BEKASI (suaralira.com) - Dalam Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang dicanangkan Pemerintahan Soekarno, salah satunya di bidang prioritas adalah bidang tenaga kerja dan jaminan sosial.
Hal tersebut sangat relevan dengan situasi saat ini. Di negara mana pun Jaminan Sosial memiliki peran krusial bagi pekerja untuk mengantisipasi dampak negatif pasar bebas, dan globalisasi yang menyebabkan pekerja berapa pada posisi rentan secara sosial dan ekonomi.
Semenjak berlakunya UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, maka Indonesia menganut sistem Jaminan Sosial yang tidak lagi diselenggarakan oleh badan yang menganut 'for profit body'.
Sejak berlakunya UU BPJS maka Jaminan Sosial tidak lagi diselenggarakan oleh empat BUMN (PT. Jamsostek, PT. ASKES, PT TASPEN dan PT ASABRI). Dua Badan nirlaba (not for profit) ditunjuk sebagai penyelenggara, yaitu BPJS Kesehatan (Jaminan Kesehatan) dan BPJS Ketenagakerjaan (Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian). Dengan sistem pembiayaan 'cost sharing' antara pekerja dan pemberi kerja.
UU BPJS pasal 15 menegaskan bahwa setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta di dua BPJS tersebut. Pasal 55 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak membayarkan iuran BPJS yang menjadi tanggungjawabnya mendapatkan sanksi berupa pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda hingga Rp 1 miliar.
Tahun 2016, data BPS menyatakan jumlah angkatan kerja 120.647.697 orang. Diperkirakan jumlah pekerja yang terserap sektor formal hanya 42,24% atau setara dengan
48,5 juta orang saja.
Bagaimana dengan angka kepesertaan BPJS?
Kepesertaan di BPJS Kesehatan berdasarkan data per 28 Februari 2017 adalah 10.127.263 orang pekerja. Dengan rincian perusahaan swasta 9.626.631 pekerja dan BUMN baru sebanyak 500.632 pekerja.
Untuk BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2016 lalu, tercatat jumlah peserta 22.600.000
orang pekerja. Dengan rincian, swasta 22.025.246 dan BUMN sebanyak 574.574 orang pekerja.
Melihat hal itu, membuat Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka angkat bicara dihari buruh internasional 2017 ini.
Kata dia, masih minimnya kepesertaan BPJS, termasuk di BUMN. Memperlihatkan ketidakpatuhan terutama BUMN yang seharusnya menjadi contoh pertama ketaatan terhadap UU.
Ia menyebutkan, mayoritas pekerja Indonesia belum mendapatkan lima jaminan sosial. Hal ini sangat berbahaya bagi pekerja Indonesia dan keluarganya, karena masih tingginya resiko kecelakaan kerja hingga kehilangan pekerjaan, serta kondisi tanpa pelindungan saat tanpa kerja dan pasca kerja.
Ketidaksinkronan jumlah peserta di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Lanjut dia, Kepesertaan BPJS Kesehatan lebih sedikit dari BPJS Ketenagakerjaan.
Hal itu, kata mantan Anggota Pansus UU BPJS ini, belum maksimalnya kinerja Dewan Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggara, termasuk Dewan Pengawas di kedua BPJS.
"Saya mendukung Pemerintah untuk lebih serius dalam menjalankan UU SJSN dan BPJS. Dan berani memberikan sanksi kepada pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta di kedua BPJS. Mendukung Pemerintah untuk pertama kali mendorong BUMN beserta anak-anak perusahaannya menjadi contoh dalam memenuhi kewajiban terjaminnya Lima Jaminan Sosial bagi seluruh pekerjanya apa pun status kerjanya, sesuai perintah UU," ungkapnya.
"Mendukung Pemerintah untuk segera memperbaiki berbagai regulasi turunan UU BPJS, agar watak Jaminan Sosial tidak berubah menjadi jaminan komersial yang bukan melindungi, tetapi malah menambah beban pekerja Indonesia pada khususnya, dan seluruh Rakyat pada umumnya," tambah dia.
(oto/sl)