Hari Ini, Hasil Revisi UU ITE Mulai Diberlakukan

JAKARTA (suaralira.com) - Revisi Undang-undang (UU) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah selesai dibahas dan sah menjadi UU oleh DPR dan Pemerintah pada 27 Oktober 2016 lalu.
 
Pemberlakukan UU ITE sesuai dengan hasil revisian tersebut, mulai diterapkan hari ini Senin, 28 November 2016. Hal itu diutarakan oleh Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) RUU ITE, Henri Subiakto.
 
"Jadi menurut UU Nomor 12 tahun 2011 pasal 73 ayat 1 itu, suatu rancangan UU kalau sudah disepakati antara DPR dengan Pemerintah, maka harus ditandatangani oleh Presiden RI paling lama 30 hari. Itu kan kesepakatannya saat tanggal 27 Oktober 2016, jadi harus ditandatangani 27 November 2016 atau otomatis hari kerja pertama ini yakni tanggal 28 November 2016 dan Setneg wajib mengundangkannya. Jadi intinya berlaku pertama di hari ini," ujarnya seperti yang dilangsir Merdeka.com melalui sambungan telepon, Senin (28/11).
 
Dikatakannya, bila hingga 30 hari pasca kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah rancangan UU tersebut belum ditandatangani, maka tetap akan diberlakukan. Hal itu merujuk pada UU Nomor 12 tahun 2011 pasal 73 ayat 2 yang berbunyi:
 
'Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan'.
 
"Jadi walaupun belum ditandatangani oleh Presiden RI pun tetap akan diberlakukan hari ini," katanya yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Komunikasi dan Media Massa.
 
Adapun poin-poin dalam revisi UU ITE yang sudah disepakati dan disahkan sebagai berikut:
 
1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
 
a. Menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik".
 
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
 
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
 
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
 
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
 
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
 
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
 
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
 
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
 
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
 
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
 
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
 
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
 
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
 
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
 
6. Menambahkan ketentuan mengenai 'right to be forgotten' atau 'hak untuk dilupakan' pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
 
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
 
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
 
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
 
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
 
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
 
(Mdk/sl)