JAKARTA, SUARALIRA.com - Dalam peringatan Hari Kerja Layak Sedunia pada 7 Oktober lalu, kaum buruh masih mengeluhkan kondisi serba sulit yang dialaminya.
Selain tidak mendapatkan upah layak, buruh juga rentan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara janji pemerintah untuk mensejahterakan buruh belum terbukti.
Ketua umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Rudi HB Daman, mengatakan walaupun dunia sudah memperingati Hari Kerja Layak tetapi kondisi kerja di Indonesia masih saja memprihatinkan. Pada 2015, GSBI melakukan penelitian mengenai kondisi kerja buruh perempuan di sebelas pabrik garmen yang mengerjakan brand-brand dunia.
"Ditemukan bahwa pelanggaran atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat marak. Seperti tidak ada cuti melahirkan, cuti keguguran. Pelanggaran atas upah dan jam kerja juga masih tinggi," ujarnya.
Selain temuan diatas, juga terjadi kasus pemberangusan serikat dengan tindakan penghalang-halangan kegiatan organisasi yang berujung PHK, kriminalisasi terhadap buruh, tidak menjalankan ketentuan upah sektoral, dan penurunan upah sektoral. "Bahkan masih terjadi pelanggaran atas jam kerja seperti briefing diluar jam kerja," katanya.
PHK juga terus menerus dilakukan dengan dalih efisiensi terhadap pekerja kontrak. Membawa kasus-kasus tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) seakan-akan menjadi jawaban dari persoalan PHK kepada buruh.
"Padahal kita tahu betul, UU no 02/2004 mengenai PHI tidak memberikan perlindungan kepada buruh, waktu yang panjang, biaya yang besar untuk proses sidang dan tidak adanya kejelasan berapa lama waktu untuk penyelesaian kasus serta multi tafsir dari pengertian upah proses merupakan kendala bagi buruh untuk membawa kasus PHI," ungkap Rudi.
Sementara Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) selalu beralasan kekurangan tenaga pengawas untuk menangani kasus-kasus tersebut. "Seharusnya dinas mempunyai kapasitas lebih dari sekedar memberikan alasan," imbuhnya.
Ketegasan atas pelaksanaan aturan yang ada adalah merupakan kunci terciptanya hubungan industrial yang berimbang antara buruh dan pengusaha.
Analis politik dan HAM dari Labour Institute, Andi William Sinaga, menyebutkan pemerintah belum sepenuh hati merealisasikan Tri Layak Pekerja bagi rakyatnya, yaitu kerja layak, upah layak, dan hidup layak. Padahal tri layak bagi pekerja merupakan hal yang dikampanyekan Presiden Jokowi saat Pilpres 2014 lalu.
"Asas kerja layak, upah layak dan hidup layak tercipta seiring dengan penguatan industri nasional seharusnya diadopsi menjadi garis kebijakan politik ketenagakerjaan negara baik politik legislasi, anggaran maupun pengawasan," katanya.
Dia melihat, sudah hampir dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi, para pekerja di Indonesia masih belum mendapatkan dukungan atas kerja layak. Pelanggaran terhadap Undang-Undang 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh dalam bentuk memutus hubungan kerja dan mendemosi pemimpin serikat pekerja masih sering terjadi. Padahal, pemerintah telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 87 tentang hak untuk berorganisasi.
Upah layak juga belum sepenuhnya dapat dinikmati kaum buruh, di mana praktik upah murah masih ditemukan. Sementara untuk hidup layak yakni pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pekerja dan keluarganya minimum 3000 kalori per hari masih memprihatinkan.
Andi menyarankan, agar konsep tri layak pekerja berjalan dengan baik, Presiden Jokowi dapat memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan untuk lebih intens dalam mengimplementasikannya ke dalam konsep dan program. (rm/sl)