JAKARTA, suaralira.com - Gilang Ilham Jaelani (19) tak pernah menyangka di usianya yang masih muda harus meringkuk di penjara. Bukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tetapi untuk menjalani penahanan tanpa dosa.
Sebagaimana dilansir dari detik.com, pegawai minimarket di Kebon Pala, Jakarta Timur, Gilang dituduh terlibat terlibat pencurian bersama tiga rekannya yaitu :
1. Slamet Riyadi
2. Dera
3. Rian
Keempatnya dituduh melakukan pembobolan brankas tempat mereka bekerja pada 7 September 2013. Uang Rp 5,7 juta raib. Pemilik yang mengetahui kejadian itu langsung melaporkan ke polisi dan segera menindak. Keempatnya langsung dijebloskan ke penjara sejak 9 September 2013 dan diproses dalam berkas terpisah.
Nah, di pengadilan semuanya terbongkar. Gilang ternyata tidak terbukti terlibat pencurian tersebut. Ia hanya disebut-sebut oleh Slamet, padahal tidak ada satu pun bukti yang menunjukan ia ikut terlibat pencurian.
Akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) membebaskan Gilang pada 7 Januari 2014. Tapi jaksa tidak terima dan tetap ngotot bila Gilang terlibat pencurian. Tak tanggung-tanggung, Penuntut Umum meminta Gilang untuk dipenjara selama 1 tahun.
Menurut JPU, kesaksian satu saksi yaitu Slamet yang juga menjadi terdakwa di kasus itu sudah memenuhi syarat sesuai yurisprudensi MA. Dalam kaidah ilmu hukum, Slamet disebut saksi mahkota.
"Dalam hal inilah, muncul istilah "saksi mahkota" sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai "saksi mahkota" (kroon getuide) namun dalam praktiknya keberadaan saksi mahkota tersebut ada dan diakui," ujar JPU dalam permohonan kasasi yang dikutip detikcom dari dari website MA, Minggu (23/4/2017).
Jaksa merujuk yurisprudensi Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 yang menyatakan saksi mahkota adalah teman Terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan JPU.
Dalam putusan itu juga dijelaskan bahwa MA tidak melarang apabila JPU mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai Terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan Terdakwa yang diberikan kesaksian.
"Dalam perkara ini baik Terdakwa Gilang Ilham Zaelani dan Slamet Riyadi masing-masing menjadi saksi untuk perkara masing-masing," ujar JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Timur (Kejari Jaktim) itu.
JPU juga menampik alibi Gilang yang menyatakan dirinya ditekan saat dilakukan BAP. Sebab Gilang ditemani pengacara Djarot Widodo selama proses penyidikan.
"Pada saat diperiksa Terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta persidangan telah dihadirkan Slamet Riyadi sebagai saksi dan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya menunjuk Gilang Ilham Zaelani sebagai pelaku yang membantu Slamet Riyadi mengambil uang di brankas," cetus JPU.
Tapi apa kata MA? Ternyata Artidjo Alkostar dkk mementahkan semua argumen JPU.
"Menolak permohonan kasasi jaksa penuntut umum," ucap hakim agung Artidjo Alkostar sebagaimana dikutip detikcom dari website MA, Minggu (23/4/2017).
Vonis itu diambil secara bulat. Dua hakim agung lainnya, Sofyan Sitompul dan Sri Murwahyuni sepakat dengan Artidjo. Yaitu menampik kesaksian Slamet karena hanya Slamet yang menyebut Gilang terlibat. Dalam kaidah hukum hal itu dikenal dengan istilah unus testis nulus testis.
Majelis juga mengamini bila BAP Gilang yang menyatakan dirinya terlibat diwarnai intimidasi dari penyidik. Sehingga kesaksian Gilang di BAP dikesampingkan MA.
"Terdakwa Gilang mencabut keterangannya karena keterangan yang diberikan di Penyidik diberikan dalam keadaan ditekan dan diintimidasi sehingga terpaksa menerangkan seperti dalam BAP," ujar Artidjo dkk pada 22 Desember 2016.
Atas vonis kasasi itu, Gilang kini benar-benar bebas dan tidak pernah bersalah apapun. Tapi apa daya, ia telah merasakan dinginnya penjara selama 114 hari lamanya. 114 Hari lamanya pula HAM dan kebebasannya terrenggut aparat penegak hukum.
Kasus Gilang memperpanjang daftar ketidakprofesionalan aparat menyidik. Kasus yang mencuat sebelumnya seperti kasus laundry di Jakarta Timur. Linda ditahan jaksa dan hakim selama 3 bulan atas tuduhan penggelapan celana dalam yang dicuci. Belakangan, tuduhan itu tak terbukti.
Di Tangerang, Tajudin ditahan karena tuduhan mengeksploitasi anak. Penjual cobek itu dinilai memanfaatkan dan menarik keuntungan dari anak-anak yang membantunya. Tajudin mendekam 9 bulan di penjara dan dibebaskan awal 2017 karena tuduhan itu tak terbukti.
Kasus-kasus di atas dinilai menjadi salah satu faktor penjara over kapasitas. Aparat dinilai begitu gampangnya menahan orang, tanpa melihat bobot layak tidaknya seseorang ditahan. Hasilnya, sel tahanan yang seharusnya diisi 5 orang, bisa membengkak diisi 30 orang.
Oleh sebab itu, Peneliti Pusako Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat, Charles Simabura meminta aparat penegak hukum jangan asal menahan orang. Polisi, jaksa dan hakim diminta profesional dan memikirkan masak-masak apabila hendak menahan orang.
"Bagi aparat penegak hukum diharapkan untuk tidak terlalu mudah memberikan status penahanan bagi tersangka atau terdakwa khususnya pada tindak pidana umum. Karena selama ini seringkali tahanan dititipkan di LP dikarenakan keterbatasan ruang tahanan penyidik, penuntut dan pengadilan dan rumah tahanan negara. Hal demikian ikut berkontribusi bagi kelebihan daya tampung lembaga pemasyarakatan," ujar Charles dalam sela-sela diskusi bersama Menkum HAM Yasonna Laoly diskusi di Hotel JW Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis-Jumat (20-21/4/2017).
(dtc/sl)