SuaraLira.Com, Meranti -- Sejumlah pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi sorotan publik dan sarat tanda tanya serta patut diduga mengandung unsur kesengajaan. Elemen masyarakat mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan adanya tindak pidana yang terstruktur dan masif dalam pelaksanaan proyek-proyek tersebut, Rabu (13/08/2025).
Modus Pecah Paket dan Swakelola Tidak Tepat Guna
Berdasarkan informasi resmi yang didapat dan juga temuan lapangan menunjukkan bahwa pekerjaan yang seharusnya dilelang secara terbuka justru dipecah menjadi beberapa paket menggunakan kombinasi mekanisme Swakelola Tipe 1, tender, dan e-purchasing.
Padahal, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sebelumnya telah menegaskan bahwa Dinas PUPR Kepulauan Meranti belum layak menggunakan Swakelola Tipe 1 karena masih banyak kekurangan syarat pelaksanaan.
Lebih janggal lagi, rehab kantor bupati meranti sengaja dibagi menjadi pekerjaan multi-years terselubung dilakukan selama dua tahun anggaran berturut-turut dengan jenis pekerjaan yang sama, rekening yang sama, dan nilai yang nyaris identik, tanpa mengikuti progres teknis pekerjaan.
Rincian Kegiatan Proyek 2024
1. Penggantian Plafon Kantor Bupati – Rp 450.000.000 (e-purchasing, diumumkan 27 September 2024, namun pekerjaan dimulai sebelum pemenang diumumkan dan kontrak ditandatangani).
2. Penggantian Instalasi Listrik – Rp 600.000.000 (Swakelola Tipe 1).
3. Penggantian Atap – Rp 600.000.000 (tender).
4. Pemasangan Interior – Rp 1.261.000.000 (Swakelola Tipe 1).
Rincian Kegiatan Proyek 2025
1. Lanjutan Rehab Kantor Bupati – Rp 800.000.000 (e-purchasing).
2. Penambahan Ruangan & Sarana/Prasarana – Rp 1.250.000.000 (tender).
Jika diakumulasikan, total anggaran rehab Kantor Bupati Meranti untuk plafon, atap, interior, dan instalasi listrik selama dua tahun mencapai sekitar Rp 4,96 miliar, nilai yang setara dengan pembangunan gedung kantor baru dua lantai.
Yang lebih mengejutkan, berdasarkan penelusuran lapangan, tidak ada pembangunan gedung baru dalam proyek ini. Hanya ada penambahan sekat-sekat ruangan dan perubahan interior, termasuk pergantian plafon, instalasi listrik, serta atap. pembagian proyek ini menggunakan pecah paket yang secara prinsip dilarang dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah, Hal ini menimbulkan tanda tanya besar soal kelayakan dan efisiensi penggunaan anggaran.
Regulasi yang Diduga Dilanggar
1. Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Melarang pemecahan paket untuk menghindari mekanisme tender terbuka.
Swakelola Tipe 1 hanya boleh digunakan jika memenuhi persyaratan sumber daya manusia, sarana, dan pembuktian kapasitas.
Mengutamakan prinsip efisiensi, efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas.
2. Perpres No. 46 Tahun 2025 (Perubahan Kedua atas Perpres 16/2018) Mempertegas penggunaan e-purchasing dan keterbukaan data proyek.
Mengatur batasan dan persyaratan baru dalam pelaksanaan swakelola.
3. Peraturan LKPP No. 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola.
Mengharuskan setiap swakelola dilengkapi dokumen rencana pelaksanaan dan pertanggungjawaban yang jelas.
Melarang penggunaan swakelola untuk proyek yang seharusnya melalui tender penyedia.
4. UU No. 28 Tahun 1999 – Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Menegaskan pijakan reformasi dan integritas pejabat publik terhadap praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
5. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 – tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 dan 3: menyasar kegiatan yang merugikan keuangan negara akibat penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi.
Termasuk dalam kategori penyalahgunaan jabatan, mark-up anggaran, atau rekayasa pengadaan.
6. TAP MPR XI/MPR/1998 – Mengamanatkan penyelenggara negara bersih dari KKN dan pemeriksaan harta kekayaan pejabat.
Desakkan Publik
Elemen masyarakat mendesak Kejaksaan dan Kepolisian untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran ini. Mereka menilai bahwa pola pemecahan paket dan pengulangan pekerjaan dengan item serupa di tahun berbeda adalah bentuk manipulasi anggaran yang bisa merugikan keuangan negara secara signifikan.
“Kalau memang tujuannya rehab, mestinya satu kali pekerjaan cukup. Tapi kalau sudah dua tahun berturut-turut, item sama, dana hampir Rp 5 miliar, dan hasilnya cuma sekat-sekat baru serta interior, ini indikasi kuat ada permainan,” ujar Hendri salah satu aktivis setempat.
Seringkali Pejabat di daerah selalu beralasan sudah diaudit BPK
Menurut Ade Permana, penggiat anti korupsi Riau mengatakan, seringkali para Pejabat di daerah mengatakan bahwa sudah ada pemeriksaan dari BPK dan tidak ada temuan terkait hal tersebut. “Mereka lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pemeriksaan BPK tersebut tidak semestinya mengatakan mereka bersih dari sesuatu yang kotor atau bersih dari korupsi. dan BPK mengaudit memakai metode sampling, karena jika secara keseluruhan dan harus uji petik investigasi lapangan tidak akan cukup waktunya, apalagi hanya dengan kekuatan personil yang terkadang hanya 9 orang auditor. Tentunya akan banyak memakan waktu. Untuk 1 OPD saja bisa berapa Minggu dihabiskan. Harus banyak belajar dan menambah wawasan agar lebih banyak tahu," ujar Ade lagi.
“Sekarang kita tantang BPK untuk melakukan audit investigasi sesuai tupoksi dan amanat dari perundangan. Mau apa tidak, BPK melakukan audit investigasi khusus terhadap kegiatan di Dinas PUPR Kepulauan Meranti atas permintaan masyarakat. Itu sah secara hukum dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dari situ kita bisa menggunakan hak pengawasan sebagai masyarakat yang diatur perundangan, apakah patut dan wajar serta layak anggaran tersebut atau hanya sebagai tempat sarana pencucian uang saja dan kegiatan mark-up.?," tutup Ade lagi.
BPK mengaudit memakai metode apa
Menurut pengajar Hukum Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Beni Kurnia Ilahi, pemberian opini termasuk WTP tidak menjamin kementerian atau lembaga termasuk didaerah tersebut bersih dalam hal pengelolaan keuangan negara. (Dikutip dari Tempo). “BPK dalam pemeriksaan Laporan Keuangan dengan metode sampling (sampel), sehingga tidak seluruh laporan keuangan kementerian atau lembaga termasuk didaerah yang menjadi objek pemeriksaan," kata Beni.
Lebih lanjut “Opini WTP BPK yang ada hari ini saja tidak dapat menjadi parameter kinerja pengelolaan keuangan negara. Ditambah maraknya jual beli Opini WTP oleh oknum auditor," kata Beni kepada media Tempo.
“BPK seringkali memeriksa hanya sebatas arus kas terhadap laporan keuangan secara administrasi saja, tanpa melihat output dan outcome terhadap laporan kinerja terhadap suatu kegiatan yang menggunakan anggaran negara," ujar Beni lagi.
Dikutip dari salah satu media online, Direktur Korsup Wilayah III KPK, Ely Kusumastuti menegaskan "Korupsi tidak selalu karena niat jahat, tapi sering muncul akibat longgarnya sistem. Penguatan harus dimulai sejak perencanaan hingga proses pengadaan,"
Zona Merah Risiko Korupsi
Dalam rangka upaya pencegahan korupsi sebagaimana diamanatkan Pasal 6 (huruf a, b, dan d), Pasal 8 (huruf c dan e), dan Pasal 9 (huruf a dan b) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Survei Penilaian Integritas (SPI) merupakan upaya memetakan resiko korupsi di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD). Dengan bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik, SPI telah dilaksanakan sejak 2016 dengan berbagaiK/L/PD di Indonesia.
Untuk kabupaten Kepulauan Meranti skor SPI nya tahun 2024 menurut KPK-RI adalah 68,36. Indeks SPI kabupaten Kepulauan Meranti adalah zona merah.
Diungkapkan Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, bahwa daerah yang SPI (Survei Penilaian Integritas) yang merah adalah daerah yang bahaya yang kita bilang praktik korupsinya masih dalam. Ini, kan, SPl mengukur kedalaman di bidang jual-beli jabatan, pengadaan barang/jasa, intervensi, gratifikasi,” jelas Pahala. Artinya, Pahala menambahkan, risiko korupsi sangat potensial muncul di lingkup organisasi pemerintah tersebut.
Berdasarkan hasil ini, KPK mengimbau semua pihak untuk senantiasa mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pahala mengajak para pemimpin organisasi di instansi pemerintah daerah untuk berkomitmen dalam memperkuat integritas dan menerapkan sistem pencegahan korupsi sebagai wujud nyata perubahan dan perbaikan di lembaga mereka.
Konfirmasi ke Pejabat Terkait
Menanggapi hal ini, Kepala Bidang Cipta Karya dan Jasa Konstruksi Dinas PUPR Kepulauan Meranti, Feni Utami, ST., MH., mengatakan bahwa kegiatan tersebut sudah diaudit oleh tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2024.
"Kegiatan ini sudah di audit oleh Tim BPK di tahun 2024," kata Feni.
Ketika media bertanya, “Apa hasil auditnya, Bu? Apakah BPK membenarkan perilaku tersebut?”, Feni menjawab, “Saya ini dalam keadaan sakit, apa ada etikanya seperti ini? Dalam keadaan sakit saya dipaksa juga harus diminta menjawab pekerjaan yang sudah diaudit?”
Media kembali menegaskan, “Kata Ibu sudah diaudit, kami hanya menanyakan hasilnya. Apakah BPK membenarkan perilaku tersebut? Kalau sudah keluar hasilnya, tinggal jawab apa adanya, kan tidak susah, Bu Kabid.”
Sementara itu, Plh Kepala Dinas PUPR Kepulauan Meranti, Rahmat Kurnia, ST, menanggapi singkat, “Terkait LHP, kami saat ini dalam tahapan melaksanakan rekomendasi BPK. Untuk lebih lanjut nanti kita jumpa ya".
Ketika ditanya lebih lanjut, “Sampai di mana tindak lanjutnya, Pak Kadis? Karena sudah melebihi 60 hari sesuai aturan perundangan. Apakah ada yang menjadi temuan BPK? Jika tidak ada, berarti BPK tidak menyalahkan perilaku tersebut sesuai isi berita kami.”
Hingga berita ini diterbitkan, Rahmat Kurnia belum memberikan jawaban lanjutan. Kasus ini menambah daftar panjang dugaan penyimpangan pengadaan barang/jasa di daerah.(Sang/sl)
