JAKARTA, SUARALIRA.com - Jika Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan disahkan, untuk pertama kali Indonesia akan memiliki regulasi mengenai tata kelola perbukuan mulai dari penulis, penerbit, percetakan, distribusi, pembiayaan, perlindungan hingga penghargaan yang berkaitan dengan perbukuan. RUU ini menekankan hak dan kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk diberi tanggungjawab menjamin perlindungan dan pemenuhan hak warga negara di bidang perbukuan.
Pentingnya RUU ini agar pemerintah hadir dengan terutama pembiayaan bagi buku-buku penting. Seperti hasil riset ilmiah dan sebagainya,” kata kata anggota Komisi X DPR Noor Ahmad dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk ‘RUU Sitem Perbukuan’ di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/09/2016) .
Dia berharap RUU yang sudah dibahas hampir sepuluh tahun lalu lamanya ini bisa selesai dan disahkan tahun ini. “DIM (daftar inventarisasi masalah) -nya 565 DIM diharapkan tahun 2016 ini selesai. Disebut sistem perbukuan karena RUU ini terkait tata kelola perbukuan secara komprehensif. Termasuk jenis buku dari masalah tentang buku, jenis buku, penulis, penerbit, percetakan, distribusi, penghargaan dan sebagainya semua dibahas,” imbuhnya.
Lebih jauh, RUU juga menginginkan dibentuknya Dewan Buku Nasional (DBN) agar setiap buku yang terbit dan masuk ke Indonesia dari luar negeri baik dalam bentuk tulisan, gambar, audio, video, atau gabungan mendapat pengawasan dengan baik. "Jangan sampai buku anak-anak dimasuki buku orang dewasa. “Pentingnya RUU ini agar pemerintah hadir dengan memberikan biaya bagi buku-buku penting. Seperti hasil riset ilmiah dan sebagainya,” ujarnya.
Untuk mengembangkan lokal wisdom (kearifan lokal), Noor Ahmad mengatakan DPR juga mendorong agar pembahasan RUU ini dapat menyesuaikan potensi masing-masing daerah. Untuk itu, sistem zonasi akan diberlakukan.
Misalnya untuk daerah Kalimantan dan NTT, yang kaya akan tambang, maka tata kelola pertambangan yang harus dikembangkan dengan melakukan riset dan sebagainya. Sedangkan bagian Indonesia yang lain yang memiliki potensi di bidang industri, dan lain-lain juga akan dilakukan hal sama. “Langkah ini juga untuk melahirkan penulis-penulis daerah,” tegasnya.
Selain itu hak dan kewajiban aktor-aktor yang terkait dalam sistem perbukuan juga akan diatur antara lain hak intelektual, hak ilmiah yang melekat pada penulis, dan bukan pada penerbit atau orang lain. Sebab, katanya kalau tidak diatur jelas maka penerbit atau orang lain itu akan dengan mudah melakukan pelanggaran pidana seperti plagiat besar-besaran.
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Pusat, Kartini Nurdin yang juga Direktur Pustaka Penerbit Yayasan Obor Indonesia, mengakui RUU ini akan mengatur antara relasi antara penulis dengan penerbit, misalnya pengaturan tentang isi buku yang tidak pada tempatnya dan menjadi tanggung jawab penerbit.
Selain itu, juga RUU didorong untuk bekerjasama meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang perbukuan. Sebab, dari jumlah penerbit yang mencapai 1300-an, tidak semuanya aktif karena perbukuan mengalami kelesuan, sehingga penerbit juga mengalami kelesuan yang sama.
Harapan penerbit, RUU bisa hadir berkualitas. Semua unsur terkait buku bida didorong untuk memajukan perbukaan di Indonesia terutama kehadiran DBN sebagai lembaga independen.
(bbg/sl)