JAKARTA, suaralira.com - Omnibus Law Cipta Kerja telah sah menjadi Undang-undang (UU). Salah satu poin yang menuai kontroversi adalah soal klaster ketenagakerjaan.
Seperti apa perbedaan nasib pekerja kontrak/buruh setelah adanya UU Cipta Kerja?
Pengamat ketenagakerjaan Hadi Subhan mengatakan adanya UU Cipta Kerja ini membuat pekerja/buruh memungkinkan untuk jadi pekerja kontrak seumur hidup. Jika di aturan sebelumnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibatasi paling lama tiga tahun dan dapat diperpanjang 1-2 tahun, saat ini tidak dijelaskan dan hanya disesuaikan oleh perjanjian kerja.
"PKWT misalnya itu bisa tidak dibatasi tahun. Kalau dulu perpanjangan 1 tahun, perpanjangan 2 tahun jadi total 5 tahun. Kalau sekarang sesuai dengan perjanjian jadi bisa sampai pensiun itu dikontrak. Bayangkan sampai umur 60 tahun di kontrak itu dimungkinkan" kata Subhan kepada detikcom, Selasa (6/10/2020) sebagaimana dilansir finance.detik.com.
Berdasarkan draf final UU Cipta Kerja yang diterima detikcom, PKWT diatur dalam pasal 56 ayat 3 yang disebutkan bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Hal itu dinilai dapat membuat pekerja/buruh tidak mendapat pesangon karena hanya sebagai pekerja kontrak, bukan tetap.
"Kalau PKWT ya tidak dapat pesangon kan begitu karena berakhirnya jangka waktu. Kalau yang tetap masih tetap ada pesangon," ucap Subhan.
Kemudian, perbedaan lainnya terdapat pada bertambahnya alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diperbolehkan di pasal 154A, sehingga dapat mempermudah PHK. Alasan baru PHK yang diperbolehkan di UU Cipta Kerja adalah jika perusahaan melakukan efisiensi, serta jika pekerja/buruh melakukan pelanggaran perusahaan tanpa adanya surat peringatan (SP) 1-3.
"Misalnya perusahaan melakukan efisiensi, kalau dulu kan tutup karena efisiensi kalau sekarang itu efisiensi apapun bisa. Jadi misalkan perusahaan tiba-tiba mau karyawannya dari 100 jadi 50, itu bisa di PHK. Kemudian karena melakukan pelanggaran kerja itu tidak usah ada SP 1, SP 2, kalau dulu itu ada sampai SP 3 baru di PHK. Jadi sekarang kalau terlambat bisa langsung di PHK karena melanggar aturan perusahaan kan sedemikian fleksibelnya pasal ini," ucapnya.
Kemudian dalam ayat 2 disebutkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sehingga, alasan PHK bergantung dari kesepakatan pemberi kerja dan pekerja/buruh.
Kemudian di UU Cipta Kerja tidak wajib adanya upah minimum kabupaten/kota. Dalam pasal 88C disebutkan bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu berdasarkan kondisi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini dinilai dapat memicu adanya buruh dibayar murah.
"Upah Minimum Kabupaten Kota tidak wajib ada. Untuk DKI Jakarta tidak masalah karena tidak ada Kabupaten/Kota, untuk di luar DKI Jakarta itu membahayakan sekali. Jawa Timur itu upah minimum provinsi itu Rp 1,9 atau Rp 2 juta. Jadi nanti di Jawa Timur upah minimumnya hanya Rp 2 juta. Pengusaha Surabaya kalau mau ngegaji segitu boleh," tuturnya.
Lalu adanya penambahan waktu kerja. Jika di aturan lama maksimal lembur 1 hari 3 jam, dalam pasal 78 saat ini maksimal lembur menjadi 4 jam 1 hari. Kemudian juga adanya tambahan waktu kerja 6 hari dalam satu minggu, dengan catatan bahwa 1 hari waktu pekerja hanya boleh 7 jam.
"Kalau itu buruh nggak masalah, toh sama-sama dibayar upah lembur," imbuhnya. (dtc/ sl)