KPK Dorong Pembenahan Tata Kelola Benda Sitaan Hasil Korupsi

UNTUK mendorong reformasi tata kelola benda sitaan dan barang rampasan hasil tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Rapat Koordinasi Tata Laksana Benda Sitaan (Basan) dan Barang Rampasan (Baran) dalam Rangka Pemulihan Aset Hasil Tipikor pada Senin-Rabu (21-23/11) di Jakarta.
 
Kegiatan ini digelar atas sejumlah persoalan, di antaranya belum optimalnya tata laksana pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara sehingga berdampak pada tidak optimalnya pemulihan aset dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di sisi lain, juga belum ada perangkat hukum baik lembaga maupun aturan yang ideal guna mengatur secara khusus mengenai pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan.
 
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam proses penanganan suatu perkara pada sistem peradilan, termasuk dalam sistem peradilan pidana, barang bukti menjadi salah satu komponen yang pasti melekat dan diperlukan untuk mengungkap kebenaran materiil mengenai duduk permasalahan suatu tindak pidana.
 
Sistem peradilan pidana tidak mungkin dapat berjalan dan dapat mendekati kebenaran materiil tanpa hadirnya barang bukti. Aparat penegak hukum pasti akan menyertakan barang bukti menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengungkapan dan penyelesaian suatu tindak pidana. “Akan menjadi masalah besar apabila ada dugaan tindak pidana dan dilanjutkan proses peradilannya, namun tidak disertai dengan adanya barang bukti,” katanya.
 
Ia melanjutkan, ada kecenderungan dalam penyitaan pada perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terdapat benda sitaan yang dijadikan barang bukti berupa harta kekayaan yang terdiri dari beragam aset bernilai ekonomi tinggi, hingga saat ini belum optimal dalam pengelolaannya.
 
“Belum lagi masa penyimpanan benda sitaan pada tahap penyidikan sampai dengan perkara berkekuatan hukum tetap (inkracht) akan berlangsung lama, sehingga pada tahap eksekusi barang bukti/barang rampasan yang masih disimpan dapat mengalami kerusakan, baik fisik maupun fungsinya,” paparnya.
 
Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap rentannya penurunan nilai dari suatu barang bukti apabila dilelang dikemudian hari yang mana uang hasil dari pelelangannya disetor ke kas negara sebagai bentuk pemulihan aset dan menjadi bagian dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
 
“Karenanya, perlu perlakuan khusus, misalnya dengan menyediakan ruang penyimpanan dan perawatan khusus serta biaya perawatan yang juga tinggi termasuk dengan menugaskan personel khusus untuk mengelolanya,” katanya.
 
Sementara itu, Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan pihaknya menyambut positif dan mendukung terobosan dalam penyelesaian persoalan yang melingkupi Basan dan Baran. Untuk mencapai keseragaman penanganan, pihaknya berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dan Kepolisian.
 
“Koordinasi hanya akan efektif, apabila seluruh stakeholder saling memberikan masukan yang positif bagi peningkatan kemampuan pihak terkait untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara profesional dan akuntabel,” katanya.
 
Kegiatan ini, selain untuk mewujudkan standardisasi dalam pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan di semua kementerian/lembaga, juga bertujuan mendorong optimalisasi pemulihan aset dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di sinilan peran Kementerian Keuangan.
 
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pihaknya memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam memberikan keputusan atas usulan penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, dan penghapusan barang rampasan negara yang diusulkan Kejaksaan atau KPK. Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) juga memberikan layanan dalam bentuk pelaksanaan penilaian dan lelang eksekusi Barang Rampasan Negara.
 
“Tujuan pemulihan aset, selain mengembalikan keuangan negara, juga mendorong optmalisasi pengelolaan aset dan PNBP,” katanya.
 
Penyimpanan barang bukti/benda sitaan negara sejatinya menjadi tugas Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Rupbasan merupakan salah satu institusi yang menjadi pemangku kepentingan dalam proses peradilan pidana dan menjadi titik penting yang menentukan terpelihara dan terjaganya nilai suatu benda sitaan sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
 
Namun peran Rupbasan hingga saat ini belum dapat dioptimalkan untuk menjadi bagian penting dalam proses peradilan pidana dalam mengelola dan menjaga nilai benda sitaan/barang bukti. Secara finansial dan kelembagaan, peran Rupbasan masih terbatas, misalnya minimnya alokasi anggaran yang tersedia, belum idealnya tempat penyimpanan, postur organisasi dan sumber daya manusia yang belum idea, serta lokasi kantor yang tidak selalu ada di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
 
Para pemangku kepentingan dalam proses penganggaran, manajemen benda sitaan negara dan pelelangan atau pemanfaatan barang rampasan negara perlu duduk bersama untuk menyambung jejaring kerja guna mewujudkan saling pemahaman dan terwujudnya tata laksana yang efektif dan efisien, serta pemulihan aset yang optimal. 
 
(RLS)