SuaraLira.Com, Meranti -- Publik masih menyorot atas amburadulnya penegakan hukum di wilayah Riau khususnya Kepulauan Meranti, sehingga mengakibatkan hancurnya perekonomian dan pengelolaan APBD khususnya di Kepulauan Meranti dalam kurun waktu 2023 hingga 2025. Siapakah yang bermain dengan uang APBD, kemana perginya anggaran tahun 2023 hingga 2025, ditambah dengan banyaknya TEMUAN BPK-RI di beberapa OPD setiap tahunnya terhadap audit kepatuhan atas penyelenggaraan keuangan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sejak tahun 2022 hingga 2024 yang lalu.
Dalam Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dengan jelas menyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hasil Audit BPK-RI sebagai dasar penyelidikan bagi APH.
Perlu diketahui sesuai Pasal 102 KUHAP menyatakan, “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan". Begitu juga kaitannya dengan Pasal 106 dan Pasal 107 KUHAP.
Perlunya dilakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai bentuk penegakan hukum atas banyaknya terjadi pelanggaran hukum terhadap pengelolaan keuangan terhadap pemerintah daerah kabupaten Kepulauan Meranti. Apakah APBD itu untuk kepentingan masyarakat atau untuk oknum pribadi tertentu. Berdasarkan realitas tingginya indikasi dugaan KKN dalam penggunaan APBD Kepulauan Meranti selama Tahun 2022 hingga 2025 ini. Hal ini juga didukung oleh raport merah berdasarkan SPI dari KPK tahun 2024 hanya sekitar 63 persen.
Supremasi hukum dan Asta Cita Presiden Prabowo harus ditegakkan
Kejaksaan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2021 berwenang melakukan penyelidikan terhadap terjadinya tindak pidana termasuk Korupsi. Disamping itu juga sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, dan Perpres Nomor 15 Tahun 2024.
Disebutkan dalam Pasal 14 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, jelas menyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana BPK segera melaporkan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Patut diketahui, jika ada unsur terjadinya suatu tindak pidana korupsi atas laporan masyarakat sesuai aturan perundangan, Aparat Penegak Hukum harus menindaklanjutinya. Jika tidak, hal tersebut dapat disamakan sebagai perbuatan "Obstruction of Justice" (menghambat suatu proses hukum) berdasarkan Pasal 221 ayat (1) KUHP dan dalam Pasal 21 UU tentang Pemberantasan Tipikor.
Publik berpendapat Oknum Pejabat Meranti khususnya Pejabat PUPR "Sakti" dan "Kebal Hukum" dikarenakan HUKUM tak pernah mampu menyentuh mereka atas banyaknya dugaan perkara korupsi yang kerap terjadi. Seolah-olah Penegakan Hukum mati suri dan hukum tunduk terhadap mafia keadilan, tanpa adanya upaya untuk melakukan penyelidikan apalagi memproses banyaknya terjadi dugaan Tindak Pidana Korupsi sesuai amanat Pasal 102, pasal 106 dan pasal 107 KUHP. Adakah aliran uang yang mengalir dari oknum pejabat kepada aparat penegak hukum sehingga hukum dan keadilan seolah terbeli.
Beberapa pelanggaran hukum dan aturan yang terjadi di Dinas PUPR Kepulauan Meranti, diantaranya :
(1). Berdasarkan resume hasil audit dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK-RI Perwakilan Propinsi Riau Nomor : 17A/LHP/XVIII.PEK/05/2024, diantaranya semua Pekerjaan yang menggunakan Swakelola tipe 1 tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dan hal ini terjadi berulang-ulang. Hal tersebut bertentangan dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, diantaranya :
a). Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang sudah diubah menjadi Perpres Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah pada pasal 6 huruf e.
b). Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) nomor 3 tahun 2021 tentang pedoman Swakelola pada point 1 sub point 1.3 dan Point 1 sub point 1.4 juga point 3 sub point 3.1.5.
(2). Adanya dugaan keterlibatan pejabat PUPR dalam kasus yang pernah ditangani oleh KPK, sebagaimana diungkap oleh Jaksa Penuntut KPK dan Keterangan saksi sesuai fakta persidangan kasus Korupsi dan Gratifikasi terdakwa Muhammad Adil tahun 2022, dalam hal ini Dinas PUPR Kepulauan Meranti benar melakukan setoran (gratifikasi) sebesar Rp 1,8 miliar.
(3). Selain itu, Kadis dan Pejabat PUPR Kepulauan Meranti sesuai fakta persidangan yang lalu (Kasus yang menjerat Mantan Bupati Meranti Haji Adil) TERBUKTI dihadapan majlis hakim memberikan sejumlah uang GRATIFIKASI kepada M. Fahmi Aressa mantan Auditor Badan Pemeriksaan (BPK) Riau dalam upaya jual beli Opini BPK-RI.
Diperlukan adanya penyelidikan dan penyidikan dikarenakan cukup banyaknya bukti permulaan yang bisa dijadikan alat bukti sesuai pasal 183 dan Pasal 184 KUHP. "Institusi Penegak Hukum bukanlah lembaga pencitraan atau lembaga sosial atau tempat melacur hukum tapi lembaga yang tugas pokok dan fungsinya penegakan hukum, jangan lupa akan itu", sebut Raul koordinator Forum Aliansi Masyarakat Libas Korupsi Riau.
Ancaman Hukum bagi pejabat pemerintah yang terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi atau orang lain dapat dijerat Pasal 12B ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN dan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Masyarakat Riau khususnya Kepulauan Meranti masih terus bermimpi dan berharap adanya secercah harapan akan keadilan dan penegakan hukum yang tidak tebang pilih bagi siapapun yang melakukan pidana korupsi supaya adanya efek jera bagi si pelaku sehingga meminimalisir terjadi lagi pidana yang sama dikemudian hari. Jika aparat penegak hukum tidak melaksanakan fungsi dan kewajiban mereka sesuai amanat UU, patut diduga adanya upaya pelemahan terhadap hukum itu sendiri dan adanya pelacuran hukum diantaranya praktek "Obstruction of Justice" oleh institusi penegak hukum sendiri yang berlawanan dengan aturan perundangan yang berlaku", ujar Raul lagi.
Kewajiban Melaporkan tindak pidana dan Ancaman Obstruction of Justice
Berdasarkan Pasal 108 KUHAP mewajibkan setiap orang termasuk pegawai negeri yang mengetahui terjadinya dugaan tindak pidana untuk segera melapor kepada penyelidik atau penyidik. Begitu juga amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika ada yang mengetahui, namun tidak melaporkan terjadinya tindak pidana Korupsi tersebut atau menghalangi untuk dilakukannya penyelidikan dan keadilan, dapat dijerat Pasal 221 ayat (1) KUHP tentang "Obstruction of Justice". Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 21 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan Pasal 17 "KUHAP” menyatakan sebagai berikut : Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir (14) KUHAP yaitu Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Berdasarkan Aturan dalam Pasal 4 Peraturan Jaksa nomor 67 tahun 2007, jaksa dilarang melakukan : Point (a), menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain, point (b) merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara, point (c) menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis, point (f) bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun.
Senada dengan itu, Bupati LIRA Meranti Suwito juga mengatakan, sudah banyak sejumlah laporan dugaan tipikor disampaikan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, dan Kepolisian Daerah (Polda) Riau sejak beberapa waktu yang lalu, hingga saat ini belum ada tindakan lanjut yang signifikan atas laporan tersebut.
Dugaan ini semakin menguat adanya praktik setoran gratifikasi termasuk dugaan penyuapan dari pejabat PUPR ke APH, LSM, bahkan wartawan, sebagai “uang pengamanan dan pelicin” agar kasus hukum tersebut tidak diproses secara hukum dan tidak adanya pemberitaan di media.
“Diantaranya laporan BASMI ke Kejati beberapa bulan lalu belum ada diproses oleh penegak hukum sampai kini belum ada progresnya sampai dimana. Ada apa ini semua.?” ujar Suwito.
Lanjut Suwito, dalam PP nomor 43 tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 8 Ayat (1) Laporan mengenai dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling sedikit memuat :
a. identitas Pelapor; dan
b. uraian mengenai fakta tentang dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
Selanjutnya Ayat (2) dalam menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan dokumen pendukung paling sedikit :
a. fotokopi kartu tanda penduduk atau identitas diri yang lain; dan
b. dokumen atau keterangan yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan", Tegasnya lagi.
Dalam hal ini, semua persyaratan terkait pengaduan masyarakat (dumas) sudah terpenuhi secara administrasi dan aturan perundangan. Dan perintah dari UU terhadap Penyelidik sesuai Pasal 102 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”, tutup Suwito bupati LIRA Meranti ini.
Sepatutnya dan sudah seharusnya penyelidik melakukan penyelidikan berdasarkan informasi awal dan bukti awal untuk melengkapi bukti dan keterangan saksi guna mengajukan ke pengadilan. Dan setiap langkah yang diambil penyelidik dilaporkan kepada pelapor terkait perkembangannya sampai tahap mana, hal ini sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku", beber Raul dari FAMALI Riau lagi.
Terkadang penyelidik bukannya memanggil terlapor untuk dilakukan penyelidikan malahan ada yang mengembalikan berkas laporan pengaduan dengan alasan belum cukup bukti. Apa mereka tidak memahami Aturan dan Mekanisme serta UU ataukah oon terhadap tugas dan tahapan dalam penyelidikan perlu juga untuk dipertanyakan.? Sebagaimana yang pernah diungkap oleh Jaksa Agung Burhanuddin beberapa waktu lalu", tanya Raul dari FAMALI Riau kepada awak media.
Ketika laporan tersebut didiamkan, yang terlapor berdasarkan bukti permulaan tidak ada dipanggil, patut diduga sudah terjadi adanya indikasi "kongkalikong" sebut saja pihak Kejati dan Pejabat atau Kadis PUPR dalam upaya meredam dugaan terjadinya kasus Korupsi dan gratifikasi alias 86", tutup Raul koordinator FAMALI ketika dikonfirmasi media.
Padahal perintah dari Jaksa Agung sudah jelas bagi Kejati atau Kejari yang tidak becus dan oon apalagi mendiamkan kasus pidana akan di evaluasi. Kalau perlu dimutasikan ke daerah pelosok agar belajar bagaimana mampu mencintai negara dan mampu menegakkan keadilan untuk negara dan masyarakat.
Kejaksaan sebagai organ negara dalam sistem peradilan pidana bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan tunggal atas penuntutan (dominus litis) dalam perkara tindak pidana. Kejaksaan juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia jo. Nomor 2 Tahun 2016 jo. Nomor 15 Tahun 2021 jo. Nomor 15 Tahun 2024 (Perpres Kejaksaan) mengatakan Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Jaksa Agung Burhanuddin, dianggap terlalu banyak pencitraan dan hanya omon-omon terkait penegakan hukum bagi koruptor di Riau, apakah benar akan menggeser KAJATI dan KAJARI di seluruh Indonesia yang sedikit atau malas menangani perkara dan akan mengevaluasi kinerja anak buahnya.?
Dalam beberapa waktu lalu Jaksa Agung pernah berbicara hanya akan mempekerjakan para KAJATI dan KAJARI yang punya otak, bukan yang bloon atau oon, yang hanya memikirkan duit saja," tegas Burhanuddin saat itu.
Sayangnya, khusus di Propinsi Riau Institusi ADHYAKSA, masyarakat bisa menganalisa dan melihatnya sendiri, seperti apa selama ini hingga kini, dengan banyaknya kasus yang menguap. Tetapi tidak ada sangsi dari Jaksa Agung yang sering pencitraan akan mengevaluasi.
Kepada Pak Presiden Prabowo, tolong dicopot Jaksa Agung diganti yang lebih tegas dan benar-benar bekerja untuk rakyat dalam membasmi KORUPSI khususnya di Propinsi Riau.
Seseorang tidak bisa dihukum hanya karna niat jahat (mens rea) tanpa adanya perbuatan nyata (actus reus). Harus ada satu kesatuan antara mens rea dan actus reus agar seseorang itu dapat dikenakan pidana. Dan pada kasus yang telah dilaporkan selama ini sudah terdapat Mens rea dan Actus Reus nya. Kejati mau alasan apalagi.?
Sudah jelas ada unsur kesengajaan dan terpenuhi mensrea nya serta dilakukan berulang-ulang dalam tindakan melanggar aturan perundangan ditambah sudah dijelaskan dalam beberapa tahun audit temuan BPK-RI tidak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, sehingga mengakibatkan perbuatan tersebut terjadi lagi.
Apakah pihak Kejati sengaja melakukan pembiaran atau selalu beralasan sedang mendalami tanpa adanya pemanggilan kepada yang bersangkutan berdasarkan bukti permulaan yang ada termasuk Hasil Audit BPK-RI sebagaimana perintah dari aturan perundangan yang berlaku.
Gandjar Laksmana Bonaprata, SH, MH, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia mengungkapkan, "sebagai akademisi, saya stress dan prihatin melihat penegakan hukum sekarang yang tidak baik-baik saja. Masalah penegakan hukum itu bukan di hukumnya tapi di penegakannya. Terutama di Lembaga Hukum dan Aparaturnya. Penegak hukum kita sekarang cenderung "ABUSE" menurut versi sekehendak mereka saja, padahal ilmu dan bukunya sama.
Menurut Prof. Mahfud MD, untuk memperbaiki hukum di suatu negara yang sering bermasalah adalah di legal struktur yaitu Aparat Penegak Hukum kita yang Korup.(Rul/sl)
