BELAKANGAN ini sejumlah perbankan dan lembaga keuangan lain berlomba menyalurkan pinjaman produktif kepada pengusaha mikro. Bank Indonesia (BI) menilai positif langkah tersebut sebagai perwujudan inklusi keuangan atau financial inclusion yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan perekonomian nasional.
Para pelaku bisnis perbankan dan lembaga keuangan telah belajar banyak dari krisis finansial 1998 yang telah meluluhlantakkan konglomerasi yang ada di negeri ini. Kelompok usaha mikro yang selama ini jarang dilirik oleh perbankan dan lembaga keuangan sebelum krisis finansial malah tumbuh menjadi basis perekonomian rakyat yang kuat.
Sebelum krisis ekonomi 1998, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengakui perbankan lebih fokus pada pemberian pinjaman dalam jumlah besar kepada korporasi. Akibat itu, saat terjadi krisis ekonomi timbul bencana besar di industri perbankan dengan kredit macet yang sangat besar.
Belajar dari pola penyaluran kredit sebelum krisis ekonomi 1998 yang membahayakan tersebut, kalangan perbankan semakin berhati-hati. Pelaku usaha mikro yang selama ini diabaikan kini menjadi perhatian untuk dikucuri kredit. Memang, persoalan di balik penyaluran kredit ke usaha mikro masih banyak yang harus diselesaikan. "Sebelum 1998 sulit sekali mencari lembaga keuangan yang bersedia memberi pinjaman mikro," ungkap Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara awal pekan ini.
Keberpihakan perbankan dan lembaga keuangan terhadap usaha mikro untuk dikucuri kredit memang patut diapresiasi. Selama ini persoalan terbesar yang selalu melilit usaha mikro adalah keterbatasan permodalan. Hanya, pemberian kredit usaha mikro tetap harus dalam kerangka penuh kehati-hatian untuk menjaga peningkatan angka kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Harus diakui dalam dua tahun terakhir ini perekonomian yang masih dalam kondisi lesu sangat berpotensi mendongkrak kredit bermasalah di perbankan.
Adapun rasio kredit bermasalah perbankan mengalami peningkatan pada kuartal pertama 2016. Dengan peningkatan NPL, sejumlah bank besar telah meningkatkan rasio pencadangan. NPL perbankan nasional mencapai 2,8% (gross) atau 1,4 % (net) pada Maret 2016.
Meski demikian, BI menilai kenaikan NPL perbankan masih dalam batas aman. Bank sentral mengingatkan bahwa terjadi kecenderungan kenaikan NPL hingga akhir tahun sudah sepatutnya diantisipasi secara dini, terutama melakukan pencadangan terhadap kredit yang dikalsifikasi sebagai kredit bermasalah.
Sepanjang tahun ini kinerja perbankan terutama terkait penyaluran kredit tidak menggembirakan. Data yang dipublikasi BI belum lama ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan dalam kondisi melambat. Tengok saja, kucuran kredit perbankan mencapai Rp4.178,6 triliun atau tumbuh 6,7% akhir Agustus 2016 secara tahunan. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan Juli 2016 yang tumbuh sekitar 7,6% secara tahunan. Perlambatan pertumbuhan kredit terutama disebabkan pada kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI).
Pelemahan pertumbuhan kredit perbankan tak lepas dari kondisi pelemahan perekonomian dunia. Perekonomian Amerika Serikat (AS) tidak berjalan sebagaimana diharapkan atau bertumbuh lebih pelan dari yang diperkirakan. Begitupula pertumbuhan perekonomian China yang melambat bahkan diprediksi hanya tumbuh 6,5% tahun ini dan turun menjadi 6,3% tahun depan. Dampaknya tak bisa dielakkan, pertumbuhan perekonomian nasional ikut melemah meski secara umum stabilitas keuangan terjaga dengan baik sehingga masih penuh optimisme perekonomian tahun depan akan lebih baik dari tahun ini.
Bagaimana dengan pertumbuhan kredit perbankan tahun depan? Bank sentral memprediksikan pertumbuhan kredit akan lebih baik pada tahun depan dibandingkan tahun ini yang hanya berkisar pada 7%-9%. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi global yang membuat ekspor menurun, terutama pada ekspor komoditas yang harganya masih anjlok.
Pertumbuhan kredit 2017 diperkirakan mampu mencapai double digit seiring asumsi makro pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2017 sebesar 5,1%. Gubernur BI Agus Martowardojo berharap tahun depan swasta bisa lebih aktif dalam memulai investasi. Dan, sejumlah paket kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan sebelumnya bisa berjalan sebagaimana diharapkan. (sn/sl)