JAKARTA, SUARALIRA.com - Untuk efisiensi dan berkinerja baik, konsolidasi bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik untuk industri perbankan, farmasi, semen, pupuk maupun energi, tak mungkin dihindari. Industri-industri ini memerlukan perusahaan-perusahaan yang besar skala modalnya untuk mencapai efisiensi tinggi.
“Jadi inilah dasar filosofi yang mendukung ide konsolidasi BUMN energi. Intinya, baik Pertamina maupun PGN harus terus tumbuh berkembang, dan pertumbuhan ini memerlukan modal besar. Hal ini pada gilirannya akan menguntungkan semua pihak, termasuk masyarakat,” ujar A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Rabu (19/10/2016).
Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah memutuskan untuk menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN ke dalam PT Pertamina (Persero) sebagai bagian dari pembentukan holding BUMN energi.
Menurut Tony, bisnis energi memerlukan modal yang besar. Ekspansi usaha hanya bisa dilakukan jika perusahaan memiliki modal besar. Sumber dananya bisa berasal dari kemampuan pemilik, yakni pemerintah, melakukan divestasi di pasar modal, atau dengan memanfaatkan laba yang ditahan (retained earnings).
“Namun jika hal-hal tersebut tidak bisa dilakukan, misalnya karena pemilik yakni pemerintah sedang harus membelanjakan banyak dana APBN untuk keperluan yang lain, perlu semacam engineering yang lazim dilakukan, yakni melakukan konsolidasi dengan perusahaan sejenis,” ungkap dia.
Pertamina tercatat memiliki aset USD 46,94 miliar pada semester I 2016. Perseroan juga memiliki kas dan setara kas sebesar USD 5,08 miliar. Sementara itu, pada periode yang sama PGN tercatat memiliki aset USD 6,53 miliar. Serta kas dan setara kas sebesar USD 1,02 miliar.
Menteri BUMN Rini Soemarno memastikan pembentukan holding BUMN enegi yang menggabungkan PGN dan Pertamina segera terwujud. Pembentukan perusahaan induk BUMN ini sudah dibicarakan dan dibahas dengan para pemangku kepentingan serta kementerian terkait agar realisasinya dapat dipercepat sebelum akhir tahun ini.
“Pembentukan holding ini tidak hanya menguntungkan perusahaan induk, namun juga memberikan profit bagi BUMN yang tergabung dalam holding tersebut,” kata dia.
Tony mengakui pembentukan holding BUMN energi akan sama-sama menguntungkan bagi peserta holding karena secara keseluruhan, holding akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. “Dengan kinerja yang makin baik, tentu akan menguntungkan bagi pemiliknya,” tegas Tony.
Namun, lanjut Tony, pembentukan holding pasti menimbulkan pro dan kontra dan hal itu wajar. Kelompok yang pro selalu berpegang pada kinerja masa depan yang lebih baik dari perusahaan. Sedangkan yang kontra biasanya concern tentang kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Saya usul agar pemegang saham (pemerintah) berjanji untuk tidak melalukan PHK dalam tiga tahun ke depan. Sesudah itu, pasti akan terjadi pengurangan karyawan secara alamiah. Bila ini dilakukan, dapat mengurangi gelombang resistensi, yang biasanya memang selalu terjadi pada situasi seperti ini,” kata dia.
Menurut Tony, tidak ada regulasi lain yang bisa menggantikan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 karena pembentukan holding BUMN energi membutuhkan payung hukum yang kuat atau berhirarki tinggi, yang dalam hal ini adalah PP.
“Jadi PP memang payung hukum yang paling appropriate untuk membentuk holding company ini,” tegas dia.
Yusri Usman, pengamat energi dari Center for Energy and Resources, mengatakan pada prinsipnya pembentukan holding tujuannya adalah efisiensi dalam proses bisnisnya dan dapat mengkonsolidasi modalnya agar bisa ekspansi dalam mengadakan eksplorasi dan produksi.
Selain itu, akan diperoleh biaya pokok produksi, apakah itu minyak dan gas yang efisien, baik harga pokok di kepala sumur ataupun pada titik serah yang disepakati dengan calon pembeli sehingga publik tidak lagi menyaksikan kondisi seperti saat ini.“Pemerintah seperti putus asa soal harga jual gas ke konsumen dan industri yang kemahalan,” kata dia. (ip/sl)