Mantan BPN Riau Minta Tolong Ke Haris Kampay Tukar Uang Dolar

 Mantan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau Muhammad Syahrir, pernah meminta seorang pengusaha, Muhammad Haris atau Haris Kampay untuk menukarkan uang Rp2 miliar ke Dolar Singapura.

Fakta itu diungkapkan Haris Kampai ketika menjadi saksi perkara suap dan gratifikasi pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) di Kanwil BPN Riau yang menjerat Syahrir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (29/5/23). Syahrir mengikuti sidang melalui video conference dari rumah tahanan.

Haris Kampay di hadapan majelis hakim yang diketuai Dr Solomo Ginting SH MH dengan hakim anggota Yuli Artha Pujoyotama SH MH dan Yelmi SH MH menjelaskan, dirinya mengenal Syahrir dengan dekat. Bahkan Syahrir telah menganggap Haris sebagai keluarga, begitu juga sebaliknya.

Tidak hanya itu, Syahrir merupakan Dewan Pembina Badan Pengembangan Usaha (BPU) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, dimana Haris Kampay menjabat sebagai ketua umum.

Keduanya sering berkomunikasi. Apalagi ketika masalah pembangunan Tol Pekanbaru-Dumai, Haris Kampai sering bertanya terkait ganti rugi. Mereka juga selalu bercerita soal lahan.

Haris Kampai yang didatangkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku pada sekitar Juni 2022, Syahrir menyebut kalau dirinya akan segera pensiun. Dia mengaku memiliki deposito Rp2 miliar dan minta dicairkan.

"Dinda saya ada uang Rp2 miliar (dideposito, red) yang cair tanggal 28 (Juni). Saya mau pensiun tolong tukarkan ke Dolar Singapura," tutur Syahrir kepada Haris ketika itu.

Tidak lama setelah itu, Syahrir kembali bertemu dengan Haris dan menyebut kalau dirinya telah menadatangani pencairan deposito. Akhirnya Haris dan Syahrir pergi ke Bank Mandiri untuk melakukan pencairan.

Permintaan menukar uang ke Dolar Singapura itu disetujui oleh Haris . Sekitar satu minggu kemudian, Haris datang ke rumah dinas Syahrir di Jalan Kartini, Kota Pekanbaru, dan menyerahkan uang Rp2 miliar dalam bentuk Dolar Singapura.

Uang yang diberikan pecahan 1000 Dolar Singapura. "Ada 190 lembar, pecahan 1000. Diserahkan di rumah (dinas) Jalan Kartini, malam, setelah Magrib," tutur Haris sambil menyebut sebelum penyerahan uang ada komunikasi terlebih dahulu dengan Syahrir.

Uang itu, kata Haris ditukarkan dengan uang simpanannya yang ada di dalam berankas di rumahnya. JPU mempertanyakan berapa banyak uang yang dimiliki Haris di brankas rumahnya.

Menurut Haris Kampay, uang itu ditukar di Money Changer Kirana yang disimpan sejak tahun 2000. "Di rumah, uang Dolar Singapura ada sekitar 200 lembar, pecahan 1000-nya, kurang lebih sekitar Rp 4 miliar," ungkap Haris.

Mendengar itu, JPU mempertanyakan sebenarnya Haris memiliki usaha apa sehingga memiliki banyak uang. Haris Kampay menyebut, kalau dirinya memiliki usaha karaoke, mini market, kos-kosan dan lainnya. "Penerimaan itu dalam bentuk rupiah," tambahnya.

Ketika memberikan uang Dolar Singapura tersebut, Syahrir memberikan uang Rp50 juta ke Syahrir yang simpan dalam amplop. Uang itu diterima Haris Kampay sambil mengucapkan terima kasih.

Setelah Syahrir diperiksa KPK, Haris dengan niat baik mengembalikan uang tersebut karena berpikir uang itu kemungkinan ada kaitannya dengan kasus yang menjerat Syahrir. "Sudah saya kembalikan yang mulia," ucapnya.

Selain Haris, JPU juga menghadirkan teller nasabah prioritas Bank Mandiri Pekanbaru, Kharistina Lin. Dia menyebut, sekitar tanggal 18 Maret 2022, Syahrir memiliki deposito sebesar Rp2 miliar. "Jangka waktu paling cepat satu bulan, paling lama 24 bulan," kata dia.

Saksi menjelaskan, tanggal 28 Juni 2022, Syahrir datang ke kantornya untuk mencairkan deposito. Uang yang dicairkan terlebih dahulu masuk ke rekening Syahrir dan kemudian diambil tunai pada hari itu juga.

Ketika mencairkan uang itu, kata saksi, Syahrir datang didampingi oleh Haris. JPU pun mempertanyakan uang tersebut diserahkan kepada siapa.

Kharistina menyebut uang itu diserahkan di depan Syahrir. JPU kembali menegaskan kepada siapa pastinya uang diserahkan.

"Yang penting nasabahnya di depan saya pak. Kemudian saya serahkan uang itu kepada nasabahnya," tutur saksi.

Mendengar hal itu, hakim Solomo mengingatkan saksi agar menjawab pasti terkait penyerahan uang. "Saudara menyerahkan uang pada siapa. Ini uang milik siapa?, tegas Solomo

Saksi menyebut kalau itu uang Syahrir. Uang pecahan Rp100 ribu itu diberikan kepada Syahrir. "Diberikan kepada Syahrir," sebutnya.

Pada persidangan ini, JPU juga menghadirkan saksi kepala Sumber Jaya Indah Nusa Cong (HRD), Kandar dan pemilik Kirana Money Changer Pekanbaru Andrising Husin.

Sebelumnya, JPU dalam dakwaannya menyebut Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya. Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan TPPU karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset.

Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau sejak Tahun 2017-2022, Syahrir telah menerima uang gratifikasi, yang keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.

Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau.

Di Provinsi Riau, M Syahrir menerima uang untuk pengurusan hal atas tamah di Kanwil BPN Riau dari perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Adimulia Agrolestari, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau, PTPN V, PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.

M Syahrir juga menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau, untuk pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau. Diantaranya, dari Risna Virgianto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019 sampai tahun 2021 sebesar Rp15 juta.

Kemudian dari Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta. Jusman Bahudin terkait pengurusan pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp80 juta.

Lalu dari Ahmad Fahmy Halim terkait pengurusan perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp1 miliar. Siska Indriyani selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Kampar sebesar Rp30 juta.

Dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp10 juta. Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group (antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya, PT Meridan Sejati Surya Plantation) sebesar Rp15 juta dan menerima uang terkait jabatannya Rp15.188.745.000.

Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset. Diantaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (Ruko), kendaraan dan lainnya.

JPU menjerat M Syahrir dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo. Pasal 18 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.(As)