JAKARTA (suaralira.com) — Kampanye hitam yang menimpa Anies-Sandi belakangan menjadi trending topic. Siapa pelakunya, hingga kini belum diketahui.
Tetapi kalau bicara dampak dan bahayanya, sudah banyak yang membicarakan. Salah satunya terasa oleh Lieus Sungkharisma. Sebagai peranakan Tionghoa di Indonesia, Lieus melihat kampanye hitam telah memecah kerukunan bangsa.
“Kampanye hitam berbahaya, dari tadinya kita rukun jadi saling curiga,” tandasnya.
Di sisi lain, Naufal Firman Yusak selaku Wakil Ketua Tim Pemenangan Anies Sandi Bidang Media menggambarkan kampanye hitam sebagai taktik rendahan. “Kampanye hitam itu cuma merusak demokrasi saja,” tukasnya.
Meskipun sejauh ini baru satu kampanye hitam yang dilaporkan ke Bawaslu, yakni yang menimpa Anies-Sandi. Kubu petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Wakil Gubenur Djarot Saiful Hidayat juga merasa terzalimi.
“Saya paling sedih karena kampanye hitam terhadap paslon kami tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi di jalan-jalan,” ujar juru bicara tim pemenangan Basuki-Djarot (Badja), Eva Kusuma Sundari.
Dia menceritakan, kampanye hitam itu dekat dengan tempat tinggalnya. Selain spanduk, di masjid-masjid juga dia sering mendengar para pemuka agama memperingatkan untuk tidak memilih kafir sebagai Gubernur Jakarta.
“Bahkan ketika kami mau bikin acara pengajian, selalu ditolak. Jarang sekali ada perang gagasan maupun program dilancarkan kepada kami. Hampir semua menggencarkan jurus SARA kepada kami. Tetapi itulah yang dihadapi paslon kami dan harus kami luruskan permasalahannya,” tutur Eva.
Eva mengaku sudah melapor ke Bawaslu tetapi jawabannya mengejutkan. “Panwaslu malah bilang enggak apa-apa kalau di masjid diserukan hal seperti itu. Kami kaget, ini menyedihkan. Seharusnya pertarungan menyoal gagasan dan program, bukan SARA begini,” keluhnya.
Pengamat politik Ubaidillah Badrun tak ketinggalan menyuarakan pandangannya. Menurut pria yang akrab disapa Ubay itu, kampanye hitam sama dengan kampanye jahat. Ada tiga akar pemicunya. Pertama, datang dari nafsu berkuasa yang terlalu tinggi.
“Kedua karena miskinnya moralitas politik. Ketiga, kampanye hitam muncul ketika orang tak peduli lagi pada nilai-nilai, isu SARA dan fitnah pun ditabraknya,” urai Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia tersebut.
(ok/sl)