Kemendagri Luruskan Lima Isu Hoax Soal KTP-el

JAKARTA, suaralira.com – Berbagai isu sumbang datang silih berganti memojokkan Pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Selama Februari ini saja, tak kurang 5 rumor bernada minor berseliweran di media sosial, semuanya terkait penggunaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el).

Pertama, desas-desus KTP-el seumur hidup dinisbahkan kepentingan WNA asal China untuk memenangi pasangan tertentu pada Pilpres Pemilu 2019. Kedua, KTP-el bisa digunakan warga asing untuk memilih pada Pemilu 17 April. Ketiga, kolom penghayat kepercayaan dikaitkan dengan isu PKI dan keempat, penghapusan kolom agama pada KTP-el, serta kelima, isu KTP-el dikloning dan diubah datanya, lagi-lagi diisukan untuk keperluan WNA China agar bisa menyoblos di TPS. 

Dirjen Dukcapil Prof. Zudan Arif Fakrulloh menegaskan, kebijakan KTP-el berlaku seumur hidup merupakan amanat Undang-Undang Adminduk, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2006 dan UU Nomor 24 Tahun 2013.  Berdasarkan Pasal 64 ayat (7) dan ayat (8) KTP-el bagi WNI berlakunya seumur hidup, namun bisa diganti jika ada perubahan elemen data seperti alamat, gelar, status perkawinan,pekerjaan dan lain sebagainya.  

Selain untuk WNI, KTP-el juga diperuntukkan bagi Warga Negara Asing yang disesuaikan masa berlaku Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap). Juga di KTP-el jelas tertera status kewarganegaraannya, yaitu Warga Negara Asing. Meskipun memiliki KTP-el, Orang Asing ini dibatasi hak-haknya, seperti tidak bisa memilih dan dipilih dalam Pemilu. 

Masyarakat wajib mengganti KTP-el bila pindah alamat, ganti pekerjaan, berubah status perkawinan, ganti agama, menambah gelar, ganti foto dari belum berjilbab menjadi berjilbab.

“Jadi tidak benar bila KTP-el berlaku seumur hidup kemudian KTP-el tidak bisa diganti. KTP-el itu berlaku seumur hidup bila tidak ada perubahan datanya,” tandas Zudan.

Selanjutnya Prof. Zudan menyatakan negara mengakui keberadaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. "Penghayat Kepercayaan diakui secara sah oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2)," kata dia merinci.

Lebih jauh lagi Zudan menjelaskan, penghayat kepercayaan juga telah diakui dalam UU Adminduk. "Pasal 61 dan Pasal 64 secara tegas menyatakan bahwa bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan, elemen datanya tidak dicantumkan dalam kolom KTP-el atau KK, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan," ujarnya memperjelas.

Ketentuan Pasal 61 dan Pasal 64 ini kemudian dianulir atau dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 yang selanjutnya ditindaklanjuti melalui Permendagri No. 118 Tahun 2017 Tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.

Pemerintah dalam hal ini Kemendagri hanya menindaklanjuti Putusan MK dengan menerapkan kebijakan pencantuman kolom kepercayaan di KTP-el dan KK, karena putusan MK adalah final dan mengikat. Kata lain, secara yuridis, penetapan kolom kepercayaan terhadap Tuhan YME itu sah dan dapat dikabulkan.

Secara ideologis, penetapan ini bersifat mendesak karena menyangkut janji negara untuk melindungi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa penetapan kolom ‘Kepercayaan Terhadap Tuhan YME’ adalah usaha pemerintah untuk meniadakan ketidakadilan dengan menghapus diskriminasi, bukan untuk meniadakan agama dari Republik, apalagi berafiliasi pada PKI.

Terkait isu penghapusan kolom agama, Zudan menerangkan bahwa pencantuman elemen data agama di KTP-el dan dokumen kependudukan lainnya, juga merupakan amanat UU Adminduk. “Elemen data tersebut terutama terkait elemen agama sudah melalui proses panjang berdasarkan pertimbangan filosofis, historis serta pertimbangan hukum yang tertuang dalam naskah akademik," tandas Zudan.

Semua itu dibahas dengan berbagai pihak dan antar lembaga, serta pembahasan yang panjang di DPR. Selanjutnya, dituangkan dalam Pasal 58 UU Adminduk. "Jadi tidak benar pemerintah berupaya menghapus kolom agama di KTP-el atau dokumen kependudukan lainnya," ujarnya tegas.

Zudan tak lupa menjelaskan bahwa tidak ada istilah kloning KTP-el. Sebab, perekaman KTP-el hanya bisa dilakukan satu kali saja. Bila merekam untuk kali kedua di tempat berbeda maka KTP tak bisa tercetak karena terjadi duplicate record.

Meskipun KTP-el dipalsukan, seperti fotonya diganti dengan foto orang lain dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang sama maka akan sangat mudah dideteksi. Salah satu keunggulan KTP-el, menurut Zudan, adalah dapat dilakukan verifikasi terhadap si pemilik. Sebab pada KTP-el terdapat chip yang menyimpan data biometrik, berupa finger print jari telunjuk kiri dan kanan serta iris mata. Dengan adanya biometrik ini, maka dapat dilakukan verifikasi terkait kebenaran pemilik KTP-el adalah benar-benar yang bersangkutan.

Secara sistem akan otomatis terdeteksi kebenarannya dengan membandingkan antara finger print yang ada di dalam chip KTP-el dengan finger print dan iris mata yang bersangkutan pada card reader KTP-el atau di dalam database kependudukan. Selain itu, jajaran Dukcapil menganut one data policy dengan membangun sistem single identity number (SIN) berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Sehingga setiap penduduk hanya memiliki satu alamat, satu identitas saja.

"NIK bisa digunakan untuk berbagai keperluan pelayanan publik, salah satunya untuk suksesnya Pemilu 2019," kata Zudan. Untuk mencegah kecurigaan terhadap WNA pemegang KTP-el terkait Pilpres 2019, Ditjen Dukcapil telah membuka akses database kependudukan kepada KPU, dan tetap akan membuka kantor pada Hari-H Pemilu 17 April mendatang.

Zudan menambahkan, akses ke database untuk mengantisipasi isu atau kecurigaan kalau ada pemilih asing yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pemungutan suara. "Jadi tidak mungkin WNA terdaftar sebagai pemilih untuk pemilu di Indonesia menggunakan KTP-el yang disebut-sebut hasil kloning. Itu hoax sejati. KPU pun akan langsung mengidentifikasi siapa orang itu," pungkasnya. (Puspen Kemendagri)