Potret gizi buruk Muslim Rohingya di Myanmar

Ini Kronologi Lengkap Kekerasan Terhadap Muslim Rohingya di Myanmar

AWAL bulan lalu polisi Myanmar mengatakan kelompok militan Islam menyerang tiga pos penjaga di perbatasan Bangladesh hingga menewaskan sembilan aparat. Sejak peristiwa itu hingga kini sudah lebih dari seratus orang tewas dan ratusan lainnya ditahan oleh militer Myanmar. Sekitar 150 ribu warga tidak mendapat bantuan pasokan pangan dan obat-obatan, puluhan wanita mengaku diperkosa dan lebih dari 1.200 rumah warga dibumihanguskan. Sekitar 30 ribu warga mengungsi.
 
Militer Myanmar kini melarang para relawan kemanusiaan dan jurnalis independen memasuki wilayah konflik di Negara Bagian Arakan atau lebih dikenal Rakhine yang dihuni mayoritas warga muslim etnis Rohingya.
 
Dikutip dari Time, Senin 921/11), berikut kronologi kekerasan terhadap muslim Rohingya sejak bulan lalu:
 
9 Oktober: Polisi mengatakan, tiga pos penjaga di perbatasan diserang oleh ratusan militan Islam, menewaskan sembilan aparat. Delapan penyerang dilaporkan kemudian tewas dibunuh aparat. Polisi segera mengatakan pra penyerang punya hubungan dengan kelompok bernama Organisasi Solidaritas Rohingya, kelompok militan yang sudah puluhan tahun tidak terdengar. Wilayah itu langsung dinyatakan dalam operasi militer kontraterorisme.
 
10 Oktober: Bantuan kemanusiaan secara resmi ditunda. Pasukan militer dikerahkan ke wilayah Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung di Negara Bagian Rakhine. Di wilayah itu diperkirakan ada sekitar 162 ribu jiwa yang selama ini bergantung dari bantuan kemanusiaan PBB.
 
Dalam beberapa hari kemudian lebih dari 800 warga Buddha tiba di Ibu Kota Negara Bagian Sittwe. Lebih dari 1.200 warga muslim mengungsi dari desa mereka dan mencari
 
perlindungan di Kota Buthidaung. Media pemerintah melaporkan warga Buddha diangkut dengan helikopter demi keamanan. Penduduk Buddha dilaporkan khawatir desa mereka diserang oleh warga muslim bersenjata.
 
Koran the New York Times melaporkan, puluhan orang sudah terbunuh sejak serangan pertama terjadi.
 
14 Oktober: Pemerintah menyatakan para penyerang adalah anggota kelompok jihadis Aqa Mul Mujahidin yang dipimpin oleh sosok pria yang pernah mendapat pelatihan oleh Taliban di Pakistan dan didanai kelompok teroris asing. 
 
27 Oktober: Fiona MacGregor, jurnalis harian Myanmar Times asal Skotlandia melaporkan kelompok hak asasi mempunyai dokumen puluhan kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh militer Myanmar terhadap wanita Rohingya di kawasan operasi militer itu. Hari berikutnya Reuters melaporkan berita yang sama. 
 
Tim redaksi Myanmar Times kemudian diperintahkan untuk tidak melaporkan situasi di Rakhine hingga pemberitahuan selanjutnya.
 
Menteri Penerangan ye Htut dan juru bicara kepresidenan Zaw Htay mengecam MacGregor di media sosial.
 
31 Oktober: MacGregor dipecat dari kantornya lantaran 'merusak nama baik koran' mereka. Dia sudah bekerja di media itu selama tiga tahun dan menulis kolom tentang isu-isu perempuan. Dia kerap menulis tentang kasus pemerkosaan di wilayah konflik.
 
"Ini sangat menyedihkan bagi isu hak-hak perempuan, kebebasan pers, dan demokrasi di Myanmar. Pemerintah ingin membungkam tudingan pemerkosaan yang dilakukan militer," ujar MacGregor kepada Time.
 
Redaktur MacGregor, Douglas Long, juga kemudian dipecat dua pekan setelahnya.
 
1 November: Media yang dikontrol pemerintah mulai menyebarkan berita yang berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka juga menerapkan sensor dan propaganda seperti di zaman sebelum era reformasi. Media itu juga mengatakan militan Islam sudah sangat keterlaluan karena menyerang aparat dan mereka harus dihabisi. Selain itu, media pemerintah juga menuding media internasional bekerja sama dengan kelompok teroris dalam menyebarkan berita bohong.
 
2 November: Utusan PBB dan sembilan diplomat mengunjungi wilayah konflik di Maungdaw buat pertama kali sejak 9 Oktober. Kunjungan yang sangat diatur pemerintah itu berlangsung dua hari. Mereka mendatangi empat desa yang sudah dipilih sebelumnya oleh pemerintah. Di antara rombongan itu adalah Duta Besar Amerika Serikat untuk
 
Myanmar Scot Marciel dan pejabat PBB Renata Dessallien. Mereka diizinkan berbincang dengan warga desa. Kunjungan itu sangat kentara sudah diatur. Sejumlah laporan kemudian mengatakan warga yang berbincang dengan para utusan itu ditahan dan dipukuli.
 
Anggota rombongan menolak berkomentar atas kunjungan mereka dan hanya menekankan, mereka bukan sedang dalam misi mencari fakta dan mendesak pemerintah memberi akses kepada pekerja kemanusiaan, para relawan ahli, dan jurnalis. Hingga kini permintaan itu belum dipenuhi pemerintah Myanmar.
 
3 November: Kepala Polisi Negara Bagian Rakhine Kolonel Sein Lwin mengatakan pihaknya mulai mempersenjatai dan melatih warga sipil non-muslim untuk menjaga keamanan. 
 
12 November: Militer Myanmar mengerahkan helikopter tempur buat menyerang desa di Maungdaw. Koran pemerintah Globla New Light of Myanmar melaporkan 60 orang bersenjata api, tongkat kayu dan tombak menyerang tentara, dan menewaskan satu orang. Militer membalas serangan dengan menembak dari dua helikopter ke arah persawahan. Peristiwa selama dua hari itu membuat 15 ribu warga mengungsi dan video yang menyebar di kalangan pekerja kemanusiaan internasional memperlihatkan mayat-mayat bergelimpangan di sawah. Pemerintah bilang, 69 perusuh tewas dan 234 lainnya ditahan. Angka itu terus bertambah.
 
15 November: Media pemerintah meluncurkan Tim Informasi Berita Benar yang membantah berita-berita soal korban dan kerusakan di wilayah konflik dari media lokal dan regional. 
 
18 November: Bantuan kemanusiaan belum bisa kembali mencapai Maungdaw. Menyusul kunjungan para diplomat, PBB diizinkan mengirimkan bantuan pangan kepada 7.200 warga di empat desa. Bantuan ini hanya akan berlangsung selama dua pekan.
 
Juru bicara PBB untuk Myanmar Pierre Peron mengatakan, bantuan makanan, uang, dan layanan gizi dan kesehatan bagi lebih dari 150 ribu warga ditangguhkan sejak 9 Oktober. Sekitar 3.000 anak di bawah usia lima tahun tidak mendapat pasokan makanan dan menderita gizi buruk parah. Sebanyak 50 persen dari mereka dikhawatirkan meninggal.
 
(mdk/sl)