Oleh : Sayed Zahirsyah Almahdaly
Ketegangan antara Legislatif dengan Eksekutif dibawah nahkoda Mursil kembali terjadi di Pemerintahan Daerah Kabupaten Aceh Tamiang. Chapter baru perseteruan semakin menajam sejak diharuskannya melaksanakan refocusing anggaran untuk penanganan pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang tengah mengguncang seluruh belahan dunia, tidak terkecuali juga Aceh Tamiang.
Dampak pandemi yang begitu keras telah menghantam sendi-sendi aktivitas kehidupan dan ekonomi masyarakat global sehingga dibutuhkan perhatian sangat serius dari para pemangku kebijakan.
Namun ditengah badai pandemi yang tengah melanda, diduga masih ada yang memandang wabah sebagai ladang penuh berkah. Utak-atik dan selap-selip saat eksekusi anggaran di eksekutif tetap berjalan seperti keadaan normal. Padahal new normal belum dijalankan waktu itu.
Inilah yang membuat sejumlah anggota dewan meradang saat pembahasan refocusing anggaran. Entah meradang karena postur refocusing yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat ataukah karena pokir mereka terancam dibabat habis hingga persen transaksi "selling" paket tinggal kenangan? Apapun itu yang jelas kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan.
Berlanjut agenda pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) tahun 2019. Menarik untuk dicermati, dari hasil pembahasan LKPJ menghasilkan sederet rekomendasi temuan-temuan dari sejumlah SKPK yang ditengarai bermasalah dalam penggunaan anggaran.
Dan yang tak kalah menghebohkan ketika 2 (dua) Kepala SKPK direkomendasikan untuk dicopot dari jabatannya karena dianggap tidak kooperatif saat diajak membahas LKPJ. Bukan perkara main-main lagi kali ini. Dewan seperti sedang menunjukkan taringnya dan roh pengawasan seperti telah kembali ke makamnya.
Justru anehnya masyarakat menjadi resah. Tidak sedikit juga yang pesimis. Masalahnya, sudah jadi rahasia umum kalau politisi rentan dengan konflik kepentingan. Jiwa kompromistis realistis ditengah pusaran konflik kepentingan menjadi zirah utama ketimbang idealis logis. Padahal lembaga ini menjadi mata masyarakat untuk mengawasi kinerja eksekutif.
Data-data temuan hasil pansus tentang adanya dugaan penyalahgunaan wewenang pasti bakal raib di atas meja pertemuan dengan jamuan yang menggiurkan. Apalagi Mursil terkenal dengan gaya Flamboyan nya yang unik, memikat, dan very confident.
Jangankan wakil rakyat yang jumlahnya cuma 30 (tiga puluh) kepala, rakyatnya saja sudah tidak ada lagi yang lapar, bodoh, dan sakit. Tentunya hal yang sangat mudah untuk memuaskan birahi kepentingan.
Sebagai seorang pembuat keputusan, Mursil paham betul cara memuluskan kepentingan dalam kebijakan. Pemetaan isi 30 (tiga puluh) kepala dengan metode The Six Thinking Hats tentang perbedaan karakter berpikir putih, merah, hitam, kuning, hijau, dan biru sudah cukup matang dilakoni selama 3 (tiga) tahun menjabat.
Potongan kalimat "tidak ingin debat kusir" dapat diartikan bahwa karakter berpikir merah, hitam, kuning, hijau, dan biru para dewan sudah mampu dilakukan pengkondisian. Baik secara personal maupun kepartaian. Tidak ada yang berkarakter berpikir putih. Itu hasil pemetaannya. Kalaupun masih ada maka prinsip pegang kepala ekor tidak membelit pasti jadi jurus terjitu.
Terlepas dari segala bayangan imajiner, tentunya masyarakat sangat berharap kepada wakil-wakil mereka di periode yang sekarang untuk segera meninggalkan jiwa kompromistis realistis yang telah akut dan berlarut. Martabat rakyat yang telah dipercayakan adalah diatas segalanya.
Jika merasa terjepit pada hakikatnya nafsu kalianlah yang sedang terjepit, biarkanlah tetap terjepit. Katakanlah sejujur- jujurnya kepentingan rakyat dan suarakanlah sekeras-kerasnya rakyat bersama para wakil rakyat. (Penulis adalah pemerhati sosial dan Direktur LSM Gadjah Puteh).