan masalah Archandra Tahar dan Gloria Natapradja dengan UU Kewarganegaraan. Bahwa kedudukan menteri, pejabat publik itu sebagai personifikasi negara, dan UU memerintahkan mereka harus WNI," katanya.
 
Kalaupun para profesor dan ahli di bidangnya itu mau ditarik ke Indonesia, tidak perlu merevisi UU karena pemerintah bisa menggunakan Pasal 20 UU Kewarganegaraan, yaitu menggunakan jalur khusus meminta persetujuan DPR, karena alasan berjasa, dan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.
 
Sedangkan mengenai pemberian dwi kewarganegaraan untuk mengakomodir anak-anak lahir karena adanya perkawainan campur (orang tua WNA dan WNI), menurut Hikmahanto, tidak perlu juga dilakukan revisi, karena Pasal 31 UU Kewarganegaraan juga telah mengatur yaitu proses pemberian kewarganegaraan maupun naturalisasi bisa dilakukan apabila yang bersnagkutan telah tinggal di Indonesia 5 tahun berturut-turut atau selama 10 tahun tidak berturut-turut. 
 
“UU kita ini sudah maju dengan mengakomodir hasil perkawinan campur sampai dengan usia 18 tahun. Anak dari hasil perkawinan campur dapat diberi pilihan akan memilih warganegara Indonesia, atau warga negara orang tuanya,” kata Hikmahanto. (bbg/sl)