JAKARTA, SuaraLira.com - Ketua Umum AIPI Pusat DR H Alfitra Salam APU mengatakan soal "Format Ideal Pilkada yakni mencari model demokrasi lokal yang efektif dan partisipatif." Pilkada bukan sekadar ajang memilih kepala daerah, tetapi merupakan proses demokrasi yang mencerminkan harapan masyarakat akan kepemimpinan yang bersih, transparan, dan pro-rakyat. Dalam praktiknya, kita masih dihadapkan pada berbagai tantangan—baik dari sisi regulasi, pelaksanaan, maupun partisipasi publik.
Melalui webinar ini, kita berharap dapat menggali ide-ide konstruktif, mendapatkan masukan dari para ahli, serta merumuskan gagasan-gagasan segar untuk memperkuat sistem demokrasi lokal yang kita miliki. Semoga diskusi hari ini berlangsung dengan lancar dan memberikan manfaat nyata bagi perbaikan kualitas Pilkada ke depan.
Sementara itu salah satu ketua partai politik, Ketua DPP PKB Luluk Nur Hamidah menyampaikan berbagai pandangannya tentang bagaimana menciptakan format debat dan soal Pilkada ideal yang demokratis, adil, dan bermakna. Berikut ini rangkumannya berdasarkan pernyataan publik dan debat Pilkada yang dia ikuti:
Refleksi dari Pengalaman Pemilu 2024, Luluk menekankan bahwa Pilkada serentak sebaiknya tidak mengulang kekacauan seperti Pemilu 2024, di mana dia menyoroti adanya abuse of power dan penggunaan sumber daya negara (APBN/APBD) untuk memenangkan calon tertentu. Hal ini, pentingnya menjaga agar penyelenggara dan aparat keamanan tidak berpihak ke kubu manapun, tegasnya..
Ia juga menyampaikan agar Pilkada menjadi mekanisme demokratis yang memberi ruang rakyat memilih sesuai hati nurani mereka, serta memastikan kebijakan daerah benar-benar selaras aspirasi masyarakat. Sementara itu seperti pada aspek format debat yang diidealkan, moderator serta panelis akademisi independen, dalam debat Pilgub Jatim 2024, KPU memilih panelis dari kalangan akademisi untuk merancang format, desain, dan soal debat untuk menghindari bias politikisasi. Luluk melihat ini sebagai pendekatan yang perlu ditiru agar pertanyaan debatable objektif dan terstruktur.
Tema sistematis dan bermakna, dalam debat pertama mengangkat tema kebutuhan dasar—dikelola panelis yang mengkarantina mereka untuk menyusun pertanyaan. Menurut Luluk, tema dan desain semacam itu membuat debat lebih bermartabat dan mendidik masyarakat tentang calon pemimpin. Pertanyaan Kritis & Kontekstual, segmen tanya-jawab untuk menyoroti isu-isu seperti marginalisasi wilayah Madura dan produktivitas lokal. Misalnya, dia mempertanyakan mengapa garam dari Madura masih impor dan mendesak hilirisasi lokal, ujar Luluk.
Nilai Karakter dan Pendekatan Kepemimpinan, Pendidikan karakter dan teladan pemimpin, Luluk menyatakan bahwa debat Pilkada bukan sekadar pertunjukan retorika, melainkan cara menunjukkan teladan. Pemimpin yang bersih, jujur, dan bebas dari manipulasi menjadi contoh yang kuat bagi masyarakat, terutama generasi muda. Debat dirancang untuk mencerminkan hal ini dengan pertanyaan seputar keadilan, integritas, dan etika kepemimpinan.
Debat sebagai dialog berkualitas, Luluk menyampaikan bahwa debat sebaiknya menjadi dialog yang bermartabat, bukan ajang saling serang. Ia berharap format debat benar-benar memberi ruang bagi edukasi publik tentang calon pemimpin, bukan sekadar pertarungan politis.
Format Pilkada yang Ideal menurut Prof Djohermansyah Djohan, sistem Pilkada asimetris, menekankan bahwa Indonesia tidak cocok dengan sistem pilkada yang seragam untuk semua daerah. Karena keragaman budaya, sosial-ekonomi, dan karakter wilayah, ia mengusulkan format pilkada asimetris yakni, Beberapa daerah melaksanakan pilkada langsung, dan Beberapa daerah kepala daerah dipilih oleh DPRD, serta Beberapa ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat, atau lainnya sesuai konteks lokal.
Selain itu juga Undang‑Undang Khusus Pilkada, Ia menyarankan agar Pilkada diatur melalui undang‑undang tersendiri, bukan digabung dalam UU Pemda (misalnya UU Nomor 32/2004), agar isu spesifik pilkada bisa terstruktur dengan lebih rinci dan tepat sasaran.
Dan perlunya kajian juga riset mendalam, penentuan mekanisme pilkada—langsung atau tidak langsung—tidak boleh semata-mata atas konsensus elite politik, melainkan harus didasarkan pada riset dan kajian yang komprehensif untuk memastikan model yang paling sesuai dengan kebutuhan nasional dan lokal saat ini, menurut Prof Djohermansyah.
Ada hal yang lebih penting, soal kriteria ideal calon kepala daerah yakni, kompetensi dan pengalaman publik, integritas dan ketokohan, kemampuan menghubungkan diri dengan masyarakat lokal. Tidak sekadar popularitas atau elektabilitas namun semua pihak, termasuk elite partai dan pemilih, harus memahami “pakem” ini agar pemilihan menghasilkan pemimpin yang tepat, tuturnya.
Selaku moderator pengurus Pusat AIPI, Nona Evita BA (Hons) MA mengatakan "Sebagai forum ilmiah yang mendorong tata kelola pemerintahan yang berbasis pengetahuan, AIPI menilai bahwa format ideal Pilkada harus menjamin kualitas demokrasi lokal yang substansial. Pilkada bukan hanya tentang memilih pemimpin secara langsung, tetapi tentang menciptakan sistem yang menjamin akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik secara luas.
Format ideal Pilkada menurut AIPI mencakup beberapa hal penting: pertama, integritas penyelenggara dan peserta harus dijamin melalui penguatan kelembagaan KPU dan Bawaslu serta sistem rekrutmen partai yang lebih demokratis. Kedua, proses Pilkada harus didesain agar efisien secara anggaran namun tetap partisipatif dan inklusif, khususnya dalam menyuarakan kelompok rentan. Ketiga, pentingnya pendidikan politik yang berkelanjutan agar masyarakat tidak sekadar memilih, tetapi memahami dampak dari pilihannya terhadap pembangunan daerah.
Dalam konteks ini, AIPI mendorong sinergi antara lembaga riset, universitas, dan pemerintah daerah untuk mendesain format Pilkada yang berbasis bukti dan kebutuhan lokal. Demokrasi lokal yang sehat adalah fondasi utama dari demokrasi nasional yang kokoh."
