Impor Baju Bekas Masih Marak, Sri Mulyani: Kami Cari Siapa Pelakunya

JAKARTA, SUARALIRA.com - Baju bekas impor masih banyak diburu warga karena harga yang murah. Harga pakaian bekas yang jauh lebih murah menjadi masalah sendiri bagi pelaku usaha di sektor tekstil dan industri tekstil. Menteri keuangan mengaku masalah ini menjadi fokus sendiri bagi pemerintah untuk dipecahkan.
 
Impor baju bekas yang masuk ke dalam negeri menurutnya tak bisa dibiarkan karena dapat mengganggu pengembangan industri dalam negeri. Khususnya yang bergerak di sektor industri tekstil dan produk tekstil. Industri ini tergolong industri padat karya, yang artinya bila tak bisa berkembang apa lagi sampai gulung tikar, maka akan menghambat penciptaan lapangan kerja.
 
Sehingga, Kementerian Keuangan lewat Ditjen Bea Cukai berkomitmen untuk memecahkan masalah impor baju bekas tersebut.
 
"Saya hampir setiap hari mengatakan impor pakaian bekas masih banyak. Kalau mau datang ke daerah kita itu banyak impor balpres (pakaian bekas). Kita masih dianggap pasar barang bekas, kami janji dari segi bea cukai untuk mengidentifikasi pelaku impornya," ujar Sri, di Kemenperin, Jakarta Selatan, Selasa (1/11/2016).
 
Ia mengatakan saat ini pasar dalam negeri berpotensi besar untuk bisa dikembangkan namun potensi tersebut tak bisa dimaksimalkan. Beberapa pelaku industri merasa sulit bersaing dengan adanya pakaian impor bekas yang datang. Di satu sisi mereka dituntut menyediakan produ-produk berkualitas namun dari sisi harga mereka tidak bisa bersaing dengan barang bekas yang harganya sangat rendah.
 
"Masalah kopmpetisi, Anda tidak bisa kompetisi dengan harga jual yang hanya sepertiganya, lalu dihitung dari mana saja harga lsitik sekian upah sekian belum ditambah upah lainnya, kalu dilihat per pcs gak mungkin produksi. Ini persoalan fundamental, buat kami," kata Sri.
 
Namun, di sisi lain banyak warga terutama di perbatasan yang menyelundupkan harga dari sepertiga atau setengahnya untuk mendapatkan barang yang lebih murah. Sementara itu, pelaku usaha inginkan persaingan sehat yang mana terjadi antara pelaku usaha yang menghasilkan barang bagus bagus dengan yang lain. Ini menjadi dilema bagi pemerintah oleh karena itu, Sri mengatakan pemerintah ada di tengah-tengah pelaku kepentingan.
 
"Para konsumen mengatakan gaji saya sekian kalau beli baju 3-4 kali lipat income habis, Anda bisa mengatakan kami sebagai penjaga dan harus buat policy dihadapakan masyaraakat yang membutuhkan barang itu yang harga murah, kualitas bagus, di sisi lain produsen membutuhan kualitas persaingan yang sehat, menghasilkan barang yang bagus dll, Nah kami ada ditengah-tengah ini. Dua-duanya kami menaruh hati disitu, dua-duanya penting," ujar Sri.
 
Sebagai pemangku kebijakan, Sri menyebut akan mempertimbangkan itu untuk masuk dalam kebijakan. Ia berpesan para pelaku usaha supaya dapat bersaing untuk memproduksi barang yang berkualitas bagus, sementara jika ada kebijakan yang memberatkan atau menjadi penghambat industri, pemerintah akan melakuan koreksi terhadap kebijakan tersebut.
 
"Jadi sebagai policy maker terus menerus menimbang ini, yang penting saya datang dan lihat strukur biaya bapak ibu sekalian dan melihat biaya ekonominya, tapi kalau Anda tidak bisa produksi barang bagus dan kalah dengan negara tetangga mau diapa-apain nggak bisa menghasilkan produksi barang bagus. Tapi kalau produksi barang bagus dan mahal karena kewajiban pemerintah, kami berkewajiban mengkoreksi itu," imbuhnya. (dtc/sl)